Dalam tasawuf, Nur Muhammad adalah makhluk pertama yang diciptakan Allah SWT. Nur Muhammad sering juga disebut Hakikat Muhammad atau Roh Muhammad. Konsep ini kemudian dikembangkan menjadi konsep insan kamil. Insan kamil merupakan “duplikat” Tuhan karena memiliki sifat-Nya.
Pertama kalinya, konsep Nur Muhammad dibawa oleh sufi Ibnu Arabi sehubungan dengan pencapaian manusia (sufi) pada derajat insan kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari sifat kemanusiaannya atau manusia yang telah memiliki Nur Muhammad, Hakikat Muhammad, atau Roh Muhammad tersebut.
Menurut Ibnu Arabi, insan kamil merupakan wahdatul wujud (kesatuan wujud) antara manusia sebagai al-khalq dan hakikat Yang Esa atau al-haqq.Konsep ini berbeda dengan konsep hulul yang dikembangkan oleh Husein bin Mansur al-Hallaj.
Menurut al-Hallaj, puncak pencapaian seorang sufi adalah apabila ia telah mencapai hulul, yaitu paham yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk diambil tempat di dalamnya, setelah sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh manusia itu dihancurkan.
Ini dimungkinkan karena dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan Tuhan memiliki sifat nasut (kemanusiaan). Demikian pula manusia mempunyai sifat yang sama dengan Tuhan.
Adapun menurut Ibnu Arabi, dalam insan kamil manusia adalah bentuk (surah) yang paling sempurna di antara ciptaan-Nya. Insan kamil merupakan miniatur alam (mikrokosmos) yang dapat mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya.
Karena alasan inilah maka manusia ditunjuk sebagai khalifah di bumi. Jadi kemunculan insan kamil adalah esensi kecemerlangan dari cermin alam, yang merupakan tajali (penampakan diri) Tuhan sebagai al-haqq pada manusia yang tinggi citra wujudnya. Bagi Ibnu Arabi, wujud nyata tidak ada atau tergantung pada hakikat Yang Wujud, yaitu Tuhan. Jadi pada hakikatnya hanya ada satu wujud (wahdah al-wujud).
Setelah diciptakan, Nur Muhammad muncul pertama kali pada diri Nabi Adam AS, kemudian pada nabi sesudahnya, dan yang paling sempurna terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW. Karena itu Nabi Muhammad SAW adalah insan kamil yang menjadi contoh tertinggi dalam kehidupan manusia.
Konsep Nur Muhammad yang dibawa Ibnu Arabi kemudian dikembangkan oleh Abdul Karim al-Jili (1365–1417) yang lebih dikenal dengan konsep insan kamil. Insan kamil merupakan surah (bentuk) atau nuskhah (duplikat) Tuhan.
Karena itu insan kamil memiliki sifat seperti yang dimiliki Tuhan, seperti hidup, mengetahui, berkehendak, mendengar, melihat, dan berbicara. Tuhan merupakan cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin Tuhan untuk melihat diri-Nya di luar diri-Nya.
Maka tergambarlah bagaimana terjadinya komunikasi antara Tuhan dan manusia sempurna. Allah SWT telah berjanji kepada diri-Nya untuk tidak merenungkan nama dan sifat-Nya selain pada insan kamil.
Menurut al-Jili, benda yang diciptakan dari Nur Muhammad adalah benda yang diciptakan dari Nur Tuhan. Jadi dalam setiap benda terdapat Nur Muhammad, hanya yang sempurna terdapat pada diri nabi, dan yang paling sempurna adalah pada diri Nabi Muhammad SAW.
Nur Muhammad bukan Nabi Muhammad SAW dan Nabi Muhammad SAW bukan Nur Muhammad. Tetapi Nur Muhammad mengambil bentuk pada diri Nabi SAW. Oleh karena itu, meskipun Nabi SAW telah wafat, Nur Muhammad tetap abadi dan dapat menampakkan diri pada seseorang yang masih hidup yang dikehendakinya, seperti pada para sufi besar.
Al-Jili melihat Nur Muhammad menampakkan diri dalam wujud gurunya, Syekh Syarifuddin Ismail al-Jabarti, di Zabid pada 796 H/1394 M.
Penglihatan atas Nur Muhammad dialami oleh al-Jili dalam keadaan sadar (jaga). Ini berbeda apabila seseorang bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam diri seseorang, tetapi tidak membuat seseorang terjaga (tidak tidur) dalam waktu yang cukup lama.
Dasar yang digunakan adalah hadis Nabi SAW yang berarti: “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah nurku.” Nur Muhammad bersifat azali dan karena itu bersifat abadi.
Untuk memperoleh Nur Muhammad sebagai pencapaian derajat insan kamil yang merupakan penampakan diri (tajali) Tuhan, ada tiga tingkatan tanazul (turun), yaitu:
(1) tajali ahadiyyah (kesatuan Tuhan); (2) tajali huwiyyah (kediaan Tuhan); dan (3) tajali aniyyah (keakuan Tuhan). Pada tahap ahadiyyah, Tuhan dengan kemutlakan-Nya baru keluar dari al-’ama’ atau kanzan makhfiyyan (kabut gelap tanpa nama dan sifat).
Pada tahap huwiyyah, nama dan sifat Tuhan telah mulai menampakkan diri. Pada tahap aniyyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama dan sifat-Nya pada segala makhluk-Nya. Namun, Tuhan bertajali terbatas pada insan kamil.
Manusia (sufi) akan dapat mencapai derajat insan kamil dengan melakukan taraqqi (usaha baik) melalui tiga tahap, yaitu: (1) bidayah (sufi disinari nama Tuhan), (2) tawassuth (sufi disinari sifat Tuhan), dan (3) khitam (sufi disinari Zat Tuhan, sehingga Tuhan bertajali dengannya). Pada tahap terakhir inilah sufi memperoleh Nur Muhammad menjadi insan kamil.
Selain melalui tahapan upaya tersebut, seorang sufi harus melalui perjalanan panjang yang disebut maqam.
(1) Islam, yaitu seorang calon sufi harus melaksanakan rukun Islam dengan khusyuk.
(2) Iman, merupakan permulaan tingkat kasyf mengenai alam gaib.
(3) As-salah, yaitu calon sufi diharuskan beribadah terus-menerus dengan berbuat baik, melakukan semua perintah Tuhan, dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah ini bertujuan untuk merekatkan sifat Ilahiah pada hati sanubari sehingga ketika mencapai kasyf, ia akan tetap menaati syariat.
(4) Al-Ihsan, yaitu calon sufi menyaksikan pengaruh nama dan sifat al-haqq sehingga dalam melaksanakan ibadah seakan-akan ia hadir di hadapan Allah SWT secara terus-menerus. Ini dapat dilalui setelah memenuhi persyaratan tobat, zuhud, tawakal, tafwid (menyerah), rida, dan ikhlas.
(5) Asy-Syahadah, yaitu calon sufi memperoleh kehendak bercirikan cinta kepada Allah SWT tanpa pamrih, zikir kepada Tuhan, dan membuang hawa nafsu.
(6) Siddiqiyyah, yaitu calon sufi memperoleh makrifat setelah melalui ‘ilm al-yaqin (ilmu yang meyakinkan dengan bukti-bukti yang dapat ditangkap indra), ‘ain al-yaqin (ilmu yang lebih meyakinkan),
dan haqq al-yaqin (keyakinan akan kepercayaan berdasarkan kenyataan), setelah melalui fana dan baka (penghancuran kesadaran diri dan yang ada hanya Allah SWT), dan makrifat.
(7) Qurbah, yaitu maqam terakhir yang memungkinkan sufi, karena dekatnya dengan Tuhan, menampilkan diri dalam nama dan sifat yang mirip dengan nama dan sifat Tuhan.