Nawawi al-Jawi

(Banten, 1230 H/1813 M - Mekah, 1314 H/1897 M)

Nawawi al-Jawi adalah seorang ulama besar, penulis, dan pendidik dari Banten yang bermukim di Mekah. Nama aslinya adalah Nawawi bin Umar bin Arabi. Ia disebut juga Nawawi al-Bantani. Di kalangan keluarganya, ia dikenal dengan sebutan Abu Abdul Mu’ti. Ayah Nawawi bernama KH Umar bin Arabi, seorang ulama dan penghulu di Tanara, Banten. Ibunya bernama Jubaidah, seorang penduduk asli Tanara. Dari silsilah keturunan ayahnya, Syekh Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin), putra Maulana Syarif Hidayatullah.

Syekh Nawawi terkenal sebagai salah seorang ulama besar di kalangan umat Islam internasional. Ia dikenal melalui karya tulisnya. Beberapa julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir, dan Suriah diberikan kepadanya, seperti Sayid Ulama al-Hijaz, Mufti, dan Fakih. Dalam kehidupan sehari-hari ia tampil sangat sederhana.

Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orangtuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah dan bermukim di sana selama 3 tahun.

Di Mekah ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidilharam, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali.

Sekitar 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahirannya, ia membina pesantren peninggalan orangtuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajar di sana.

Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, di Mekah ia berupaya mendalami ilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.

Dengan bekal ilmu pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih kurang 30 tahun, Syekh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidilharam. Muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia.

Ada yang dari Indonesia, seperti KH Khalil (Bangkalan, Madura), KH Asy’ari (Bawean, Madura), dan KH Hasyim Asy’ari (Jombang, Jawa Timur). Ada pula yang berasal dari Malaysia, seperti KH Dawud (Perak).

Ia mengajarkan pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya, yang meliputi hampir seluruh bidang. Di samping membina pengajian, melalui muridnya Syekh Nawawi memantau perkembangan politik di tanah air dan menyumbangkan ide dan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia.

Di Mekah ia aktif membina suatu perkumpulan yang disebut Koloni Jawa, yang menghimpun masyarakat Indonesia yang berada di sana. Aktivitas Koloni Jawa ini mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari pemerintah kolonial Belanda.

Syekh Nawawi memiliki beberapa pandangan dan pendirian yang khas. Antara lain, dalam menghadapi pemerintah kolonial, ia tidak agresif atau reaksioner. Namun demikian ia sangat anti bekerjasama dengan pihak kolonial dalam bentuk apa pun.

Ia lebih suka mengarahkan perhatiannya pada pendidikan, membekali murid-muridnya dengan jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang kafir yang tidak menjajah, ia membolehkan umat Islam berhubungan dengan mereka untuk tujuan kebaikan dunia.

Ia memandang bahwa semua manusia adalah saudara, sekalipun dengan orang kafir. Ia juga menganggap bahwa pembaruan dalam pemahaman agama perlu dilakukan untuk terus menggali hakikat kebenaran.

Dalam menghadapi tantangan zaman, ia memandang umat Islam perlu menguasai berbagai bidang keterampilan atau keahlian. Ia memahami “perbedaan umat adalah rahmat” dalam konteks keragaman kemampuan dan persaingan untuk kemajuan umat Islam.

Dalam bidang syariat, ia mendasarkan pandangannya pada Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan kias. Ini sesuai dengan dasar-dasar syariat yang biasa dipakai Imam Syafi‘i karena dalam masalah fikih ia mengikuti Mazhab Syafi‘i.

Mengenai ijtihad dan taklid, ia berpendapat bahwa yang termasuk dalam mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi‘i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Hanbali. Bagi mereka haram bertaklid, sedangkan orang selain mereka, baik sebagai mujtahid fi al-madzhab, mujtahid al-mufti, maupun orang awam/masyarakat biasa, wajib taklid kepada salah satu mazhab dari mujtahid mutlak.

Kelebihan Syekh Nawawi telah terlihat sejak kecil. Ia hafal Al-Qur’an pada usia 18 tahun. Sebagai seorang syekh, ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh, dan bahasa Arab.

Pendiriannya, khususnya dalam bidang ilmu kalam dan fikih, bercorak Ahlusunah waljamaah. Keahliannya dalam bidang-bidang ilmu tersebut dapat dilihat melalui karya tulisnya yang cukup banyak.

Menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 115 buah, sedangkan menurut sumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu agama. Di antara karangannya, dalam bidang tafsir ia menyusun kitab Tafsir al-Munir (Yang Memberi Sinar).

Dalam bidang hadis, kitab Tanqih al-Qaul (Meluruskan Pendapat syarah Lubab al-Hadits, as-Suyuti). Dalam bidang tauhid, antara lain kitab Fath al-Majid (Pembuka Bagi yang Mulia syarah as-surr al-Farid fi at-Tauhid) dan kitab Tijan ad-darari (syarah fi at-Tauhid, al Bajuri) yang berisi penjelasan tentang masalah tauhid.

Dalam bidang fikih, antara lain kitab Sullam al-Munajah (Tangga untuk Mencapai Keselamatan syarah Safinah as-salah), at-Tausyih (syarah Fath al-Qarib al-Mujib, Ibnu Qasun al-Gazi) yang menguraikan masalah-masalah fikih, dan Nihayah az-Zen.

Dalam bidang ahlak atau tasawuf, antara lain kitab Salalim al-Fudala’ (Tangga Bagi Para Ulama Terpandang syarah Manzumah Hidayah al-Azkiya’), Misbah az-Zalam (Penerang Kegelapan), dan Bidayah al-Hidayah.

Dalam bidang tarikh, antara lain kitab al-Ibriz ad-Dani (Emas yang Dekat), Bugyah al-Awam (Kezaliman Orang Awam), dan Fath as-samad (Kunci untuk Mencapai Yang Maha Memberi). Dalam bidang bahasa dan kesusastraan, antara lain kitab Fath Gafir al-Khatiyyah (Kunci untuk Mencapai Pengampun Kesalahan) dan Lubab al-Bayan (Inti Penjelasan).

Beberapa keistimewaan dari karyanya telah ditemukan oleh para peneliti, antara lain kemampuan menghidupkan isi karangan, pemakaian bahasa yang mudah dipahami, dan keluasan isi karangannya. Buku karangannya juga banyak digunakan di Timur Tengah.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ma’ruf. Syeikh Nawawi al-Bantani: Riwayat Hidup dan Perjuangannya. t.tp.: Yayasan Syeikh Nawawi al-Bantani, t.t.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1985.
Rachman, Abdur. “Nawawi al-Bantani: An Intellectual Master of the Pesantren Tradition,” Studia Islamika. Vol. III/3, 83–114, 1996.
Tihami, M.A. “Mengenal Syeikh Nawawi al-Bantani,” al-Qalam, No. 05/IV/1986.
Nawawi, Syeikh. Nihayah az-Zen. Bandung: al-Ma’arif, t.t.
Ramli, Rafiuddin. Sejarah Hidup dan Silsilah Syeikh KH Muhammad Nawawi Tanara. Bandung: Yayasan Syeikh Nawawi al-Bantani, 1399 H/1979 M.
Utang Ranuwijaya