Secara kebahasaan al-infaq berarti “biaya”, “belanja”, dan “pengeluaran uang”. Dalam istilah fikih, nafkah adalah suatu pemberian seseorang kepada orang atau pihak yang berhak menerimanya. Nafkah utama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, yakni makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Faktor yang menyebabkan terjadinya nafkah ialah perkawinan, hubungan darah (keluarga), dan pemilikan terhadap sesuatu yang memerlukan adanya nafkah. Apabila terjadi perkawinan, suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya jika syaratnya terpenuhi, yaitu
(1) perkawinan itu telah terjadi secara sah menurut hukum Islam (syarak),
(2) istri telah menyerahkan diri kepada suaminya,
(3) mungkin dilakukan hubungan intim di antara keduanya (suami-istri),
(4) istri bersedia tinggal di tempat yang ditentukan suami, dan
(5) kedua belah pihak adalah ahl al-istimta’ (dapat melakukan hubungan badan secara wajar dan normal).Dasar dari kewajiban tersebut ialah Al-Qur’an, hadis, dan ijmak ulama.
Dasar dari Al-Qur’an antara lain dalam surah ath-talaq (65) ayat 6: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka….”
Dasar dari hadis antara lain sabda Nabi SAW pada waktu haji wadak (haji terakhir yang dikerjakan Nabi SAW):
“Takutlah kalian kepada Allah dalam masalah wanita. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan halal bagi kalian mencampuri mereka dengan kalimat Allah. Karena itu, wajib atas kalian memberikan makanan dan pakaian kepada mereka dengan cara yang makruf (baik)” (HR. Muslim).
Adapun dasar berupa ijmak, antara lain keterangan Ibnu Qudamah (w. 620 H/1223 M), ahli hukum Islam yang tinggal di Damascus, yang menyatakan bahwa para ahli ilmu telah sepakat untuk menghukumkan wajib atas suami memberikan nafkah kepada istri-istrinya jika suami itu sudah balig.
Apabila suami masih kecil (belum balig), sementara istrinya sudah dewasa (balig), menurut Imam Malik, ia tidak wajib memberi nafkah kepada istrinya. Imam Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali berpendapat bahwa kewajiban itu tetap berlaku bagi si suami.
Sebaliknya, jika istri masih kecil sementara suami sudah dewasa, keempat imam mazhab itu berpendapat bahwa suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Namun menurut Ibnu Hazm, hal itu tetap wajib.
Bahkan ia berpendapat bahwa istri yang nusyus (durhaka atau ingkar pada suaminya) pun wajib diberi nafkah. Namun bagi jumhur (mayoritas) ulama, istri yang nusyus tidak wajib diberikan nafkah karena kedurhakaannya telah menggugurkan haknya untuk mendapatkan nafkah.
Pada dasarnya, kadar nafkah yang wajib disesuaikan dengan keadaan (kesanggupan) suami. Ulama tidak memberikan ukuran dan kadar nafkah itu, kecuali Imam Syafi‘i. Menurutnya, besarnya nafkah tersebut untuk yang kaya minimal 2 mud (5/6 liter) per hari, bagi golongan menengah minimal 1,5 mud, dan bagi kelas bawah minimal 1 mud.
Nafkah ini berupa makanan pokok (yang mengenyangkan) yang berlaku di negeri yang bersangkutan. Apabila nafkah ini tidak diberikan oleh suami, di samping suami berdosa, menurut Imam Syafi‘i, Malik, dan Hanbali, ia harus membayarnya dan itu merupakan utang baginya. Namun menurut Hanafi tidak demikian, kecuali jika nafkah itu sudah ditentukan kadarnya oleh hakim.
Ulama sepakat bahwa hubungan kekeluargaan juga merupakan salah satu faktor wajibnya pemberian nafkah. Mereka sepakat, keluarga dekat wajib diberi nafkah bagi yang memang memerlukannya.
Menurut Imam Syafi‘i, keluarga yang wajib diberi nafkah meliputi keluarga dari garis keturunan ke bawah (furu‘), seperti anak, cucu, buyut dan seterusnya ke bawah, dan keluarga dari garis keturunan ke atas (ushul), seperti ayah, ibu, nenek, kakek, dan seterusnya ke atas.
Menurut al-Hisni (w. 829 H/1426 M), seorang ahli hukum Islam di Damascus, kewajiban itu tidak berbeda apakah laki-laki atau perempuan, pewaris atau bukan, bahkan tidak berbeda apakah seagama atau berbeda agama.
Menurut pendapat yang lain, tidak wajib seorang muslim memberi nafkah bagi orang kafir. Imam Malik berpendapat, yang wajib diberi nafkah terbatas hanya pada anak dan orang tua, baik ayah maupun ibu, sedangkan kakek, nenek dan seterusnya ke atas atau cucu, buyut, dan seterusnya ke bawah, tidak wajib.
Imam Hanafi lebih luas dari imam Syafi‘i dan imam Malik. Menurutnya, keluarga yang wajib diberi nafkah ialah yang mempunyai hubungan mahram. Karena itu tidak terbatas hanya pada furu‘ dan ushul, tetapi termasuk juga hawasyi, yaitu keluarga dari garis menyamping (seperti saudara, paman, dan bibi).
Bagi Imam Hanbali, kewajiban memberi nafkah berhubungan erat dengan masalah kewarisan. Karena itu, setiap anggota keluarga yang terkait dengan masalah pewarisan berhak menerima nafkah.
Ada syarat tertentu yang harus dipenuhi sehingga lahir kewajiban nafkah tersebut. Syarat ini meliputi semua pendapat imam-imam tersebut di atas, yaitu:
(1) orang yang berhak itu memang memerlukan pemberian nafkah karena tidak mempunyai barang atau harta untuk keperluan hidupnya;
(2) orang tersebut tidak mempunyai pekerjaan atau tidak mampu bekerja;
(3) orang yang akan memberikan nafkah itu memang mungkin memberikannya (sanggup memberikan nafkah); dan
(4) seagama, khususnya bagi nafkah furu‘ dan ushul.
Pemberian nafkah yang berkaitan dengan pemilikan ialah pemilikan binatang. Pemiliknya wajib memberikan makanan kepada binatang piaraannya. Di samping itu, ia juga wajib menjaga binatang itu dan tidak memberikan beban yang terlalu berat yang tidak mampu dipikulnya.