Secara kebahasaan an-nadzr berarti “mewajibkan atau mengharuskan pada dirinya”. Secara terminologis, kata an-nadzr berarti “mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT”.
Nazar telah disyariatkan kepada umat terdahulu sebelum masa Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, nazar yang diucapkan istri Imran, ibu Maryam, sebagimana disebutkan dalam Al-Qur’an yang berarti:
“…Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitulmakdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS.3:35).
Maryam pun bernazar sebagaimana disebutkan dalam surah Maryam (19) ayat 26 yang berarti: “Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini’.”
Pada umat Nabi Muhammad SAW, nazar disyariatkan berdasarkan nas, baik Al-Qur’an maupun hadis. Dalam Al-Qur’an, nazar disebutkan di beberapa tempat, di antaranya:
“…dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka…” (QS.22:29) dan “Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya” (QS.2:270).
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar RA, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya, dan barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat, maka janganlah (nazar itu) dilaksanakannya.”
Syariat membolehkan setiap muslim untuk bernazar. Hal ini menunjukkan bahwa hukum nazar adalah mubah. Ulama sepakat bahwa hukum melaksanakan nazar (melaksanakan sesuatu sesuai dengan yang telah dinazarkan) adalah wajib, dengan ketentuan bahwa nazar tersebut untuk melakukan kebaikan kepada Allah SWT dan bukan untuk bermaksiat kepada-Nya.
Orang yang bernazar tetapi tidak melaksanakan nazarnya, baik dengan sengaja atau karena tidak mampu melaksanakannya, harus membayar kafarat (denda) yang jumlahnya sama dengan kafarat melanggar sumpah. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kaffarat an-nadzr kaffarat al-yamin (Denda nazar adalah denda sumpah)” (HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ahmad).
Cara membayar kafarat yaitu dengan memilih salah satu dari alternatif berikut secara berurutan, yaitu: memberi makan 10 orang fakir miskin (untuk tiap orang seukuran dengan yang dimakan untuk kebutuhan sehari), memberi pakaian kepada 10 orang fakir miskin, memerdekakan hamba sahaya atau berpuasa 3 hari.
Mengganti nazar dengan perbuatan nazar yang lain diperbolehkan, akan tetapi ia tetap harus membayar kafarat sebagai sanksi atas semua nazar yang tidak dilaksanakannya.
Nazar memiliki beberapa prinsip yang harus dipatuhi, yaitu: (1) keinginan nazar harus diucapkan/dilafalkan, bukan hanya tersirat dalam hati; (2) tujuan nazar harus semata-mata karena Allah SWT; (3) nazar tidak dibenarkan untuk suatu perbuatan yang dilarang atau yang makruh; (4) jika yang bernazar meninggal sebelum melaksanakannya, nazar tersebut harus dilaksanakan oleh keluarganya.
Ditinjau dari segi lafal atau sigatnya, nazar terbagi dalam dua bagian.
(1) Nazar mutlak atau gair masyruth, yaitu nazar yang dilakukan semata-mata hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa adanya suatu sebab atau syarat tertentu. Misalnya, bernazar untuk salat dua rakaat atau puasa pada hari tertentu.
(2) Nazar muqayyad atau nazar masyruth, yang dilakukan karena memperoleh suatu nikmat. Misalnya, bernazar ketika lulus dalam ujian, memperoleh suatu keuntungan, dan karena terhindar dari suatu bahaya yang mengancam keselamatan.
Ditinjau dari segi isi, nazar terbagi dalam dua bagian. (1) Nazar untuk mengerjakan suatu perbuatan, seperti mengerjakan perbuatan ibadah yang disyariatkan dan perbuatan mubah. (2) Nazar untuk meninggalkan perbuatan yang dilarang atau yang makruh hukumnya, seperti bernazar untuk meninggalkan kebiasaan merokok.