Nifas

(Ar.: an-nifas)

Darah yang keluar sesudah melahirkan atau yang keluar karena melahirkan disebut nifas. Nifas juga berarti “persalinan” atau “hal melahirkan”. Wanita yang melahirkan dalam bahasa Arab disebut nufasi’ (bentuk tunggal) dan nifas, nufus, atau nawafis (bentuk jamak).

Ulama berbeda pendapat dalam menentukan darah nifas. Menurut Mazhab Hanafi dan Syafi‘i, nifas adalah darah yang keluar sesudah melahirkan, sedangkan darah yang keluar bersamaan dengan bayi ketika dilahirkan atau sebelumnya bukan merupakan darah nifas, melainkan darah penyakit dan darah istihadah.

Menurut Mazhab Hanbali, nifas ialah darah yang keluar karena bersalin. Karena itu, darah yang keluar 2 atau 3 hari sebelum bersalin, pada saat bersalin, dan sesudah bersalin adalah darah nifas.

Adapun menurut Mazhab Maliki, nifas ialah darah yang keluar dari kelamin wanita hanya pada saat melahirkan atau sesudahnya. Menurut mazhab ini, darah yang keluar sebelum bersalin bukan nifas, tapi darah haid. Nifas dapat berlangsung mulai dari hanya sekejap (sebentar), selama 40 hari, atau sampai 60 hari sejak melahirkan. Mengenai masa keluarnya nifas, ulama juga berbeda pendapat.

Ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa nifas itu pada umumnya berlangsung selama 40 hari dan sebanyak-banyaknya 60 hari. Pendapat ini sejalan dengan ulama Mazhab Maliki yang juga mengatakan bahwa paling lama nifas berlangsung selama 60 hari.

Adapun ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa nifas hanya berlangsung selama 40 hari. Apabila setelah masa itu darah tetap keluar, darah itu bukan lagi darah nifas melainkan darah istihadah. Masa nifas yang berlangsung selama 40 hari itu didasarkan pada beberapa hadis Rasulullah SAW.

Antara lain hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa wanita nifas pada masa Rasulullah SAW harus duduk selama 40 hari 40 malam (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa Nabi SAW telah menentukan masa berlangsungnya nifas bagi seorang wanita selama 40 hari. Kedua hadis di atas sejalan pula dengan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud yang mengatakan bahwa seorang istri Nabi SAW yang dalam keadaan nifas harus duduk (menunggu) selama 40 hari.

Dalam beberapa hal nifas disamakan dengan haid. Kesamaan antara keduanya dapat dilihat dalam hadis Nabi SAW yang menyatakan: “Nifas itu seperti haid” (HR. ad-Darimi). Beberapa hukum yang berlaku pada haid berlaku pula pada nifas. Antara lain adalah sebagai berikut.

(1) Adanya kewajiban mandi bagi wanita yang telah selesai nifas dan haid. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 222 yang berarti: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.

Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.’”

(2) Selama masa nifas dan haid mereka tidak wajib melakukan salat. Hadis Rasulullah SAW yang menggambarkan hal tersebut ialah ketika Nabi SAW mengatakan kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Apabila haid telah datang, tinggalkanlah salat. Dan apabila telah selesai, mandilah dan salatlah” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i).

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dikatakan: “Akan tetapi tinggalkanlah salat pada hari-hari engkau haid, kemudian (kalau sudah selesai) mandilah dan salatlah.”

Di dalam buku al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Fikih Islam dan Dalil-Dalilnya), Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih dan usul fikih di Mesir) mengatakan bahwa ada tujuh hal yang diharamkan bagi wanita yang nifas yang berlaku pula bagi wanita yang haid dan junub.

Ketujuh hal tersebut adalah: (1) melakukan salat, (2) melakukan sujud tilawah, (3) menyentuh mushaf (Al-Qur’an), (4) memasuki masjid, (5) melakukan tawaf, (6) melakukan iktikaf, dan (7) membaca kitab suci Al-Qur’an.

Akan tetapi, golongan Mazhab Maliki membolehkan wanita yang nifas dan haid untuk membaca kitab suci Al-Qur’an dalam hati apabila darah sudah tidak keluar lagi dan belum mandi. Hal ini berlaku pula bagi wanita-wanita yang sedang dalam keadaan junub.

Beberapa ulama menambah beberapa hal lain. Golongan Mazhab Hanafi dan  Mazhab Syafi‘i mengatakan delapan hal, yaitu tujuh hal di atas ditambah dengan haramnya berpuasa.

Adapun golongan Mazhab Maliki menambah larangan di atas dengan: haram berpuasa, haram ditalak, haram bersenggama di faraj sebelum berhenti keluarnya darah, bersenggama pada selain faraj sebelum berhenti keluarnya darah, dan bersenggama setelah berhenti keluarnya darah tetapi belum mandi. Penjelasan dan dasar dari hal-hal yang haram dilakukan wanita yang nifas dan haid adalah sebagai berikut.

(1) Larangan melakukan salat. Larangan ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Fatimah binti Abi Hubaisy yang berarti: “Apabila haid, tinggalkanlah salat” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i).

Ulama sepakat bahwa selama haid dan nifas kewajiban melakukan salat menjadi gugur dan tidak perlu dikada. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Aisyah binti Abu Bakar RA yang berarti: “Ketika kami dalam keadaan haid di masa Rasulullah, kami hanya diperintahkan mengkada puasa, tetapi tidak diperintahkan mengkada salat” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud. at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

(2) Larangan melakukan puasa, dengan ketentuan puasa yang ditinggalkan karena haid dan nifas harus dikada pada hari lainnya. Hal ini didasarkan atas hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA di atas.

(3) Larangan melakukan tawaf. Dasarnya adalah hadis yang disampaikan Rasulullah SAW kepada Aisyah RA: “Apabila engkau dalam keadaan haid, kerjakanlah hal-hal yang dikerjakan oleh orang-orang haji lainnya, tetapi engkau tidak boleh melakukan tawaf di Baitullah kecuali setelah suci” (HR. Bukhari dan Muslim).

(4) Larangan membaca Al-Qur’an. Larangan ini didasarkan atas sabda Rasulullah SAW yang berarti: “Tidak diperbolehkan bagi wanita haid dan junub membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an” (HR. at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan al-Baihaki).

(5) Larangan menyentuh mushaf Al-Qur’an dan membawanya (Al-Qur’an). Hal ini didasarkan atas surah al-Waqi‘ah (56) ayat 79 yang berarti: “Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”

Ini merupakan pendapat golongan Zahiriyah. Bahkan bagi jumhur ulama lain, seperti Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Syafi‘i, menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an tidak hanya dilarang (haram hukumnya) untuk orang-orang yang dalam keadaan haid dan nifas, tetapi juga dilarang bagi orang-orang yang dirinya masih dalam keadaan tidak berwudu.

(6) Larangan memasuki masjid, tinggal di dalamnya dan melakukan iktikaf. Dasarnya adalah hadis Rasulullah SAW yang berarti: “Tidak halal masjid bagi wanita yang haid dan junub” (HR. Abu Dawud).

Namun demikian, ulama masih berbeda pendapat dalam persoalan ini. Mazhab Syafi‘i dan Hanbali membolehkan wanita haid dan nifas lewat di dalam masjid selama mereka dapat menjaga kotorannya.

Pendapat golongan ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Aisyah RA yang menyatakan: “Rasulullah SAW pernah memerintahkan aku untuk mengambil khumrah (semacam sajadah)-nya dari dalam masjid. Aku lalu berkata, ‘Saya haid’. Nabi kemudian berkata lagi, ‘Sesungguhnya haidmu tidak di tanganmu’” (HR. Muslim).

(7) Larangan bersenggama (berhubungan suami-istri) dan haram pula hukumnya bagi sang suami untuk menikmati segala sesuatu dari tubuh sang istri dari pusat sampai dengan lutut.

Larangan tersebut didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 222 dan sabda Rasulullah SAW ketika Abdullah bin Sa‘ad mengajukan pertanyaan kepadanya: “‘Apa yang halal bagiku dari istriku, padahal ia dalam keadaan haid?’ Nabi SAW menjawab, ‘Yang halal bagimu ialah apa yang terdapat di atas sarungnya (yaitu mulai dari pusat ke atas)’” (HR. Abu Dawud).

(8) Larangan ditalak (dicerai). Dasarnya adalah surah ath-thalaq (65) ayat 1 dan hadis yang diriwayatkan oleh Jemaah kecuali Bukhari, yang menjelaskan bahwa Ibnu Umar (Abdullah bin Umar bin Khattab) pernah menalak istrinya dalam keadaan haid.

Lalu Umar bin Khattab menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah ia untuk merujuk istrinya, kemudian menalaknya setelah ia bersih atau hamil.”

DAFTAR PUTAKA
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
as-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum. Bandung: al-Ma’arif, 1970.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989.
J. Suyuti Pulungan