Nadir, Bani

(Ar.: Bani Nadir)

Salah satu dari tiga suku Yahudi di Madinah (Yatsrib), di samping Bani Qainuqa dan Bani Quraizah, adalah Bani Nadir. Mereka adalah pendatang di antara lebih dari dua puluh suku di kota itu. Penduduk asli adalah suku Arab (Amaliqah). Suku Aus dan Khazraj, imigran dari Arab selatan, merupakan pendatang terkemuka.

Suku Yahudi dan Arab terkemuka tersebut memiliki peran dalam mengatur dan mewarnai kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Madinah. Mereka saling bersaing untuk menanamkan pengaruhnya masing-masing pada masyarakat.

Akibatnya, tidak jarang terjadi konflik yang berkepanjangan di antara mereka, bahkan peperangan. Dengan demikian, penduduk Madinah tidak pernah hidup rukun dalam kehidupan sosial politik dan bertetangga di bawah satu kepemimpinan dan pemerintahan.

Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, ia menata kehidupan sosial politik penduduk kota itu dengan membuat perjanjian damai dengan semua golongan, termasuk kaum Yahudi.

Perjanjian ini terkenal dengan Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Isi piagam tersebut antara lain:

(1) seluruh penduduk Madinah adalah umat yang satu dan (2) status suku-suku Yahudi sama dengan kaum muslimin, sehingga mereka mendapat hak dan tugas serta kewajiban yang sama pula, saling tolong-menolong untuk kebaikan dan menentang pelaku kejahatan, termasuk kewajiban bersama untuk mempertahankan keamanan kota Madinah dari serangan musuh.

Tetapi, pihak kaum Yahudi melanggar prinsip perjanjian tersebut, sehingga mereka terusir dari Madinah. Pengkhianatan tersebut berturut-turut dilakukan Bani Qainuqa, Bani Nadir, dan Bani Quraizah.

Bani Nadir adalah suku Yahudi kedua yang diusir dari kota Madinah. Di antara beberapa alasan pengusirannya adalah karena mereka merencanakan pembunuhan terhadap Nabi SAW ketika berlangsung perdebatan tentang masalah agama antara 30 orang wakil Yahudi dan 30 orang wakil sahabat Nabi SAW.

Menurut al-Ya‘qubi (w. 897), ahli geografi dan sejarah yang hidup pada masa pemerintahan Khalifah al-Mu‘tamid di Baghdad, mereka bertanggung jawab atas perbuatan Ka‘ab bin Asyraf, sehingga mereka diusir Nabi SAW setelah terbunuhnya Ka‘ab, seorang penyair berayahkan seorang dari Arab Tayy dan beribu seorang Bani Nadir.

Dalam permusuhannya dengan Nabi SAW, ia menghasut dan mengejek Nabi SAW lewat syair-syairnya. Bahkan ia menulis syair-syair percintaan untuk wanita-wanita Islam yang sudah bersuami.

Ada pula yang menghubungkan pengusiran tersebut dengan usaha orang Yahudi menghasut kaum Quraisy dalam Perang Uhud agar menyerang Nabi SAW, bahkan memberitahukan kepada orang Mekah itu jalan-jalan ke perbatasan yang tidak dijaga. Sumber lain menyebutkan bahwa mereka bekerjasama dengan kaum munafik dan Quraisy untuk menyerang Nabi SAW.

Tetapi versi paling lazim dari pengusiran tersebut adalah peristiwa yang terjadi di Bi’ru Ma’unah. Di sini terjadi suatu peristiwa penyerangan, pengepungan, dan pembunuhan yang dilakukan sebagian suku-suku yang tinggal di Nejd terhadap 70 orang sahabat Nabi SAW yang dikirim oleh Nabi SAW ke sana untuk berdakwah atas permintaan Amir bin Malik (Abu Barra’), seorang yang ditaati dan dihormati masyarakatnya.

Ketika rombongan ini tiba di Bi’ru Ma’unah, mereka mengutus Haram bin Malhan untuk menyampaikan surat Nabi SAW kepada Amr bin Tufail, penguasa Nejd. Amr tidak membaca surat itu, tetapi membunuh Haram dan meminta Bani Amr agar menyerang para dai lainnya.

Bani Amr menolak karena tidak mau mengkhianati Abu Barra’. Kemudian Amr meminta bantuan kabilah lain, yakni Ashaiyyah, Ra’l, dan Zakwan. Mereka menerima ajakan tersebut dan menyerang rombongan dai itu. Para dai itu terbunuh semuanya kecuali dua orang, yakni Ka‘ab bin Zaid dan Amr bin Umayah. Kedua orang ini berhasil meloloskan diri dan kembali ke Madinah.

Di tengah perjalanan, Amr bin Umayah bertemu dengan dua orang musyrik, yang disangkanya anggota mereka yang menyerang itu. Kemudian ia membunuh keduanya. Setibanya di Madinah dan bertemu dengan Nabi SAW, ia menceritakan peristiwa itu. Ternyata dua orang itu berasal dari Bani Kilab yang mendapat perlindungan dan jaminan keamanan dari Nabi SAW.

Nabi SAW merasakan kesedihan mendalam atas kejadian itu, sehingga sebulan penuh Nabi SAW melakukan kunut di salat subuh untuk mendoakan mereka yang ditimpa musibah. Abu Barra’ pun sangat terpukul jiwanya atas tindakan Amr bin Tufail. Kemudian putranya membunuh­ Amr hingga tewas.

Nabi SAW mendatangi Bani Nadir untuk meminta bantuan membayar diat (tebusan ganti rugi) kepada keluarga dua orang yang dibunuh itu. Permintaan bantuan tersebut dilakukan karena Bani Nadir bersekutu dengan Bani Amr dan sebagai hukuman atas perbuatan durhaka mereka sebelumnya.

Mereka menyetujui permintaan Nabi SAW itu. Tetapi di balik itu mereka bersekongkol mengadakan pengkhianatan. Salah seorang di antara mereka, Amr bin Jihasy an-Nadary, merencanakan untuk naik ke bagian atas rumah dan kemudian menjatuhkan batu besar kepada Nabi SAW.

Waktu itu Nabi SAW berdiri di samping salah satu rumah mereka. Namun rencana itu dicegah Salam bin Masykam (salah seorang Bani Nadir). Nabi SAW mengetahui rencana tersebut. Nabi SAW kemudian meninggalkan tempat itu. Setelah para sahabat menemuinya, ia menyatakan bahwa mereka merencanakan pengkhianatan.

Kemudian Nabi SAW mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada Bani Nadir agar mereka dalam waktu sepuluh hari meninggalkan kota Madinah. Apabila tidak, mereka akan ditindak keras. Dengan ultimatum itu mereka bersiap-siap untuk keluar.

Tetapi kemudian mereka membatalkannya karena Abdullah bin Ubayy bin Salul (tokoh munafik) mengirim utusan untuk menyampaikan pesan agar mereka tetap bertahan di rumah dan di benteng mereka. Ia telah siap dengan dua ribu orang untuk membela mereka.

Karena itu, Nabi SAW bersama kaum muslimin mengepung mereka dan membabat habis ladang kurma milik mereka. Atas tindakan ini, mereka menggugat dan mencela orang yang melakukannya. Atas celaan mereka ini Allah SWT menurunkan firman-Nya yang membenarkan tindakan Nabi Muhammad SAW tersebut, yakni surah al-hasyr (59) ayat 5.

Setelah pengepungan tersebut berlangsung lebih dari sepuluh hari, sementara Abdullah bin Ubayy tak tampak batang hidungnya, akhirnya mereka menyerah dan meminta damai kepada Nabi SAW. Mereka meminta jaminan keamanan atas harta benda, darah, dan anak-anak keturunan mereka sampai mereka keluar dari Madinah.

Nabi SAW mengabulkan permintaan mereka dengan syarat mereka hanya boleh membawa harta bendanya serta persediaan makanan dan minuman yang dapat diangkut oleh unta mereka. Kemudian mereka pergi mengungsi, ada yang ke Khaibar dan ada pula yang ke Syam (Suriah).

Harta peninggalan mereka oleh Nabi SAW dibagikan kepada kaum Muhajirin, setelah disetujui kaum Ansar. Atas kebijaksanaan Nabi SAW ini turun surah al-hasyr (59) ayat 6–7 yang membenarkannya. Demikian pula tentang pengusiran Bani Nadir itu, turun ayat yang membenarkannya (QS.59:11–13).

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ameer. Api Islam, terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
al-Buti, Muhammad Said Ramadan. Fiqh as-Sirah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Haekal, Muhammad Husain. hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-saqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Sirah Sayyidina Muhammad Rasulullah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
al-Khurbutli, Ali Husni. ar-Rasul fi al-Madinah. Cairo: al-Majlis al-‘Ala li asy-Syu’un al-Islamiyah, t.t.
J. Suyuti Pulungan