Naqsyabandiyah, Tarekat

(Ar.: Tariqah an-Naqsyabandiyyah)

Naqsyabandiyah adalah tarekat yang didirikan Muhammad bin Muhammad Naqsyabandi (1318–1389), satu-satunya tarekat yang silsilah penyampaian ilmunya kembali ke Nabi Muhammad SAW melalui Abu Bakar as-Siddiq. Tarekat ini taat pada syariat, menjauhkan musik dan tarian dalam ibadah, dan lebih menyukai zikir diam.

Tarekat Naqsyabandiyah bersumber dari Abu Ya’kub Yusuf al-Hamadani (w. 535 H/1140 M), sufi yang hidup sezaman dengan Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Saleh Zangi Dost Jilani atau Syekh Abdul Qadir al-Jailani (470 H/1077 M–561 H/1166 M), tokoh sufi dan wali besar.

Tarekat lain yang bersumber dari al-Hamadani ialah Tarekat Yasawiyah di Asia Tengah yang kemudian mempengaruhi Bektasyi (tarekat yang sangat berpengaruh di Turki) di Anatolia (Asia Kecil). Tarekat Yasawiyah didirikan oleh khalifah al-Hamadani yang lain, Ahmad al-Yasawi (w. 562 H/1169 M).

Ajaran al-Hamadani disebarluaskan oleh Abdul Khaliq Gujdawani (w. 1220), salah seorang murid sekaligus khalifahnya. Cara pengajaran yang dilakukan Abdul Khaliq Gujdawani disebut thariqati khwajagan (cara khoja atau guru).

Penyebarluasan ajaran ini terutama di daerah Transoksania (Asia Tengah). Ia menetapkan delapan prinsip utama di dalam ajaran tarekatnya. Kedelapan prinsip tersebut selanjutnya menjadi dasar dari Tarekat Naqsyabandiyah. Oleh karena itu, Tarekat Naqsyabandiyah sebelumnya disebut Tarekat Khwajagan.

Kedelapan prinsip ajaran Tarekat Naqsyabandiyah itu adalah sebagai berikut. (1) Husy dar dam, yakni pemeliharaan ke luar masuknya napas dari kelupaan kepada Allah SWT, sehingga hati salik (pengikut aliran tarekat) selalu hadir dan ingat kepada Allah SWT dalam setiap tarikan dan embusan napasnya.

Bagi Tarekat ini, masuk napas itu adalah hidup berhubungan dengan Allah SWT dan keluarnya adalah mati atau berpisah dengan-Nya. (2) Nazar bart qadam, yakni setiap salik memperlihatkan langkah dirinya. Apabila berjalan, ia selalu melihat ke tempat kakinya melangkah dan apabila duduk ia melihat pada kedua tangannya. Ia tidak boleh memperluas pandangannya karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang dalam mengingat Allah SWT.

(3) Safar dar wathan, yakni perpindahan dari sifat-sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah pada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci. Karena itu, setiap salik harus dapat mengontrol hatinya agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.

(4) Khalawat dar anjuman, yakni setiap salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan. (5) Yad kard, yakni selalu mengulangi zikir kepada Allah SWT, baik zikir asma/Zat (zikir dengan menyebut lafal Allah), zikir nafy (zikir dengan menyebut la ilaha) maupun zikir itsbat (zikir dengan menyebut lafal illa Allah).

(6) Baz gard, yakni menjaga pemikiran sendiri dengan mengulangi zikir sesudah meresapkan kalimat “Ilahi anta maqsudi wa ridaka mathlubi” (Wahai Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan keridaan­Mu merupakan tuntutanku). Dengan demikian, pandangan salik akan fana terhadap adanya makhluk.

(7) Nigah dast, yakni murid-murid harus dapat memelihara hatinya dari kemasukan segala sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya sekalipun hanya sejenak.

(8) Yad dast, pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT) terhadap nur dzat ahdiyyah (Cahaya Zat Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata-kata. Keadaan ini baru dapat dicapai seorang salik setelah ia mengalami fana dan baka yang sempurna.

Dasar ajaran yang delapan ini selanjutnya ditambahkan Naqsyabandi dengan tiga dasar lagi. (1) Wuquf zamani, yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang salik tentang ingat dan tidaknya ia kepada Allah SWT setiap 2 atau 3 jam.

Jika berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat-Nya.

(2) Wuquf ‘adadi, yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafy itsbat (zikir yang melafalkan la ilaha illa Allah) sehingga setiap zikir tidak diakhiri dengan bilangan genap.

(3) Wuquf qalbi, yaitu keadaan hati seorang salik yang selalu hadir bersama Allah SWT. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan pancaindra untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikit pun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT dan terlepas dari pengertian zikir.

Tarekat Naqsyabandiyah dibina atas enam hal pokok, yaitu: (1) tobat, (2) uzlah (pengasingan diri dari manusia ramai), (3) zuhud, (4) takwa, (5) qanaah, dan (6) taslim (berserah diri).

Adapun rukun Tarekat Naqsyabandiyah ada enam, yaitu
(1) ilmu, maksudnya berilmu pengetahuan tentang segala yang berhubungan dengan agama;
(2) hilm, yaitu penyantun, lapang hati, tidak mudah marah yang bukan karena Allah SWT;
(3) sabar atas segala cobaan dan musibah yang menimpa ketika dalam melaksanakan ibadah, ketika taat kepada Allah SWT, maupun ketika menjauhi segala larangan-Nya; (4) rida atau rela terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah SWT;
(5) ikhlas dalam setiap amal dan perbuatan yang dilakukan artinya, segala amaliah semata-mata dilakukan karena Allah SWT, tidak bercampur dengan yang lain walau sedikit pun; dan
(6) berakhlak yang baik.

Di samping itu, dalam Tarekat Naqsyabandiyah ada enam ketentuan yang dijadikan pegangan, yaitu:
(1) makrifat kepada Allah SWT, yaitu mengenal Allah SWT dan segala sifat-Nya;
(2) yakin;
(3) sakha’, yaitu pemurah sehingga hatinya suka memberikan separuh dari hartanya untuk Allah SWT;
(4) sidik, yaitu selalu benar dalam setiap perkataan dan perbuatan,
(5) syukur, yaitu selalu berterima kasih kepada Allah SWT dalam keadaan apa pun, baik senang maupun sakit, dan
(6) tafakur, yaitu memikirkan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah SWT.

Dalam tarekat ini juga ada enam kewajiban yang harus dikerjakan, yaitu:
(1) zikir kepada Allah SWT;
(2) meninggalkan kehendak hawa nafsu yang menginginkan sesuatu;
(3) meninggalkan segala perhiasan dunia dalam bentuk apa pun;
(4) melakukan ajaran agama dengan sungguh-sungguh;
(5) ihsan atau berbuat baik terhadap makhluk, baik kepada manusia maupun makhluk Tuhan lainnya; dan
(6) mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang jahat.

Pusat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah pertama kali adalah di daerah Asia Tengah. Ketika tarekat ini dipimpin Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar (1404–1490), hampir seluruh wilayah Asia Tengah dikuasai Tarekat Naqsyabandiyah.

Al-Ahrar, orang kedua sesudah Muhammad bin Muhammad Bahauddin Naqsyabandi, berusaha keras memajukan tarekat tersebut. Atas hasil usahanya, tarekat ini tidak saja berkembang di Asia Tengah, tetapi meluas sampai ke Turki dan India.

Dalam perkembangannya, banyak pusat Tarekat Naqsyabandiyah berdiri di kota maupun daerah, seperti di Samarkand, Merv, Chiva, Tashkent, Harrat, Bukhara, Cina, Turkestan, Khokand, Afghanistan, Iran, Baluchistan, dan India.

Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah ke India terjadi pada masa pemerintahan Babur (w. 1530), pendiri Kesultanan Mughal. Namun perkembangan yang berarti dari tarekat ini baru terjadi ketika Muhammad Baqi Billah (w. 1603) bermukim di Delhi.

Ia mampu merekrut sejumlah pengikut untuk menentang kebijaksanaan Sultan Akbar yang membentuk suatu aliran agama baru yang disebut Din Ilahi (agama Tuhan). Tarekat Naqsyabandiyah mulai menyebar di wilayah Suriah dan Anatolia pada abad ke-17. Tokoh yang menyebarkannya ialah Murad bin Ali Bukhari (w. 1132 H/1720 M).

Sementara itu, Tarekat Naqsyabandiyah di Mekah disebarkan oleh Tajuddin bin Zakaria (w. 1050 H/1640 M), seorang murid Baqi Billah dari India. Ia membaiat Ahmad Abu al-Wafa bin Ujail (w. 1664) yang kemudian menjadi khalifah Tarekat Naqsyabandiyah di Yaman.

Kekhalifahan Ahmad Abu al-Wafa diteruskan anaknya, Abu Zain Musa Abdul Baqi (w. 1663). Kedua khalifah inilah yang membaiat Ahmad bin Muhammad Dimyati (w. 1127 H/1715 M) menjadi khalifah Tarekat Naqsyabandiyah yang akhirnya menyebarkan tarekat ini di Mesir.

Selanjutnya, tarekat ini tersebar ke berbagai penjuru dunia Islam dan diikuti banyak pengikut. Di Indonesia, penyebaran tarekat ini terutama terjadi pada abad ke-19, masuk melalui pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Mekah atau melalui jemaah haji yang pulang ke Indonesia.

Pada abad ke-19 di Mekah terdapat sebuah pusat Tarekat Naqsyabandiyah di bawah pimpinan Sulaiman Effendi. Markas Tarekat Naqsyabandiyah ini terletak di kaki Jabal Abu Qubais (gunung atau bukit dengan ketinggian sekitar 370 m di sebelah timur Mekah dekat Masjidilharam).

Spencer Trimingham, sejarawan, menyebutkan bahwa sekitar 1845 seorang syekh Naqsyabandiyah dari Minangkabau dibaiat di Mekah. Menurut Snouck Hurgronje, Tarekat Naqsyabandiyah yang dipimpin Sulaiman Effendi di Mekah mempunyai banyak pengikut yang berasal dari berbagai daerah seperti Turki, Hindia Belanda, dan Malaysia.

Dari Mekah inilah, Tarekat Naqsyabandiyah menyebar luas ke berbagai daerah, termasuk Indonesia.

Namun, di Indonesia dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ini berkembang dalam bentuknya sendiri sehingga dikenal adanya dua versi, yaitu Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah.

Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah bersumber dari Syekh Ismail al-Khalidi di Minangkabau. Penyebarannya dilakukan mulai dari daerah asalnya, Simabur (Batusangkar, Sumatera Barat) dengan sistem penyebaran melalui pengembaraan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dari Simabur tarekat ini disebarkan ke Riau, kemudian diteruskan ke Kerajaan Langkat dan Deli, selanjutnya ke Kerajaan Johor. Adapun Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah bersumber dari Sayid Muhammad Saleh az-Zawawi. Kedua orang syekh ini hidup sezaman.

Penyebaran tarekat dari Syekh az-Zawawi lebih luas dan menyentuh dunia internasional. Muridnya sangat banyak, antara lain Syekh Abdul Murad Qazani (Turki) yang menurunkan ulama Tarekat Naqsyabandiyah, yakni Syekh Abdul Aziz bin Muhammad Nur yang berasal dari Pontianak,

Sayid Jakfar bin Muhammad dari Kampung Tanjung (Pontianak), Sayid Jakfar bin Abdur Rahman Qadri dari Kampung Melayu (Pontianak), dan Syekh Abdul Azim Manduri dari Madura yang berjasa besar menyebarkan tarekat ini di Jawa Timur dan Kalimantan Barat, khususnya di kalangan suku Madura.

Di samping itu, di Indonesia dikenal pula nama Tarekat Kadiriyah Naqsyabandiyah. Tarekat ini merupakan penggabungan antara Tarekat Kadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah yang penggabungannya dipelopori Syekh Ahmad Khatib Sambasi (w. Mekah, 1875) yang berasal dari Kampung Dagang atau Kampung Asam di daerah Sambas, Kalimantan Barat.

Ia seorang ulama besar yang mengajar di Masjidilharam di Mekah dan banyak mempunyai murid terkenal, antara lain Syekh Nawawi al-Bantani atau Nawawi al-Jawi, yang terkenal karena banyak karya tulis yang ditinggalkannya.

Penyebaran Tarekat Kadiriyah Naqsyabandiyah diperkirakan dimulai pada paruh kedua abad ke-19 ketika murid-murid Syekh Ahmad Khatib Sambasi kembali dari tanah suci Mekah.

Tarekat ini berkembang pesat di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, bahkan dianggap sebagai tarekat terbesar dengan jumlah anggota berjuta-juta orang. Tarekat tersebar ke seluruh pelosok tanah air, bahkan ke berbagai negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Di Pulau Jawa ada lima organisasi tarekat yang merupakan tarekat yang paling berpengaruh, yang semuanya bernama Tarekat Kadiriyah Naqsyabandiyah. Adapun pusatnya terletak di lima pesantren besar, yaitu Pesantren Pegentongan di Bogor, Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, Pesantren Mranggen di Semarang, Pesantren Rejosa di Jombang, dan Pesantren Tebuireng di Jombang.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Surabaya: al-Ikhlas, 1980.
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik). Solo: Ramadhani, 1988.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES, 1985.
Khatib, Syekh Ahmad. Fatwa tentang Thariqat Naqsyabandiyah, terj. Medan: Firma Islamiyah, 1978.
Said, Usman, et al. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Sumatra Utara, 1981/1982.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Bandung: Pustaka, 1985.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.
A. Hafiz Anshari