Nikah

(Ar.: an-nikah)

Kata “nikah” berasal dari bahasa Arab yang berarti “bergaul”, “bercampur”, “menghimpun”, atau “mengumpulkan”. Dalam arti fikih, nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan suami-istri. Tujuan pernikahan Islam adalah keluarga bahagia yang rukun, damai, serta penuh kasih sayang untuk mendapat keturunan sah.

Berbagai ayat dan hadis menunjukkan bahwa nikah itu sangat dianjurkan dalam Islam. Dalam Al-Qur’an terdapat 23 ayat yang menyangkut nikah. Di antaranya terdapat ayat yang menjelaskan keharusan menikah, seperti surah ar-Rum (30) ayat 21 yang berarti:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Berbagai hadis juga menunjukkan nikah sangat dianjurkan Rasulullah SAW. Misalnya, hadis yang diriwayatkan at-Tirmizi dari Abu Hurairah yang berarti: “Tiga hal yang benar-benar akan mendapat pertolongan Allah yaitu orang-orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang nikah yang menginginkan kesucian (kehormatan)….”

Demikian juga hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ashab as-Sunan (Penyusun Kitab Sunan), dan Imam Ahmad dari Ibnu Mas‘ud yang berarti: “Wahai para pemuda, siapa yang telah sanggup untuk menunaikan nafkah (lahir dan batin) hendaklah dia kawin, karena kawin itu merupakan suatu jalan untuk membatasi pandangan (dari hal-hal yang negatif) dan lebih memelihara kehormatan….”

Hikmah Nikah. Ada beberapa hikmah yang dikemukakan ulama dari pensyariatan nikah. Hikmah itu antara lain sebagai berikut.

(1) Penyaluran naluri seksual secara benar dan sah, karena adakalanya naluri seksual ini sulit untuk dibendung dan sulit untuk merasa terpuaskan. Dengan jalan nikah naluri seksual dapat disalurkan kapan saja, asal hal tersebut tidak dilakukan pada waktu dan tempat yang dilarang syariat Islam.

(2) Satu-satunya cara untuk mendapatkan anak serta mengembangkan keturunan secara sah. Hal ini ditegaskan dalam sebuah sabda Rasulullah SAW yang berarti: “Nikahilah perempuan-perempuan yang akan dapat memberikan anak yang banyak, sesungguhnya saya akan bangga sekali mempunyai umat yang banyak dibandingkan nabi-nabi lainnya di hari kiamat” (HR. Ahmad).

(3) Untuk memenuhi naluri kebapakan dan keibuan yang dimiliki seseorang dalam rangka melimpahkan kasih sayangnya. Naluri ini adalah bawaan yang menunjukkan rasa kemanusiaan seseorang.

(4) Menumbuhkan rasa tanggung jawab seseorang yang telah dewasa, yang juga memberikan dampak terhadap aktivitas kehidupan seseorang untuk mencari nafkah untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.

(5) Berbagi rasa tanggung jawab melalui kerjasama yang baik, yang selama ini hanya terfokus untuk diri sendiri.

(6) Mempererat hubungan antara satu keluarga dan keluarga lain melalui ikatan persemendaan. Hal ini membawa dampak yang positif dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas.

(7) Menurut penelitian para ahli, orang-orang yang menikah (suami-istri) lebih memiliki kemungkinan umur yang panjang dibandingkan dengan orang-orang yang belum/tidak kawin.

Peminangan. Sebelum terjadi akad nikah perlu dilakukan khithbah (peminangan) yang dilakukan lelaki terhadap wanita melalui tata cara yang ditentukan Islam. Peminangan ini di samping merupakan ketentuan dari syariat Islam, juga agar perkawinan yang akan dilakukan benar-benar dipersiapkan dalam rangka kehidupan rumahtangga yang lebih baik.

Dalam pinang-meminang ada beberapa aturan yang harus dipatuhi. Pertama, perempuan yang boleh dipinang harus perempuan yang memang dapat dikawini, yaitu bukan termasuk wanita yang mahram bagi pria tersebut, bukan istri orang,

wanita yang dalam idah raj‘i (semasa idah pada talak satu dan dua), talak ba’in (Talak), dan juga tidak dalam idah kematian suami. Kedua, perempuan yang tidak sedang dalam pinangan orang lain.

Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berarti: “Tidak dihalalkan bagi salah seorang di antara kamu untuk meminang perempuan yang sedang dipinang oleh saudaranya (sesama muslim), kecuali ia telah membatalkan pinangan itu atau memberinya izin (HR. Ahmad, Bukhari, dan an-Nasa’i dari Ibnu Umar).

Dalam rangka pinang-meminang juga dianjurkan untuk saling melihat dan meneliti sifat dan kepribadian masing-masing. Rasulullah SAW menganjurkan kepada pria yang akan meminang seorang perempuan agar terlebih dahulu melihatnya.

Dalam sebuah sabda Rasulullah SAW dari Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah SAW mengatakan: “Jika seseorang di antara kamu akan meminang seorang perempuan, jika dia punya kesempatan untuk melihatnya, hendaklah ia lihat dahulu apa yang membuat ia tertarik untuk meminang perempuan tersebut.”

Dalam riwayat lain dari Mugirah bin Syu‘bah, “Diceritakan bahwa dia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu telah melihatnya?’ Dia berkata, ‘Belum.’

Kemudian Rasulullah SAW berkata, ‘Lihatlah dia dahulu, sesungguhnya hal tersebut akan lebih membuat pendekatan bagi kamu berdua’” (HR. an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan at-Tirmizi).

Karena tidak diperinci bagian tubuh mana saja yang boleh dilihat dari perempuan yang dipinang, timbul perbedaan pendapat. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa yang boleh dilihat hanya muka dan telapak tangan.

Pendapat lain ada yang mengatakan boleh dilihat seluruh badan. Kegiatan tersebut dilakukan melalui saling tukar pikiran antara pria dan wanita yang akan dipinang ataupun melalui orang-orang yang dipercayai.

Ulama fikih mengemukakan bahwa pertunangan hanya merupakan sekadar perjanjian untuk kawin tanpa mengandung risiko apa pun. Oleh sebab itu seseorang dapat membatalkan pertunangan tanpa ada risikonya.

Jika pertunangan dibatalkan, sedangkan selama pertunangan telah terjadi saling memberi hadiah atau mungkin juga sebagian mahar telah ditunaikan, jumhur ulama berpendapat bahwa segala pemberian yang sifatnya hadiah tidak perlu dikembalikan.

Alasannya adalah sabda Rasulullah SAW yang berarti “Jika seseorang dari kamu telah menghadiahkan sesuatu hadiah atau menghibahkan suatu hibah, tidak halal dia tarik kembali, kecuali apabila pemberian itu dari ayah kepada anaknya” (HR. Ashab as-Sunan dari Ibnu Abbas).

Bagi kalangan Mazhab Hanafi, hadiah yang diberikan pada waktu pertunangan boleh ditarik kembali, kecuali jika hadiah tersebut sudah dipergunakan atau sudah hilang. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa jika pemutusan ikatan pertunangan ini muncul dari orang yang menerima hadiah, hadiah harus dikembalikan.

Jika munculnya pemutusan ikatan pertunangan ini dari pihak yang memberikan hadiah, hadiah tak dapat ditarik kembali. Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa hadiah harus dikembalikan walau dari pihak mana pun munculnya pemutusan ikatan pertunangan ini. Jika benda yang dihadiahkan itu masih ada, benda semula itu yang dikembalikan. Namun jika bendanya telah tidak ada lagi, nilainya yang dikembalikan.

Rukun Nikah. Hakikat rukun nikah adalah persetujuan kedua belah pihak dan persesuaian kehendak kedua belah pihak untuk saling mengikatkan diri. Karena kedua unsur ini bersifat rohani yang tak mungkin diketahui orang lain maka harus ada ungkapan ijab kabul yang menjelaskan maksud-maksud di atas.

Ijab menunjukkan keinginan seseorang terhadap pihak yang lain untuk melakukan ikatan perkawinan, sedangkan kabul adalah persetujuan dari pihak kedua akan ikatan perkawinan tersebut.

Syarat ijab dan kabul adalah sebagai berikut. (1) Kedua pihak adalah orang yang telah cakap bertindak hukum. (2) Dilakukan pada satu majelis (satu tempat). (3) Pengucap ijab tidak mencabut ijabnya sebelum kabul dilakukan. (4) Ada kesesuaian antara ijab dan kabul. (5) Kedua pihak saling mendengar ungkapan ijab dan kabul.

Yang dimaksud dengan ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis adalah antara ijab dan kabul tersebut tidak diselingi dengan pembicaraan lain, baik dari kedua belah pihak ataupun oleh orang lain.

Namun kalangan Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kabul tidak harus langsung sesudah ijab, selama tidak terjadi hal-hal lain yang membuat perpalingan suasana ijab dan kabul tersebut. Selama ijab dan kabul tidak diselingi pembicaraan lain, sekalipun kabul tersebut tidak langsung setelah ijab, hal itu tetap dianggap sebagai satu majelis.

Kalangan Mazhab Syafi‘i mensyaratkan bahwa kabul harus langsung setelah ucapan ijab selesai. Adapun ijab kabul yang dilakukan orang bisu cukup dilakukan melalui isyarat kedua belah pihak dengan ketentuan masing-masing dapat mengerti isyarat yang dipergunakan.

Ulama fikih berpendapat bahwa lafal ijab dan kabul harus dilakukan dengan fi‘l madi (kata kerja yang mengandung arti telah). Misalnya, “zawwajtuka ibnati” (telah saya nikahkan pada engkau anak saya), dan kabul dengan lafal, misalnya, “qabiltu” (saya [telah] terima).

Jadi dari segi bahasa Arab kedua kalimat ijab dan kabul di atas sama-sama mengandung kepastian atas apa yang diucapkan. Dalam bahasa Indonesia, kalimat itu berbunyi “Saya kawini engkau” dan “Saya terima”. Kedua ungkapan ini mengandung pengertian pasti.

Apabila ijab dan kabul atau akad ini dikaitkan dengan sesuatu, misalnya dengan pekerjaan, seperti ucapan “Saya nikahkan anak saya dengan engkau jika engkau dapat pekerjaan” dan pihak lain mengatakan “Saya terima”, tidak dapat dihukumi sebagai akad nikah, karena sesuatu yang dikaitkan tersebut bisa terjadi dan bisa tidak.

Apabila dikaitkan dengan waktu, seperti “Saya nikahi anak engkau selama satu bulan atau satu tahun”, lalu ayah wanita itu menjawab “Saya terima”, ungkapan-ungkapan ini juga tidak dapat membuat keabsahan suatu perkawinan, karena perkawinan pada dasarnya harus bersifat langgeng tanpa diikat waktu.

Perkawinan dengan ketentuan jangka waktu tidak akan memenuhi tujuan perkawinan yang dikehendaki Islam, seperti untuk keharmonisan rumahtangga serta mendapatkan dan memelihara keturunan. Ulama mengatakan bahwa perkawinan dengan ketentuan waktu tak ubahnya sebagai pemenuhan naluri seksual dalam waktu tertentu.

Adapun Rasulullah SAW telah melarang nikah tersebut dalam sabdanya yang berarti: “Wahai para manusia, dulu saya mengizinkan kamu untuk melakukan nikah mut’ah (nikah dalam waktu tertentu), namun sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat” (HR. Ibnu Majah).

Demikian juga dalam hadis yang diterima dari Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan sejak peperangan Khaibar. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas, bagi kalangan Syiah, nikah mut’ah masih tetap berlaku dan dianggap sah.

Hukum Nikah. Hukum melakukan nikah pada dasarnya adalah dianjurkan atau sunah berdasarkan firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 3 yang berarti: “…Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki….”

Ulama mengatakan bahwa ayat ini dari segi lafalnya adalah amar (perintah). Namun perintah dalam ayat ini dibarengi oleh qarinah (indikasi) yang memalingkannya pada hukum sunah (anjuran).

Akan tetapi jika dilihat pada kondisi seseorang, hukum nikah bisa berbeda pada setiap orang. Nikah diwajibkan kepada seseorang, apabila ia memang mampu lahir dan batin dan merasa khawatir akan berbuat zina jika ia tidak menikah.

Kemudian jika seseorang sudah mampu lahir dan batin untuk nikah, tetapi tanpa nikah dia tidak khawatir akan melakukan perbuatan yang diharamkan (seperti zina), disunahkan baginya untuk kawin.

Jika perkawinan tersebut dilakukan seorang lelaki dengan seorang wanita dengan tujuan untuk menzalimi perempuan tersebut dengan melepaskan tanggung jawab lahir dan batin, bagi orang ini haram untuk menikah.

Jika lelaki itu melepaskan tanggung jawabnya dalam nafkah lahir dan batin, sementara pihak istri tidak teraniaya dengan sikap itu, terhadap lelaki ini makruh hukumnya untuk kawin. Jika keinginan untuk kawin tidak begitu kuat, sementara halangan untuk kawin pun tidak ada, hukum kawin ketika itu dikatakan sebagai ibahah (boleh) saja.

Syarat Nikah. Syarat nikah adalah sebagai berikut.

(1) Yang akan dikawini itu adalah wanita yang halal untuk dikawini, bukan yang haram untuk selamanya maupun yang sementara. Wanita yang haram dikawini untuk selamanya itu ada tiga golongan, yaitu:

(a) wanita yang seketurunan dengan calon mempelai pria, terdiri dari: ibu dari ayah dan ibu terus ke atas, anak perempuan (cucu dan seterusnya), para saudara perempuan (sekandung, seayah saja, atau seibu saja), para bibi (saudara perempuan ayah sekandung, seayah atau seibu saja dan saudara perempuan ibu sekandung, seayah atau seibu saja), dan anak perempuan dari saudara laki-laki serta saudara perempuan;

(b) wanita yang ada hubungan persemendaan, yaitu: mertua perempuan (ibu istri) dan nenek perempuannya sampai ke atas, anak perempuan dari istri (anak tiri), istri anak lelaki atau cucu sampai ke bawah, dan istri ayah (ibu tiri); dan

(c) wanita sepersusuan, yaitu: perempuan yang menyusui, ibu dari wanita yang menyusui, saudara perempuan dari wanita yang menyusui, saudara wanita dari suami wanita yang menyusui, anak perempuan dari anak pria dan wanita dari wanita yang menyusui, dan saudara sepersusuan (baik saudara kandung, seibu atau seayah).

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang seberapa banyak susu yang diisap seseorang waktu kecilnya (dalam umur menyusu), sehingga membuat haram untuk mengawini orang yang disebutkan di atas.

Abu Hanifah (Imam Hanafi), Anas bin Malik, salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), Ibnu Abbas, Sa‘id bin Musayyab, Hasan Basri, az-Zuhri, Abu Qatadah, Hammad, al-Auza’i, dan as-Sauri berpendapat bahwa ayat Al-Qur’an tidak menunjukkan ukuran tertentu.

Oleh sebab itu banyak atau sedikit yang diisap oleh anak tersebut telah menyebabkan mereka haram dikawini. Menurut pendapat lain yang antara lain didukung Ibnu Mas‘ud, Aisyah binti Abu Bakar, Ata, Tawus, Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad dalam riwayat lain, susuan yang mengharamkan nikah adalah minimal 5 kali isapan.

Pendapat ini didasari hadis yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa’i dari Aisyah. Jika ayat tidak menentukan kadar yang mengharamkan tersebut, menurut mereka, hadis ini membatasi paling sedikit 5 kali susuan.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang sampai mengharamkan nikah antarsaudara sepersusuan paling sedikit adalah 3 kali susuan. Pendapat ini didasari riwayat dari Aisyah yang juga mengatakan, “Tidak diharamkan sekali atau dua kali susuan (isapan)” (HR. Muslim dan Ibnu Hibban).

Oleh sebab itu kadar minimal yang meng­haramkan nikah itu adalah tiga kali isapan. Pendapat ini dianut Abu Ubaid, Abu Saur, Daud az-Zahiri, Ibnu Munzir, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Ketetapan tentang haramnya wanita yang disebutkan di atas untuk dikawini adalah firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 22–23.

Adapun yang haram dikawini untuk sementara waktu adalah saudara perempuan istri (QS.4:23) dan bibi dari istri (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Apabila istri tersebut telah diceraikan atau meninggal dunia, barulah boleh mengawini saudara perempuannya atau bibinya.

Wanita lain yang juga haram untuk dikawini buat sementara waktu (mu’aqqat) adalah yang masih berstatus istri orang lain atau yang masih dalam keadaan idah, yang telah ditalak tiga (tidak boleh dikawini oleh suaminya yang pertama sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan orang lain), dan wanita musyrik.

(2) Nikah harus dihadiri minimal dua orang saksi. Para saksi ini harus orang yang balig dan berakal serta mendengar ucapan ijab dan kabul secara jelas dan maksud yang dituju oleh ucapan tersebut benar-benar untuk nikah.

Pendapat ini dianut jumhur ulama dengan beralasan pada beberapa hadis yang di antaranya: “Hanya pelacur yang menikahkan diri mereka sendiri tanpa bayyinah (saksi)” (HR. at-Tirmizi dari Ibnu Abbas) dan “Tidak (sah) nikah kecuali dengan (adanya) wali dan dua orang saksi” (HR. at-Tabrani dari Aisyah).

Akan tetapi, kalangan ulama Syiah, seperti Abdur Rahman bin Mahdi, Ibnu Munzir, Zaid bin Harun, dan Ibnu Zubair, berpendapat bahwa saksi bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan karena menurut mereka hadis tentang saksi itu tidak ada yang kuat atau sahih.

Kalangan ulama pada umumnya berpendapat bahwa saksi merupakan syarat sahnya suatu perkawinan. Ada perbedaan pendapat tentang syarat yang harus dipenuhi seorang saksi. Imam Hanafi tidak mensyaratkan saksi harus seorang­ pria yang adil.

Menurutnya, saksi itu orang yang telah balig, berakal, mendengar ucapan ijab dan kabul, merdeka, dan Islam. Adapun kalangan Mazhab Syafi‘i mensyaratkan saksi itu harus adil, seorang pria, merdeka, balig dan berakal, dan mendengar ucapan ijab dan kabul.

(3) Wali, yaitu seseorang yang memiliki kekuasaan untuk mengakadnikahkan seorang perempuan yang ada di bawah perwaliannya. Syarat wali dalam nikah adalah: seorang yang merdeka, balig, berakal (baik orang yang di bawah perwaliannya itu muslim atau tidak), dan Islam jika wanita yang akan dikawinkan itu Islam.

Jumhur ulama mengatakan bahwa wali dalam nikah merupakan syarat sahnya nikah. Walilah yang mengakad nikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya dengan lelaki yang akan mengawininya. Oleh sebab itu seorang wanita tidak punya hak untuk menikahkan dirinya sendiri.

Nikahnya baru sah apabila yang mengakadkan itu adalah walinya. Alasan yang dikemukakan mereka adalah:

(a) surah an-Nur (24) ayat 32 yang berarti: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan….”;

(b) sabda Rasulullah SAW dari Abi Musa al-Asy‘ari yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan lain-lainnya yang menyatakan: “Tidak (sah) nikah kecuali dengan (melalui) wali”;

(c) hadis dari Aisyah yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ashab as-Sunan (kecuali an-Nasa’i), yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya dianggap batal.” Pernyataan itu konon diulang Rasulullah SAW sampai tiga kali.

Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi) berpendapat bahwa jika wanita itu telah balig dan berakal, dia mempunyai hak untuk langsung mengakadnikahkan dirinya sendiri tanpa wali.

Walaupun demikian mereka berpendapat bahwa adanya wali dianjurkan agar wanita tersebut terhindar dari fitnah yang mungkin terjadi. Wanita yang boleh mengakadnikahkan dirinya sendiri tidak mereka bedakan apakah itu gadis atau janda, asal mereka balig dan berakal.

Jika wanita itu telah mengakadkan dirinya, wali tidak boleh menentang atau menggugatnya, kecuali kalau wali melihat bahwa dalam perkawinan tersebut telah terjadi suatu kecurangan.

Misalnya, mahar yang diterima wanita lebih kecil dari mahar mitsil (mahar yang berlaku umum di lingkungan keluarga tersebut) atau wali melihat bahwa antara wanita dan lelaki itu tidak sekufu (sepadan). Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut.

1) Firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 230 yang berarti: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….”.

2) Surah al-Baqarah (2) ayat 232 yang berarti: “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya….”.

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa perkawinan itu pada dasarnya disandarkan pada wanita (bukan wali). Sebab, jika suatu pekerjaan disandarkan pada seseorang, berarti orang itulah pelaku sebenarnya dari pekerjaan tersebut. 3) Mereka mengkiaskan akad nikah dengan akad jual beli.

Jika seorang wanita bebas menjual harta benda miliknya, dia juga harus bebas mengakadkan dirinya kepada siapa yang diingininya. Tidak ada bedanya satu akad dengan akad lainnya. Menurut mereka, makna jual beli dalam nikah juga ada, yaitu dengan adanya mahar sebagai salah satu unsur yang membolehkan dukhul (bersetubuh).

Di samping itu sekalipun perempuan dalam pandangan mereka mempunyai hak untuk menikahkan dirinya sendiri, hal ini tidaklah mengurangi hak wali, karena wali juga mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan tersebut jika antara keduanya tidak kafaah (sepadan) dan jika wanita itu dicurangi tentang mahar.

Menurut mereka, hadis yang mensyaratkan wali hanya berlaku bagi orang yang tidak cakap bertindak hukum, seperti anak kecil atau orang gila.

Jika seorang wali ingin mengakadnikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya, dia harus meminta izin dan meminta persetujuan lebih dahulu dari wanita tersebut. Tentang hal ini ada yang mengatakan bahwa meminta izin itu hanya sunah, sedangkan ada pula yang menganggapnya wajib.

Masalah izin ini didasarkan pada hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Jemaah (kecuali Bukhari), yang berarti: “Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan perawan itu diminta keizinan dirinya, dan keizinan dirinya itu adalah diamnya.”

Jika anak perempuan yang dinikahkan itu adalah anak kecil, ayah atau kakeknya boleh menikahkannya tanpa seizinnya karena izin anak kecil tak dapat dipegang secara hukum.

Adapun ayah dan kakek tersebut dibolehkan untuk menikahkan tanpa izin karena mereka berdua lebih mengetahui kemaslahatan anak tersebut. Namun dalam hal ini kalangan Mazhab Syafi‘i menganjurkan agar anak kecil jangan dinikahkan dulu sampai mereka balig, sehingga hal-hal negatif yang akan muncul dalam rumahtangga mereka nantinya dapat dihindari.

Yang boleh menikahkan anak perempuan kecil, menurut jumhur ulama, hanyalah ayah dan kakeknya. Jika yang menikahkan itu selain ayah dan kakeknya, nikah itu tidak sah. Berbeda dengan itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa semua wali memiliki hak yang sama dalam menikahkan perempuan, termasuk menikahkan anak perempuan kecil.

Namun ia mengatakan bahwa setelah anak ini dewasa dan dia melihat bahwa tidak mungkin mempertahankan rumahtangga tersebut, ia mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan tersebut (fasakh). Hak inilah yang di kalangan Mazhab Hanafi dikenal dengan istilah khiyar al-bulug (kebebasan menentukan pilihan setelah seseorang menjadi dewasa).

Dalam fikih Islam perwalian itu sendiri dibagi dua, sesuai dengan keadaan orang yang berada dalam perwaliannya, yaitu perwalian yang mempunyai hak memaksa (wilayah al-ijbar) dan perwalian yang sifatnya bersama dan tidak memiliki hak memaksa (wilayah asy-syirkah atau wilayah al-ikhtiyar).

Untuk bentuk pertama dikatakan bahwa hal ini berlaku bagi orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukum atau memang tidak memilikinya sama sekali, seperti orang gila dan anak kecil. Dalam hal ini seorang wali mempunyai hak mengawinkan mereka tanpa izin mereka.

Bentuk kedua adalah perwalian yang ditujukan kepada wanita yang telah balig dan berakal. Dalam perkawinan mereka, wanita itu dan walinya harus secara bersama-sama merundingkan jodohnya dan wanita itu diminta izinnya tatkala akan akad nikah. Inilah sebabnya dinamakan wilayah asy-syirkah (kekuasaan berserikat).

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih tentang siapa saja yang memiliki wilayah al-ijbar. Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa wilayah al-ijbar hanya dimiliki ayah dan kakek.

Keduanya berhak untuk mengawinkan anak kecil tanpa seizinnya. Pemilihan ayah dan kakek saja didasarkan alasan bahwa mereka lebih tahu tentang kemaslahatan anak atau cucu mereka. Adapun terhadap orang gila, di samping ayah dan kakek, wilayah al-ijbar ini juga dimiliki hakim.

Dalam hal ini Mazhab Syafi‘i mensyaratkan 3 hal, yaitu: (a) wali mujbir (memaksa, menikahkan secara paksa) itu ayah dan kakek, (b) wali mujbir bukan orang yang fasik dan bodoh, dan (c) suami anak kecil itu harus sepadan (sekufu) dengan anak kecil tersebut.

Wilayah al-ijbar menurut kalangan Mazhab Maliki adalah ayah dan orang yang diberi wasiat (jika ayah meninggal). Ayah yang cerdas mempunyai hak untuk mengawinkan anak kecil tanpa izin, sekalipun dengan mahar yang lebih kecil dari mahar mitsil (setempat).

Adapun ayah yang bodoh, yang agama dan akalnya lemah serta kurang berpengalaman, tidak berhak memaksa anaknya kawin. Artinya, ayah yang seperti ini tidak memiliki hak ijbar (memaksa).

Selanjutnya, menurut kalangan Mazhab Maliki, dibolehkan bagi orang yang mendapat wasiat ayahnya atau yang menerima wasiat ini memberikan pula wasiat mengawinkan anak kecil ini kepada orang lain.

Orang yang menerima wasiat ini pun berhak mengawinkan anak kecil tersebut tanpa seizinnya, jika wasiat itu disampaikan secara jelas. Perkawinan yang dilakukan melalui orang yang mendapat wasiat dari ayah ini sama statusnya dengan wakil ayah jika ayah masih hidup.

Kalangan Mazhab Hanbali mengatakan bahwa yang memiliki hak ijbar adalah ayah terhadap anaknya yang masih kecil, orang yang mendapat wasiat dari ayah, dan hakim terhadap orang gila.

Akan tetapi Mazhab Hanbali mensyaratkan kepada orang yang mendapat wasiat ini dengan syarat sebagai berikut: (a) adanya penunjukan secara pasti dari ayah terhadap orang yang diberinya wasiat untuk mengawinkan anak itu sebelum balig, (b) perkawinan itu dilangsungkan dengan mahar mitsil, dan (c) suami tersebut bukan seorang yang fasik.

Kalangan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa seluruh wali adalah dari asabat (keluarga yang laki-laki yang menghabisi harta warisan), bukan hanya terbatas pada ayah dan kakek saja.

Mereka itu adalah dari jalur anak, cucu, sampai ke bawah; dari jalur ayah, kakek, sampai ke atas; dari jalur saudara laki-laki kandung, saudara seayah, dan anak-anak mereka; dan dari jalur paman kandung atau seayah, dan anak-anak mereka sampai ke bawah.

Menurut jumhur ulama, tertib para wali secara umum adalah mereka yang termasuk asabat. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa urutan para wali itu dimulai dari yang terdekat, kemudian baru yang jauh, dan setelah itu barulah wali hakim (sultan). Menurut Abu Hanifah, wali itu adalah asabat yang dimulai dari jalur anak sampai ke bawah, kemudian dari jalur ayah sampai ke atas, lalu dari jalur saudara, dan terakhir dari jalur paman.

Tatkala wali yang dekat ada, wali yang jauh belum berhak untuk menikahkan anak tersebut. Tetapi apabila wali yang terdekat tidak berada di tempat (gaib), sementara pihak peminang tidak sabar untuk menunggu kedatangan wali yang terdekat tersebut, hak kewalian berpindah kepada orang yang sesudahnya, dengan syarat kemaslahatan tetap jadi pertimbangan.

Jika wali yang gaib ini kembali, dia tidak berhak menentang perkawinan tersebut karena dengan kegaibannya itu dianggap seakan-akan dia tidak ada (ma‘dum). Ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi.

Imam Syafi‘i mengatakan, jika wali yang jauh menikahkan anak tersebut sementara wali yang dekat ada, pernikahan menjadi batal. Jika wali yang dekat ini gaib, wali yang sesudahnya tidak berhak menggantikan wali ini, tetapi haknya berpindah kepada kadi (wali hakim).

Permasalahan lain adalah jika seorang wali enggan untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya tanpa alasan yang jelas atau alasan yang sah menurut syarak (hukum Islam).

Sesuai dengan bunyi surah an-Nisa’ (4) ayat 127, seorang wali tidak boleh merasa enggan untuk menikahkan wanita yang ada di bawah perwaliannya, jika pria pilihan itu sepadan dengan wanita itu dan mahar yang diberikan adalah mahar mitsil.

Jika hal ini terjadi juga, pernikahan tersebut diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada wali-wali lainnya, karena hanya hakim yang berhak menghilangkan kezaliman yang dilakukan wali itu terhadap wanita yang ada di bawah perwalian tersebut.

Jika keengganan wali itu didasari alasan yang sah menurut syarak, seperti maharnya lebih kecil dari mahar mitsil, calon suami itu tidak sepadan dengan wanita tersebut, atau wali melihat ada lelaki lain yang sepadan atau lebih cocok dengan wanita tersebut, maka hak walinya tetap berlaku; karena dalam kasus seperti ini wali tersebut tidak dinamakan wali ‘adl (wali yang enggan untuk menikahkan wanita itu).

(4) Calon suami (mempelai pria). Apabila mempelai pria berhalangan hadir di majelis akad yang disebabkan beberapa hal yang menghalanginya (seperti sedang tidak berada di tempat),

dalam hal seperti ini ia dapat mewakilkan akad tersebut kepada lelaki lain yang dipercayainya, dengan syarat lelaki itu adalah seseorang yang memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna (kamil al-ahliyyah), yaitu balig, berakal, dan merdeka.

Hal ini disebabkan adanya suatu ketentuan umum di kalangan fukaha bahwa segala bentuk akad yang dapat dilakukan seseorang secara merdeka dapat diwakilkannya kepada orang lain.

Rasulullah SAW sendiri seringkali mewakili para sahabatnya untuk mengakadnikahkan mereka, sebagaimana sebuah sabdanya yang diriwayatkan Abu Dawud dari Uqbah bin Amr.

Dalam riwayat tersebut dinyatakan: “Rasulullah SAW berkata kepada seorang lelaki, ‘Apakah engkau rela saya nikahkan dengan si Fulanah?’ Lelaki itu berkata, ‘Ya.’ Kemudian Rasulullah SAW juga bertanya kepada pihak wanita,

‘Apakah engkau rela saya kawinkan dengan si Fulan?’ Wanita itu berkata: ‘Ya…’.” Hadis ini menunjukkan bahwa seseorang dapat mewakili kedua belah pihak (suami atau istri) dalam mengakadnikahkan mereka.

Timbul perbedaan pendapat tentang apakah seorang perempuan yang balig dan berakal dapat mewakilkan dirinya kepada perempuan balig dan berakal lainnya untuk menikahkan dirinya.

Menurut Imam Abu Hanifah, karena wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, di samping seorang wali tidak disyaratkan harus laki-laki, wanita pun dapat mewakili orang lain untuk akad nikah.

Adapun menurut jumhur ulama adalah kebalikannya. Karena wali itu disyaratkan seorang laki-laki dan wanita tidak dapat mengakadnikahkan dirinya sendiri, wanita tidak boleh mengakadnikahkan wanita lain.

Wakil dalam akad nikah pada hakikatnya hanya sekadar melakukan akad nikah atas orang yang diwakilinya. Oleh karenanya tidak ada hak dan tanggung jawab yang harus diterima atau dipertanggungjawabkannya, sebagaimana hak dan tanggung jawab yang berlaku bagi suami-istri.

Kafaah (sepadan, sebanding, dan semisal). Dalam istilah fikih dimaksudkan bahwa calon suami sebanding dengan calon istri dalam status sosialnya. Hal ini penting artinya agar pergaulan sosial antara suami dan istri lebih menjamin tercapainya keharmonisan hidup berumahtangga.

Terhadap hukum kafaah ini sendiri, serta sejauh mana hal ini dapat dilakukan, ulama berbeda pendapat. Ibnu Hazm tidak melihat sama sekali kepentingan penilaian terhadap kafaah ini.

Menurutnya, muslim mana saja, asal tidak pezina, memiliki hak untuk menikahi muslimah yang diinginkannya, asal juga bukan pezina. Ia berpendapat, karena seluruh umat Islam bersaudara, tidak ada halangan seorang berkulit hitam menikahi perempuan terhormat yang berbeda kulit dengannya.

Pendapatnya ini didukungnya dengan surah al-hujurat (49) ayat 10 dan surah an-Nisa’ (4) ayat 3 dan 24.

Sementara itu kebanyakan ulama berpendapat bahwa kafaah tersebut perlu mendapat perhatian, namun lebih ditujukan dari segi unsur keistikamahannya dalam agama dan akhlaknya, bukan karena keturunan, kekayaan, dan lain sebagainya.

Sekalipun seorang pria tidak jelas keturunannya dari mana, boleh saja ia mengawini perempuan terhormat lainnya yang memiliki silsilah keturunan yang jelas. Yang penting diperhatikan dalam hal ini adalah kerelaan kedua belah pihak.

Jika kedua belah pihak, yakni calon suami dan calon istri, telah setuju untuk menikah maka wali tidak berhak mengajukan keengganannya untuk menikahkan mereka selama keduanya adalah orang yang istikamah dan memiliki akhlak yang baik.

Alasan pendapat ini adalah surah al-hujurat (49) ayat 13 yang berarti: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu….”

Namun jika diteliti dari pendapat para fukaha (ahli fikih) dalam kitab-kitab fikih, kekafaahan seseorang dengan seorang yang lain tidak hanya terbatas pada keistikamahannya dalam hal agama dan akhlak, tetapi juga permasalahan lain.

Sayid Sabiq (tokoh pembaru Islam), misalnya, dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah mengemukakan enam sisi yang harus diperhatikan dalam menilai seseorang tersebut kafaah dengan seorang yang lainnya, yaitu dari segi keturunan, kemerdekaan, agama, profesi, kekayaan, dan keadaan jasmani.

Dari segi keturunan disebutkan bahwa orang Arab sepadan dengan Arab lainnya dan tidak sepadan dengan orang asing. Sayid Sabiq mengemukakan alasan dari sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Hakim dari Ibnu Umar yang mengatakan:

“Orang Arab sepadan/sebanding antara sesama mereka, antara satu kabilah dan kabilah lainnya, suatu desa dan desa lainnya, pria yang satu dan pria lainnya….”

Selain itu juga ada beberapa hadis lain yang semakna dengan itu. Menurut Sayid Sabiq, dalam hal keturunan ini tidak terjadi perbedaan pendapat antara kalangan Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanafi.

Namun terjadi perbedaan di antara mereka dalam menilai keunggulan yang terdapat dalam suku Quraisy sendiri. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa suku Quraisy sebanding dengan suku Hasyim.

Akan tetapi Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa suku Hasyim dan suku Muthalib tidak sebanding dengan Quraisy. Mereka beralasan dengan sebuah riwayat dari Wa’ilah bin Asqa yang mengatakan:

“Allah telah memuliakan Bani Kinanah dari Bani Isma‘il, dan telah memuliakan Bani Quraisy dari Bani Kinanah, juga memuliakan Bani Hasyim dari Bani Quraisy, dan Dia muliakan aku dari kalangan Bani Hasyim sesungguhnya kami (umat) pilihan dari pilihan…” (HR. Muslim).

Akan tetapi Abdur Rahman as-Sabuni, ahli ilmu Al-Qur’an, melihat bahwa hal tersebut hanya berlaku antara sesama bangsa Arab. Bagi bangsa ini telah merupakan tradisi sejak dulu untuk menjaga keturunan dan berbangga dengan keturunan mereka.

Kalau tradisi ini telah berubah, sebagaimana yang terjadi sekarang, masalah keturunan tidak memerlukan penilaian lagi sebagaimana yang mereka lakukan dahulu.

Imam Abu Hanifah tidak menjadikan profesi (pekerjaan) sebagai salah satu unsur penilaian kafaah, sekalipun kedua sahabatnya, yakni Abu Yusuf dan Muhammad, mensyaratkan hal tersebut.

Ulama lain melihat hal ini termasuk unsur yang dinilai. Jika seseorang mempunyai pekerjaan yang mulia, dia tidak sebanding dengan pekerja biasa. Alasan mereka, kata Sayid Sabiq, tetap hadis yang dikemukakan di atas. Namun mereka juga mengembalikan penilaian mulia atau tidaknya suatu profesi pada ‘urf (tradisi) setempat.

Mengenai unsur kekayaan, di kalangan ulama Mazhab Syafi‘i terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa orang miskin tidak sebanding dengan orang kaya dalam hal perkawinan, disebabkan biaya hidup orang miskin dan kebiasaan mereka berbeda dengan biaya dan kebiasaan hidup orang kaya.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa kekayaan tidak termasuk unsur penilaian karena kekayaan tersebut bisa saja didapat selama perkawinan. Bagi kalangan Mazhab Hanafi, masalah kekayaan tidak menjadi unsur penilaian dalam kafaah.

Adapun yang dimaksud dengan kafaah agama adalah keislaman pihak keluarga masing-masing, bukan antara dua calon suami-istri. Jika seorang wanita mempunyai ayah, kakek, dan seterusnya ke atas yang sejak awal telah beragama Islam, dia tidak kafaah dengan pria yang keislaman keturunannya masih baru, atau ayah dan kakeknya bukan beragama Islam.

Kitab-kitab fikih biasanya menjadikan unsur ini khusus untuk kaum muslimin non-Arab, karena menurut para penulis tersebut unsur “lebih dahulu Islam” menjadi suatu kebanggaan di kalangan muslimin non-Arab.

Namun Imam Abu Zahrah (ahli usul fikih, fikih, dan kalam) melihat bahwa unsur kebanggaan “lebih dahulu masuk Islam” ini hanya bagi para mawali (suku bangsa Persia pada awal Islam yang mengikatkan diri pada salah satu suku Arab tatkala daerah mereka ditaklukkan Islam untuk kepentingan keselamatan diri mereka), bukan kepada orang non-Arab secara keseluruhan.

Unsur keagamaan lainnya yang termasuk penilaian kafaah adalah tentang keistikamahan seseorang dan kesalehannya. Perempuan saleh dan istikamah tidak sebanding dengan lelaki yang fasik.

Kafaah lainnya adalah unsur kemerdekaan seseorang. Dalam hal ini orang yang merdeka tidak sebanding dengan hamba sahaya.

Yang terakhir adalah tentang cacat yang ada pada jasmani seorang lelaki. Oleh Mazhab Syafi‘i hal ini dijadikan unsur penilaian kafaah, jika perempuan tersebut merasa terganggu dengan cacat jasmani tersebut (misalnya buta, pincang, dan bisu).

Namun ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali tidak menjadikan unsur cacat jasmani ini sebagai unsur penilaian dalam kafaah.

Kafaah pada dasarnya hanya ditujukan kepada calon suami, bukan kepada calon istri, karena sejak semula seorang pria telah diberi hak untuk memilih jodohnya. Pihak perempuan tidak diberi hak untuk melakukan penilaian dari segi kafaah atau tidaknya calon suami, karena mereka bukanlah pihak yang aktif dalam mencari jodoh.

Menurut jumhur ulama, kafaah juga termasuk hak dari wali pihak wanita, sehingga seorang wali tidak dibenarkan untuk menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sebanding dengannya.

Tugas wali adalah berusaha secara maksimal untuk kemaslahatan orang yang berada di bawah perwaliannya, yang salah satu di antaranya adalah dalam mencarikan jodoh.

Masalah kafaah ini berlaku pada saat terjadi akad, dalam pengertian jika terdapat perbedaan sifat dan identitas yang dikemukakan sebelumnya dengan yang didapati ketika akad, hal ini boleh dipermasalahkan.

Tetapi kalau penilaian kafaah tersebut dilakukan setelah terjadi akad, akadnya tidak dapat dibatalkan.

Hak dan Kewajiban dalam Perkawinan. Dalam suatu perkawinan ada hak-hak yang harus diterima seorang wanita (istri), di samping kewajiban yang harus dipenuhinya. Hak-hak tersebut bisa bersifat non-materi, seperti ia tidak dianiaya suaminya dan dipergauli secara baik, dan ada pula yang bersifat materi, seperti mahar, nafkah, pakaian, dan maskan (tempat tinggal).

Mahar. Mahar adalah pemberian suami kepada istrinya di awal pernikahan. Mahar pada dasarnya bukan syarat akad nikah, tetapi merupakan suatu pemberian yang bersifat semi mengikat, yang harus diberikan suami terhadap istrinya sebelum terjadi hubungan suami-istri, walaupun dalam keadaan belum sepenuhnya mahar yang disepakati itu diserahkan.

Hal ini terlihat dalam larangan Rasulullah SAW terhadap Ali bin Abi Thalib untuk melakukan hubungan suami-istri dengan istrinya, Fatimah az-Zahra (anak Rasulullah SAW), sebelum Ali memberikan sebagian mahar kepada istrinya itu.

Perintah membayar mahar kepada wanita yang dikawini, selain terdapat dalam hadis-hadis Rasulullah SAW, juga dijumpai dalam beberapa ayat Al-Qur’an dengan sebutan ujur dan saduqat (surah an-Nisa’ [4] ayat 4 dan 25 serta surah al-Ahzab [33] ayat 50).

Menurut syariat, keharusan membayar mahar itu dibebankan kepada mempelai laki-laki, bukan kepada mempelai perempuan. Penyebabnya, demikian menurut Abu Zahrah, merupakan suatu undang-undang yang berlaku di alam ini bahwa kaum lelaki biasanya adalah orang yang berusaha mencari nafkah, sedangkan wanita bekerja mengurusi rumahtangga.

Terhadap besarnya mahar (mas kawin) yang akan diberikan kepada pihak istri, ada ulama yang memberikan batasan terendah. Abu Hanifah membatasinya paling sedikit 10 dirham atau 7 dinar (pada masa itu), sedangkan Imam Malik di Madinah membatasinya dengan seperempat dinar.

Adapun Imam Syafi‘i dan fukaha lainnya tidak memberikan batasan terendah karena menurut mereka, harta apa pun dapat dijadikan mahar, baik itu jumlahnya sedikit atau banyak.

Sementara itu batasan tertinggi dari mahar tersebut tidak dikemukakan ulama. Agaknya kecenderungan pendapat ulama muta’akhkhirin (ulama ahli hadis sesudah abad ke-3 H) menunjukkan bahwa penentuan besarnya mahar tersebut terpulang pada ‘urf (kebiasaan setempat).

Mahar itu sendiri dapat dibayarkan secara tunai, keseluruhan, berutang ataupun sebagian saja dahulu di waktu terjadinya akad nikah, asalkan waktu penundaannya jelas.Mahar ada dua macam.

(1) Al-mahr al-musamma, yaitu mahar yang kepastian jumlahnya disepakati kedua belah pihak. Dalam pembayarannya, mahar ini wajib ditunaikan sesuai dengan jumlah tersebut.

Para fukaha menamakan juga mahar seperti ini sebagai mahar wajib. Selain jumlahnya, bentuk dan jenis al-mahr al-musamma juga ditentukan. Karena itu, mahar yang telah diberi identitas jelas ini wajib ditunaikan sesuai dengan identitasnya yang telah disepakati.

(2) Al-mahr al-mitsil, yaitu mahar yang jumlah, bentuk, dan jenisnya ditetapkan sesuai dengan yang berlaku di daerah tersebut. Jika al-mahr al-musamma didasari kesepakatan dan dibayarkan pada akad nikah yang berlaku secara biasa, al-mahr al-mitsil diwajibkan pada hal-hal berikut: (a) jika mahar tidak ditentukan identitasnya pada waktu melangsungkan akad;
(b) jika mahar tersebut ditentukan identitasnya, tetapi pada kenyataannya terjadi kecurangan, waktu itu al-mahr al-musamma berubah menjadi al-mahr al-mitsil; dan
(c) jika ada kesepakatan untuk tidak membayar mahar, saat akad nikah wajib dibayarkan al-mahr al-mitsil, karena mahar adalah akibat akad nikah yang ditentukan syarak, sekalipun bukan syarat mutlak dalam akad.

Kewajiban membayar mahar secara pasti, oleh Abu Zahrah dikemukakan dalam empat hal, yaitu:
(1) setelah terjadinya hubungan suami-istri dalam nikah fasid atau rusak (seperti nikah tanpa wali),
(2) terjadinya dukhul (sanggama) secara pasti dalam nikah sahih,
(3) meninggalnya salah satu pihak, dan
(4) terjadinya khilwah sahihah (berduaan antara suami-istri dalam suatu tempat yang tak dapat dilihat orang hingga kemungkinan terjadinya hubungan suami-istri sangat besar).

Hal ini berlaku pada nikah yang sahih. Untuk yang terakhir ini disyaratkan bahwa tidak ada halangan tertentu yang membuat tidak terjadinya hubungan suami-istri secara hakiki, seperti salah seorang dalam keadaan haid atau puasa, istri tersebut masih kecil atau sakit yang membahayakan, dan ada orang ketiga di kamar tersebut.

Mahar bisa saja gugur, baik sebagian atau bahkan seluruhnya. Mahar akan gugur sebagian jika terjadi perceraian sebelum dilakukan hubungan suami-istri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 237.

Mahar bisa gugur seluruhnya jika perceraian terjadi karena fasakh melalui khiyar al-bulug (kebebasan menentukan pilihan setelah seseorang menjadi dewasa) atau karena murtad. Demikian menurut Abu Zahrah.

Nafkah. Kewajiban yang bersifat materi lainnya bagi suami dalam suatu perkawinan adalah nafkah yang dibutuhkan oleh rumahtangga yang dibangunnya. Kewajiban nafkah merupakan tanggung jawab suami.

Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 233 dan surah ath-thalaq (65) ayat 6 dan 7. Hal ini juga didapati dalam berbagai sabda Rasulullah SAW.

Di antara hadis Rasulullah SAW yang terkenal adalah yang diucapkannya ketika haji wadak (haji perpisahan) yang diriwayatkan Muslim:

“Bertakwalah kamu (dalam menghadapi) perempuan (istri), sesungguhnya kamu ambil (nikahi) mereka dengan kalimat Allah, kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah, rezeki (nafkah) untuk mereka adalah kewajiban kamu (menunaikannya), dan juga pakaian mereka secara wajar….”

Selain itu juga terdapat riwayat mengenai Hindun yang mempunyai masalah dengan suaminya, Abu Sufyan. Hindun mengadu kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu lelaki yang syahih (kikir terhadap orang lain dan dirinya), dia tidak membayarkan nafkah kepada aku dan anak, kecuali jika saya sendiri yang mengambil dari hartanya, sementara dia tidak tahu.”

Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Ambil (hartanya) sesuai dengan kebutuhanmu dan anakmu, secara wajar” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Ada lima syarat yang harus dipenuhi istri supaya berhak mendapatkan nafkah dari suaminya, yaitu:

(1) perkawinannya berlangsung dengan sah, (2) perempuan itu menyerahkan dirinya (patuh) kepada suaminya, (3) suami diberi kesempatan (dilayani) untuk bersenang-senang dengan istrinya dalam segala hal, (4) mengikuti suami di mana suami bertempat tinggal, dan (5) istri tersebut adalah orang yang dapat melayani suami lahir dan batin.

Untuk menentukan besarnya nafkah yang akan diberikan kepada istri, tidak terdapat kesepakatan ulama. Kalangan ulama Mazhab Hanafi berpendapat, hal itu sangat ditentukan oleh keadaan seseorang, tempat, dan zamannya.

Kalangan Mazhab Syafi‘i, sekalipun sependapat dengan Mazhab Hanafi dalam beberapa hal, namun mereka juga berbeda pendapat dengan Mazhab Hanafi. Menurut Mazhab Syafi‘i, jika suami tersebut orang berada, ia wajib memberi nafkah sebanyak dua mud (cupak = lima per enam liter) setiap hari; golongan menengah satu setengah mud; dan orang yang miskin setengah mud.

Namun hal ini tentunya disesuaikan dengan perkembangan zaman dan berdasarkan ijtihad terhadap surah ath-thalaq (65) ayat 7. Menurut mereka, penentuan nafkah ini diserahkan kepada suami. Jika penentuan itu diserahkan kepada istri sesuai dengan kebutuhannya, akan terjadi pertengkaran yang pada gilirannya akan membawa pada keretakan hubungan suami-istri.

Ketiadaan ketentuan yang pasti menyangkut jumlah nafkah keluarga ini mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya, besar kecilnya jumlah nafkah kebutuhan pada sebuah rumahtangga diserahkan pada kesanggupan masing-masing. Yang harus diingat dalam hai ini adalah prinsip tidak boleh boros, tetapi juga tidak pelit.

Pernikahan Antaragama. Dilihat dari segi agama pelakunya, pernikahan biasa terjadi antarsesama muslim (yang telah dikemukakan di atas), namun bisa juga terjadi antara muslim dan nonmuslim (seperti muslim dengan musyrik atau muslim dengan ahlulkitab).

Di antara halangan nikah adalah apabila salah satu pihak (suami atau istri) termasuk orang musyrik. Jika yang musyrik ini masuk Islam, perkawinan tersebut boleh diteruskan.

Namun jika yang musyrik tersebut tidak mau masuk Islam, terjadi fasakh. Misalnya, suami-istri yang dahulunya sama-sama musyrik, lalu salah satu di antara keduanya masuk Islam.

Apabila sejak semula salah satu musyrik dan yang lain muslim, lalu akan melakukan perkawinan secara tegas melarangnya. Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 221 berfirman yang berarti: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya….”

Menurut fukaha, pengertian kaum musyrik adalah selain penganut ahlulkitab. Di antara kaum musyrik adalah penganut Zoroaster, Kong Hu Cu, dan penyembah berhala.

Adapun perkawinan yang dilakukan antara pria muslim dan wanita ahlulkitab, menurut sebagian ulama, dibolehkan berdasarkan surah al-Ma’idah (5) ayat 5.

Berbeda dengan pendapat di atas, Umar bin Khattab pada masa pemerintahannya melarang pemuda Islam menikah dengan wanita ahlulkitab. Menurut pendapatnya, kebolehan mengawini wanita ahlulkitab adalah agar mereka dapat ditarik masuk Islam.

Tetapi kenyataan yang dilihatnya tidak demikian. Di samping itu terlihat adanya kecenderungan di kalangan para pemuda untuk menikahi wanita ahlulkitab, sehingga wanita muslimah kurang mendapat perhatian. Itulah sebabnya Khalifah melarang, karena tujuan yang hendak dicapai tidak terpenuhi.

Apabila yang ahlulkitab adalah pihak pria dan wanitanya muslimah, menurut jumhur ulama tidak boleh dikawinkan, sekalipun tidak ada ayat yang secara tegas melarangnya. Di samping itu mereka beralasan dengan kaidah: “Hukum asal pada ibda’ (kemaluan perempuan) adalah haram, kecuali ada alasan yang membolehkan.”

Artinya, dalam masalah nikah, sekalipun tidak ada larangan dalam nas, namun hal itu tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, tidak ada nas bukan berarti boleh.

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang perkawinan antarumat beragama berdasarkan Keputusan No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980. Fatwa tersebut berisi: (1) perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim adalah haram hukumnya; (2) seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim.

Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dan wanita ahlulkitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. al-Ahwal asy-Syakhsiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980.
al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
al-Buga, Mustafa Dib. Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fiha (Masadir at-Tasyri‘ ath-thaba‘iyyah) fi al-Fiqh al-Islami. Damascus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.t.
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Ditbinbapera, Ditjenbinbaga Islam, 1991/1992.
Ibnu Nujaim. al-Asybah wa an-Naza’ir. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1967.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh. 1401 H/1981 M.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. al-Mujiz fi al-sadits al-Ahkam. Damascus:al-Jadidah, 1986.
al-Khin, Mustafa Sa’id. atsar al-Ikhtilaf fi al -Qawa’id al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1981.
al-Maqdusi, Ibnu Qudamah. al-Mugni. Cairo: al-Manar, t.t.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
_____________. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992, tentang Kesehatan. Surabaya: Arkola, 1992.
Sabiq, as-Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
as-Sabuni, Abdurrahman. Syarh Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah. Damascus: Matba‘ah al-Jadidah. 1978.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Cairo: Idarah at-Taba‘ah al-Muniriyah, t.t.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.
Nasrun Haroen