Muhammad bin Muhammad Naqsyabandi adalah seorang sufi dan pendiri Tarekat Naqsyabandiyah. Sebagai tokoh sufi besar dan pemimpin tarekat yang banyak pengikut, ia sangat dihormati, terutama oleh muridnya. Ia mendapat gelar syah, yang menunjukkan bahwa ia seorang pemimpin spiritual.
Nama lengkap Naqsyabandi adalah Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi. Ia merupakan seorang tokoh yang sangat pandai melukiskan kehidupan yang gaib-gaib kepada para pengikutnya, sehingga ia dikenal dengan nama Naqsyabandi (naqsyaband = lukisan).
Kata “al-Uwaisi” berhubungan dengan salah seorang tokoh sufi terkenal di masa sahabat, yaitu Uwais al-Qarni, karena sistem tasawuf Naqsyabandi menyerupai sistem tasawuf tokoh besar ini.
Di samping itu, menurut suatu riwayat, Naqsyabandi mempunyai hubungan keluarga dengan Uwais al-Qarni. Karenanya, ia juga dikatakan sebagai salah seorang keturunan Uwais al-Qarni. Adapun kata “al-Bukhari” dinisbahkan dengan Bukhara, tempat kelahiran dan wafatnya.
Menurut kitab Jami‘ al-Ushul, Naqsyabandi lahir dari keluarga dan lingkungan sosial yang baik. Kelahirannya disertai kejadian aneh. Bahkan, menurut suatu riwayat, jauh sebelum tiba waktu kelahirannya, sudah ada tanda aneh berupa bau harum semerbak di desa Hinduwan.
Bau itu tercium ketika Muhammad Baba as-Sammasi (w. 740 H/1340 M), seorang wali besar dari Sammas (sekitar 4 km dari Bukhara), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu as-Sammasi berkata, “Bau harum yang kita cium sekarang datang dari seorang laki-laki yang akan lahir di desa ini.”
Sekitar tiga hari sebelum Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak. Perkataan ini mungkin menunjukkan bahwa tak lama kemudian bayi itu lahir.
Setelah Naqsyabandi lahir, ia segera dibawa ayahnya kepada Muhammad Baba as-Sammasi, yang menerimanya dengan gembira. As-Sammasi berkata, “Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya.”
Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan senang menekuni ilmu tasawuf. Ia belajar ilmu tasawuf pada Muhammad Baba as-Sammasi (tokoh besar sufi) ketika ia berusia sekitar 18 tahun. Untuk itu, ia bermukim di Sammas.
Naqsyabandi belajar di situ sampai gurunya itu wafat. Namun sebelum Muhammad Baba as-Sammasi wafat, ia sempat mengangkat Naqsyabandi sebagai khalifahnya. Naqsyabandi sendiri kemudian bertolak ke Samarkand setelah gurunya meninggal dunia, selanjutnya pulang ke Bukhara dan menikah di sana. Setelah itu, Naqsyabandi pulang ke desa tempat kelahirannya.
Naqsyabandi belajar ilmu tarekat kepada seorang qutub di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772 H/1371 M). Amir Kulal adalah salah seorang khalifah Muhammad Baba as-Sammasi.
Dari Amir Kulal inilah Naqsyabandi memulai silsilah tarekat yang didirikannya. Amir Kulal menerima tarekat tersebut dari Muhammad Baba as-Sammasi, yang menerimanya dari Azizan Ali ar-Ramitani (w. 705 H/1306 M atau 721 H/1321 M), dari Mahmud Anjir Faghnawi (w. 643 H/1245 M atau 670 H/1272 M),
dari Arif Riwghari atau Arif Riyukari (w. 675 H/1259 M), dari Abdul Khaliq Gujdawani, dari Abu Ya’kub Yusuf al-Hamadani, dari Abu Fadl bin Muhammad at-Tusi al-Farmadi, dari Abu Hasan Ali bin Ja‘far al-Kharqani, dari Abu Yazid al-Bustami (261 H/874 M), dari Imam Ja‘far as-Sadiq (w. 148 H/765 M),
dari Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq, dari Salman al-Farisi, dari Abu Bakar as-Siddiq, yang menerimanya dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri, menurut silsilah itu, mengambil tarekat (zikir) tersebut dari Jibril yang menerimanya dari Allah SWT.
Meskipun tersusun rapi dari Naqsyabandi sampai kepada Rasulullah SAW, silsilah tersebut tidak terlepas dari kritik karena beberapa nama dalam silsilah itu ternyata tidak saling berjumpa secara fisik.
Abu Yazid al-Bustami tidak berjumpa dengan Imam Ja‘far as-Sadiq karena ia lahir pada tahun 188 H/804 M atau sekitar 40 tahun sesudah wafatnya Imam Ja‘far as-Sadiq. Abu Hasan Ali bin Ja‘far al-Kharqani juga tidak bertemu dengan Abu Yazid al-Bustami sebab ia lahir sesudah Abu Yazid al-Bustami wafat.
Kenyataan dan fakta sejarah ini diakui pengikut Tarekat Naqsyabandiyah, tetapi bagi mereka hal itu tidak menjadi masalah. Menurut mereka, tarekat (zikir) itu diterima melalui pertemuan rohani Imam Ja‘far as-Sadiq dengan Ali al-Kharqani, ataupun dengan Abu Yazid al-Bustami.
Bagi kalangan pengikut tarekat, pertemuan semacam ini diakui dan tidak menjadi masalah yang serius karena pemberian dan penerimaan suatu zikir tidak mesti melalui perjumpaan fisik.
Meskipun Naqsyabandi belajar tasawuf dari Muhammad Baba as-Sammasi, dan tarekat yang diperolehnya dari Amir Kulal juga berasal dari as-Sammasi, namun Tarekat Naqsyabandiyah tidak persis sama dengan Tarekat as-Sammasi.
Zikir tarekat Muhammad Baba as-Sammasi diucapkan dengan suara keras, sementara Tarekat Naqsyabandiyah lebih menyukai zikir tanpa suara.
Zikir Naqsyabandiyah sama dengan zikir tarekat Abdul Khaliq Gujdawani (w. 1220), salah seorang khalifah Abu Ya‘qub Yusuf al-Hamadani (w. 535 H/1140 M). Menurut salah satu riwayat, Abdul Khaliq Gujdawani mengamalkan pendidikan Uwais al-Qarni.
Karena itulah sistem tasawuf Naqsyabandi menyerupai sistem tasawuf Uwais al-Qarni. Abdul Khaliq Gujdawani menyebarkan ajaran gurunya di daerah Transoksania (Asia Tengah) dengan cara tariqati Khwajagan, yaitu cara khoja atau guru.
Abdul Khaliq Gujdawani menetapkan 8 prinsip ajaran tarekatnya yang menjadi dasar Tarekat Naqsyabandiyah. Delapan prinsip tersebut selanjutnya ditambah lagi oleh Naqsyabandi dengan tiga prinsip sehingga seluruhnya berjumlah 11.
Delapan prinsip yang berasal dari Abdul Khaliq Gujdawani ialah:
(1) husy dar dam (kesadaran dalam bernapas),
(2) nazar bart qadam (memperhatikan tiap langkah diri),
(3) safar dar wathan (perjalanan mistik dalam diri),
(4) khalawat dar anjuman (kesendirian dalam keramaian),
(5) yad kard (peringatan kembali),
(6) baz gard (menjaga pemikiran sendiri),
(7) nigah dast (memperhatikan pemikiran sendiri), dan
(8) yad dast (pemusatan perhatian kepada Allah SWT).
Adapun tambahan yang ditetapkan Naqsyabandi sendiri ialah: (1) wuquf zamani (kontrol yang dilakukan salik [pengikut tarekat] tentang ingat tidaknya ia kepada Allah setiap 2 atau 3 jam),
(2) wuquf ‘adadi (kontrol dalam memelihara bilangan ganjil dalam melaksanakan zikir nafy itsbat [zikir yang melafalkan la ilaha illa Allah]), dan (3) wuquf qalbi (hadirnya hati seorang salik bersama Allah setiap saat).
Karena ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah diambil dari prinsip ajaran Tarekat Khwajagan, Tarekat Naqsyabandiyah juga disebut Tarekat Khwajagan.
Selain belajar kepada Muhammad Baba as-Sammasi, Naqsyabandi juga pernah belajar kepada seorang arif bernama ad-Dikkirani selama sekitar 7 tahun, dan pernah tinggal di beberapa desa di Bukhara untuk keperluan studi.
Di dalam perjalanan hidupnya, Naqsyabandi pernah bekerja untuk Sultan Khalil, penguasa Samarkand. Selama Naqsyabandi bekerja di kesultanan, Samarkand memperoleh kemajuan pesat sehingga masyarakat menjadi makmur dan pemerintahan Sultan Khalil terkenal.
Kemajuan yang dicapai Samarkand dan keadilan pemerintahan Sultan Khalil dipuji Ibnu Batutah dalam karya sejarahnya. Semua kemajuan yang dicapai tidak terlepas dari peran serta dan keterlibatan Naqsyabandi.
Namun, masa pengabdian Naqsyabandi di kesultanan ini tidak lama, hanya terbatas pada masa pemerintahan Sultan Khalil. Setelah Sultan Khalil wafat (1347), ia meninggalkan Samarkand menuju Zerwatun (Khurasan).
Di sini ia menempuh hidup sufi dan zuhud sambil melakukan amal kebajikan untuk umat manusia dan binatang selama sekitar 7 tahun. Setelah itu, ia kembali ke desanya dan menghabiskan hari-hari terakhirnya.
Pencatatan segala perbuatan dan amal Naqsyabandi dilakukan dengan baik oleh Salah bin al-Mubarak, salah seorang muridnya yang setia. Himpunan tersebut dimuat dalam sebuah karya yang berjudul Maqamat Sayyidina Syah Naqsyaband.