Nass (jamak: nusus) dalam bahasa Arab berarti “jelas” dan “teks”. Secara terminologis, nas berarti “teks Al-Qur’an atau hadis tanpa melihat jelas atau tidaknya maksud yang dikandungnya” dan “teks Al-Qur’an atau hadis yang jelas maksudnya”.
Dalam pengertiannya yang terakhir, kalangan Mazhab Syafi‘i mengartikannya sebagai suatu teks Al-Qur’an dan hadis yang mengandung maksud secara jelas dan pasti. Di kalangan Mazhab Hanafi istilah nas berarti makna yang menjadi maksud utama dari turunnya suatu ayat atau hadis.
Hal ini misalnya tercermin dalam surah al-Baqarah (2) ayat 275 yang isinya menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maksud utama dari turunnya ayat tersebut adalah untuk membedakan antara jual beli dan riba sebagai bantahan atas dugaan orang Yahudi bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Tujuan utama dari turunnya ayat itulah yang dimaksud dengan nas di kalangan Mazhab Hanafi. Menurut mereka maksud dari nas tidak pasti. Oleh sebab itu ia menerima takwil.
Nas dalam pengertian teks Al-Qur’an atau hadis dibagi menjadi nas qath’i dan nas zanni. Nas Qath’i. Teks yang jelas dan pasti. Nas qath’i terbagi menjadi dua bagian.
(1) Nas qath’i al-wurud atau qath’i ats-tsubut, teks yang pasti datangnya dari Allah SWT atau dari Nabi Muhammad SAW.
(2) Nas qath’i ad-dilalah, yaitu teks yang jelas dan pasti penunjukan artinya, sehingga tidak memungkinkan pemberian arti lain dan tidak dapat ditakwilkan (ditafsirkan).
Menurut sebagian ulama, jumlah nas qath’i ad-dilalah dalam Al-Qur’an tidak banyak dan penunjukan artinya pasti dan jelas. Misalnya, masalah hak waris dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 12 yang berarti: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.”
Penunjukan (dilalah) hukum dari ayat ini jelas sekali dan tidak dapat ditakwilkan dan dipahami menurut arti selain yang ditunjuk ayat tersebut. Ayat itu jelas menunjukkan bahwa bagian suami dalam memperoleh harta pusaka peninggalan istrinya yang meninggal dengan tidak mempunyai anak ialah seperdua (nisf) dari harta peninggalan, tidak lebih dan tidak kurang.
Contoh lain terdapat dalam surah an-Nur (24) ayat 4 tentang hukum pidana bagi orang yang menuduh wanita yang berbuat zina yang berarti: “Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera….”
Petunjuk ayat itu jelas dan pasti bahwa penuduh yang tidak dapat mendatangkan empat orang saksi didera delapan puluh kali sebagai hukuman atas tuduhannya. Nas qath’i ad-dilalah terdapat pada ayat Al-Qur’an dan hadis sahih baik yang mutawatir maupun yang ahad.
Nas Zanni. Teks yang relatif atau nisbi. Nas zanni terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) nas zanni al-wurud atau zanni ats-tsubut, yakni teks yang susunan dan redaksinya masih relatif, tidak pasti kedatangan dan penetapannya; dan (2) nas zanni ad-dilalah, yakni teks yang penunjukan maknanya masih bersifat relatif (nisbi) sehingga memungkinkan adanya takwil yang menghasilkan pengertian yang lain.
Contoh nas zanni ad-dilalah dalam Al-Qur’an adalah surah al-Baqarah (2) ayat 228 tentang idah wanita yang dicerai yang berarti: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’.”
Dalam ayat ini terdapat kata quru’ yang mengandung dua pengertian, yaitu suci dan haid (menstruasi). Dari sini muncul perbedaan pendapat tentang masa idah wanita yang dicerai.
Ada yang berpendapat tiga kali suci dan ada yang mengatakan tiga kali haid. Dari nas zanni ad-dilalah inilah muncul perbedaan pendapat dan paham di antara pemuka-pemuka hukum Islam dan selanjutnya menimbulkan mazhab-mazhab hukum yang berbeda. Nas zanni ad-dilalah juga terdapat dalam ayat Al-Qur’an dan hadis sahih, baik yang mutawatir maupun yang ahad.
Nas yang berasal dari ayat Al-Qur’an diyakini secara konsensus (ijmak) sebagai teks yang benar diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Redaksi dan susunan kata-kata nas Al-Qur’an bersifat mutlak, meyakinkan, dan tidak mengalami perubahan sedikit pun sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Oleh karena itu, teks atau nas Al-Qur’an disebut nas qath’i al-wurud atau qath’i ats-tsubut, yakni pasti datangnya dan penetapannya.
Nas qath’i al-wurud juga disepakati terdapat pada sebagian hadis, yaitu pada hadis mutawatir. Hadis mutawatir disebut qath’i al-wurud, karena diyakini kebenarannya sebagai sabda Nabi SAW atau perbuatannya yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, yang kemudian diteruskan kepada generasi-generasi sesudahnya.
Hadis sahih selain disebut hadis mutawatir pada umumnya dianggap tidak qath’i al-wurud, tetapi zanni al-wurud. Hanya ulama dari Mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa hadis sahih yang masyhur adalah juga nas qath’i al-wurud.
Ada juga yang berpendapat bahwa hadis masyhur itu adalah qath’i al-wurud dari sahabat Nabi Muhammmad SAW, yakni pasti datangnya atau diriwayatkan dari sahabat Nabi SAW. Hadis sahih selain hadis mutawatir adalah hadis masyhur atau hadis ahad (ada yang memasukkan hadis masyhur pada hadis ahad).
Dikatakan sebagai nas zanni al-wurud karena hadis tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak menimbulkan keyakinan yang pasti kebenarannya.