Nasionalisme

Istilah “nasionalisme” berasal dari bahasa Latin (nascere) yang berarti “lahir”. Dalam perkembangannya kemudian, istilah nasionalisme terkait erat dengan konteks sosial-politik dan ekonomi serta menunjuk kepada kesatuan budaya, bahasa, etnik, agama, dan wilayah bersama.

Secara terminologis, nasionalisme berarti “loyalitas dan ketaatan kepada satu bangsa dan negara dengan meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok, yang dimanifestasikan dalam bentuk integrasi rakyat dalam kesatuan politik.”

Nasionalisme sebagai salah satu paham politik memberikan pembenaran ideologis untuk membentuk entitas sendiri dalam bentuk negara nasional merdeka. Paham ini memberikan kebanggaan, mengembangkan egalitarianisme, dan mengandung semangat pembebasan.

Anthony Giddens (sosiolog Inggris; penulis) mendefinisikan nasionalisme sebagai kesetiaan individu terhadap seperangkat simbol dan keyakinan yang menegaskan komunalitas di antara anggota suatu sistem politik.

Secara historis, nasionalisme muncul di Perancis dan Inggris pada awal abad ke-13. Nasionalisme pada waktu itu muncul untuk mendukung kekuasaan pemerintah setelah gereja didepak dari kekuasaan politik. Dalam perkembangannya pada abad ke-16, nasionalisme mendapat tentangan karena dianggap telah merongrong peran gereja dan dianggap sekuler.

Di Inggris, pada abad tersebut muncul gerakan nasionalisme yang bersifat religius karena nasionalisme yang tumbuh pada abad ke-13 dianggap sebagai nasionalisme sekuler. Kaum puritan Inggris melakukan penentangan terhadap penyebaran sekularisme politik dengan melakukan revolusi teokratik.

Konsep nasionalisme sebelum berkembang dalam bentuk yang modern lebih difokuskan pada semangat kesukuan, negara kota, kerajaan feodal, dinasti, dan kepercayaan dogma agama. Para pengikutnya rela berperang, mengorbankan nyawa serta harta demi loyalitas, dan taat kepada raja serta ajaran agamanya.

Loyalitas mereka ternyata juga telah mempersempit ruang gerak cakrawala emosional dan intelektualnya. Dalam nasionalisme modern pengorbanan atas nama nasionalisme dilakukan untuk membela negara, sedangkan dalam masyarakat kuno demi membela dogma agama, sehingga yang terjadi adalah saling membunuh antara sesama atas nama ketaatan dan loyalitas kepada dogma agamanya.

Dogma mengenai kehidupan kekal, yakni kehidupan setelah mati, mengakar kuat dalam pikiran para pengikutnya dan mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-17.

Sebelum abad ke-18, kesadaran tentang nasionalisme belum sepenuhnya utuh dan masih bersifat parsial. Kehidupan politik, kewarganegaraan, pendidikan (keilmuan), dan kesenian belum berdiri di atas nasionalismenya sendiri.

Bahasa yang menjadi alat komunikasi dan transmisi keilmuan digunakan bahasa Latin, baik di sekolah maupun di lembaga pemerintahan di Eropa. Adapun di dunia Islam, bahasa yang lebih banyak digunakan adalah bahasa Arab sebagai media transmisi keilmuan dan komunikasi.

Homogenitas bahasa sebagai media komunikasi dan transmisi keilmuan ini menunjukkan bahwa nasionalisme sebagai paham yang terkait erat dengan ciri lokalitas geografis dan bahasa suatu bangsa belum tampak secara utuh.

Menurut Benedict Anderson (ahli ilmu politik dari Amerika Serikat), kemunculan nasionalisme terkait erat dengan berkembangnya percetakan (surat kabar, buku, dan novel) yang mendukung perkembangan bahasa lokal dan menggeser posisi bahasa Latin sebagai bahasa universal yang dulu dianggap sakral.

Pada abad ke-18, konsep nasionalisme mulai mengalami perubahan dengan penekanan bahasa lokal sebagai media komunikasi dan tidak lagi menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa sakral dan universal.

Tumbuh pemikiran bahwa setiap bangsa pada hakikatnya memiliki ciri khasnya masing-masing dan secara khusus berbeda serta tak satu pun bangsa lebih unggul daripada bangsa lainnya. Masing-masing mempunyai kekhasan dan keistimewaan yang direalisasikan melalui kulturnya.

Bahasa, adat istiadat, dan pranata sosial menjadi unsur pembeda dan penting bagi sebuah bangsa. Bahasa ibu turut memberikan kualitas magis kehidupan spiritual dan intelektual. Nasionalitas turut pula mempererat kekhasan dan loyalitas pada semangat nasionalisme dan menjadi alat ekspresi yang akan mewarisi bahasa nasional.

Orang Irlandia selama kurang lebih 200 tahun memakai bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi. Namun pada 1893, Douglas Hyde, mahasiswa keturunan Inggris, menemukan perkumpulan bahasa Gaelik (Gallik) untuk orang Irlandia dan akhirnya mereka menggunakan bahasa Gaelik sebagai bahasa ibu mereka.

Nasionalisme pada abad ke-18 juga menjadi sebuah gerakan politik. Banyak alasan yang mengilhami munculnya semangat nasionalisme sebagai gerakan politik. Salah satunya adalah adanya peran negara yang sentralistis dengan sistem monarki absolut yang turut membantu hancurnya kekuatan struktur feodal.

Sekularisasi kehidupan dari hal yang irasional, pemaksaan pendidikan suatu jenis bahasa, melemahnya pengaruh kekuasaan gereja serta sekte, dan perkembangan kapitalisme serta industrialisasi telah turut memberi andil dalam menumbuhkan semangat kebangsaan. Inilah awal lahirnya nasionalisme modern.

Nasionalisme modern ini berkembang dan menjadi gerakan revolusioner ketika meletus Revolusi Perancis (1789–1799). Kedaulatan yang dulu dimiliki seorang raja telah digantikan kedaulatan rakyat. Mereka berhasil meng­hancurkan kekuasaan monarki absolut dan membebaskan tanah airnya dari cengkeraman kekuasaan raja.

Konsep nasionalisme kemudian menyebar ke beberapa negara, seperti Jerman, Italia, dan Spanyol. Pada 1859 hingga 1871, Jerman dan Italia berhasil membangun persatuan nasional negaranya.

Jerman di bawah kekuasaan Otto von Bismarck (1815–1898) memperoleh persatuan sebenarnya sebagai sebuah negara baru setelah meletakkan otoritas kekuasaannya dengan sistem sentralistis dan ini terus berlangsung hingga kekuasaan presiden Republik Weimar. Tumbuhnya paham nasionalisme ini telah ikut melahirkan Perang Dunia I pada awal abad ke-20.

Pada akhir Perang Dunia I, prinsip nasionalisme atau sikap menentukan nasib negara sendiri sebagai tujuan dari perang diproklamasikan oleh presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Prinsip tersebut kemudian membangkitkan semangat kebangsaan untuk keluar dari segala bentuk imperialisme.

Keberhasilan ini dapat dilihat di Eropa dan di beberapa negara baru seperti di kawasan Balkan. Tetapi tingkat integrasi dan stabilitas negara baru tersebut belum terlalu kuat sehingga memunculkan banyak konflik.

Kondisi ini membuka kesempatan, terutama bagi Jerman, untuk menyegarkan kembali semangat nasionalismenya, yang sering disebut chauvinistic nationalism, guna memperluas negaranya ke Eropa Timur dan beberapa negara baru lainnya.

Ekspansi Jerman inilah yang turut melahirkan Perang Dunia II. Dua perang besar yang terjadi pada abad ke-20 itu disebabkan oleh kekuatan nasionalisme.

Terjadinya Perang Dunia II ikut menumbuhkan sekaligus merebakkan semangat nasionalisme di wilayah lainnya, seperti di Asia dan Afrika serta mendapat sambutan luar biasa di banyak negara.

Gerakan yang didorong oleh nasionalisme tersebut mulai mengkristal menjadi bentuk perlawanan terhadap imperialisme. Dari semangat dan perjuangan yang didorong oleh nasionalisme inilah banyak negara mampu melepaskan diri dari cengkeraman penjajah.

Ada dua bentuk nasionalisme yang saling berhadapan dan sering kali bersitegang, yaitu “masyarakat terbuka” dan “masyarakat tertutup”. Masyarakat terbuka direpresentasikan dengan bentuk negara dengan sistem yang transparan, tidak membedakan ras atau etnik, dan berbasis pada masyarakat politik serta kebebasan untuk menentukan nasib sendiri.

Adapun masyarakat tertutup lebih menekankan bentuk negara otokrasi, membedakan ras dan etnik, serta terikat pada determinisme historis, yakni bahwa bentuk masyarakat ideal telah terbentuk di masa lalu.

Dalam Islam, gerakan nasionalisme berkembang seiring dengan meluasnya imperialisme bangsa Eropa ke negara muslim. Kaum intelektual muslim yang merasa tertindas atas imperialisme tersebut memunculkan nasionalisme sebagai bentuk perlawanan.

Menurut John L. Esposito (editor The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford University Press, 1995), terdapat dua isu besar yang mewarnai dunia muslim abad ke-19, ketika imperialisme mendominasi dunia muslim, yaitu bangkitnya gerakan kemerdekaan dan isu nasionalisme.

Tumbuhnya nasionalisme di kalangan umat Islam tidak terlepas dari peran dan perjuangan tokoh muslim pada saat itu, seperti Jamaluddin al-Afghani (1838–1897) dan Muhammad Abduh (1849–1905) yang menyebarkan paham tersebut melalui media dan buku yang mereka terbitkan. Nasionalisme kemudian menyebar ke beberapa negara muslim, seperti Mesir, Arab Saudi, Iran, Tunisia, Maroko, dan Pakistan.

Nasionalisme yang tumbuh di kalangan umat Islam terbentuk atas dorongan nilai Islam yang menekankan kecintaan kepada negara yang dianggap sebagai bagian dari keimanan (hubb al-wathan min al-iman).

Pada umumnya nasionalisme sebagai paham yang terkait dengan konsep negara bangsa (nation state) menguat di negara muslim pada abad ke-20 yang kemudian mengantarkannya kepada kemerdekaan dari penjajahan.

Akan tetapi dalam banyak kasus, nasionalisme yang berkembang di negara-negara muslim bukan lagi merupakan “nasionalisme religius” (hubb al-wathan min al-iman), namun sudah menjadi nasionalisme sekuler.

Di Indonesia, pandangan mengenai kaitan nasionalisme dan Islam juga ditemukan. Sebelum Indonesia merdeka, Islam menjadi sumber perlawanan kaum muslim terhadap kaum kolonial. Di alam Indonesia merdeka, Islam menjadi salah satu sumber inspirasi bagi pembangunan bangsa.

Para pemikir Islam berusaha menjadikan ajaran Islam sumber etika dan kebijakan nasional. Kendatipun demikian, asas negara Indonesia diterima sebagai sesuatu yang final dan tidak ada pertentangan antara identitas keislaman dan keindonesiaan.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, 2001.
Esposito, John L. Islam and Politics. New York: Syracuse University Press, 1991.
______________. dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim, Problem dan Prospek. Bandung: Mizan, 1999.
Juergensmeyer, Mark. Menentang Negara Sekular, Kebangkitan Global Nasionalisme Religius. Bandung: Mizan, 1998.
The New Encyclopedia Britannica. New York: Grolier Incorporated, 2002.
A. Bakir Ihsan