Muzara’ah

Istilah muzara‘ah dalam­ fikih dibahas dalam masalah kerjasama pertanian­ antara pemilik lahan dan petani­. Kata muzara‘ah berasal dari kata zara‘a­-yazra‘u, yang berarti “bercocok tanam”. Menurut Mazhab Maliki, muzara‘ah adalah­ perserikatan pertanian, sedangkan menurut Mazhab Hanbali, penyerahan lahan­ kepada petani untuk diolah, lalu hasilnya dibagi berdua. Di Indonesia kebiasaan ini disebut “paroan sawah”.

Muzara‘ah disebut mukhabarah oleh penduduk Irak. Khusus dalam mukhabarah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik lahan. Di samping itu, ada juga istilah lain yang berkenaan dengan perserikatan dalam pertanian ini, yaitu musaqah (mengairi).

Menurut ulama Mazhab Syafi‘i, musaqah berarti “mempekerjakan seseorang­ di kebun kurma atau kebun anggur dan sejenisnya agar ia memelihara dan mengolahnya, dengan perjanjian kesepakatan­ bahwa hasil buahnya dibagi antara pekerja dan pemilik kebun”.

Dalam membahas hukum muzara‘ah­ terjadi perbedaan pendapat ulama­. Ulama Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (keduanya sahabat­ Imam Hanafi), dan ulama Mazhab az-Zahiri berpendapat­ bahwa akad muzara‘ah­ boleh dilakukan­ karena­ akadnya cukup­ jelas, yaitu menjadikan petani sebagai­ serikat dalam pengolahan sawah.

Rasulullah­ SAW sendiri melakukan akad muzara‘ah ini dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya dibagi antara Rasulullah SAW dan para pekerja (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Umar). Menurut mereka, muzara‘ah termasuk­ akad saling bantu antara petani dan pemilik­ lahan pertanian.

Pemilik lahan tidak mampu mengerjakan lahannya, sedangkan petani tidak mempunyai lahan pertanian. Karena itu, wajar apabila­ pemilik lahan persawahan bekerjasama dengan­ petani penggarap, dengan ketentuan bahwa keuntungan dari lahan itu mereka bagi sesuai dengan­ kesepakatan bersama.

Menurut ulama Mazhab Maliki dan Hanbali, akad seperti ini termasuk­ ke dalam firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 2 yang berarti: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan­ dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat­ dosa dan pelanggaran…”

Akad muzara‘ah merupakan­ akad saling tolong-menolong­ antara pemilik­ lahan sawah dan petani penggarap. Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanafi menyatakan­ bahwa akad muzara‘ah tidak boleh dilakukan­ karena tidak ada dasar hukum yang membolehkannya­. Alasan mereka adalah hadis Nabi SAW yang melarang muzara‘ah (HR. Muslim dari Sabit bin Dahhak) dan juga mukhabarah (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah).

Selain itu, menurut­ mereka, dalam suatu akad harus jelas bentuk kerjasama dan keuntungan yang diterima masing-masing. Padahal dalam muzara‘ah dan mukhabarah, keuntungan yang akan diterima masing-masing pihak baru diketahui setelah sawah itu menghasilkan meskipun ditentukan­ bahwa petani penggarap mendapat separo atau seperempat hasil sawah yang akan dipanen.

Namun, itu tetap tidak jelas karena materinya tidak kelihatan, bahkan ada kemungkinan panen itu gagal. Oleh sebab itu, me­nurut ulama kedua mazhab ini, unsur spekulasi da­lam akad ini terlalu besar.

Namun demikian, ulama Mazhab Syafi‘i dapat menerima bentuk akad muzara‘ah apabila mengikuti­ akad musaqah. Artinya, akad utama itu adalah musaqah, sedangkan muzara‘ah­ hanya mengikut akad musaqah itu. Misalnya, yang dikerjakan petani­ dalam akad musaqah itu adalah kebun kurma. Sambil memelihara kurma tersebut boleh mena­nam gan­ dum, tetapi bukan gandum itu yang menjadi­ asal akad.

Bagi Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Zufar bin Hudail (ahli fikih, imam mujtahid Mazhab Hanafi; 110 H/728 M–158 H/775 M), baik akad muzara‘ah,­ mukhabarah, maupun musaqah tidak dibe-narkan, karena semuanya bersifat speku­lasi. Di samping itu, Nabi SAW sendiri dalam sebuah hadis bersabda,

“Siapa yang memiliki lahan pertanian/perkebunan,­ hendaklah ia olah sendiri, jangan ia suruh orang lain untuk mengerjakannya dengan imbalan sepertiga atau seperempat hasil yang akan ada, dan jangan pula dengan imbalan makanan tertentu” (HR. Bukhari dan Muslim dari Rafi‘ bin Khudaij).

Namun, Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani berpendapat bahwa akad musaqah ini dapat mereka terima. Alas­an mereka adalah hadis Nabi SAW di atas yang membolehkan akad muzara‘ah; keduanya sama-sama perserikatan dalam pertanian. Menurut­ Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih dan usul fikih), pendapat kedua orang sahabat Abu Hanifah tersebut menjadi pegangan bagi ulama di kalangan Mazhab Hanafi.

Ulama yang membolehkan akad muzara‘ah mengemu­kakan syarat dan rukun yang harus dipenuhi­ sehingga akad dianggap sah. Syarat akad muzara‘ah adalah: orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan jangka waktu berlakunya akad.

Orang yang melakukan akad disyaratkan te­lah akil balig, karena dianggap telah cakap bertindak­ secara hukum. Ulama dari kalangan Mazhab Hanafi menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad, karena tindakan hu­kum orang tersebut dianggap mauquf (tidak mempunyai­ efek hukum sampai orang tersebut masuk Islam kembali). Rukun akad muzara‘ah­ adalah ijab dan kabul.

Benih yang akan ditanam harus jelas dan akan mengha­ silkan buah. Demikian pula dengan lahan yang akan dikerjakan, dapat diolah dan menghasilkan­. Apabila lahan tersebut tandus dan kering, akad itu tidak sah.

Hasil panen disyaratkan sebagai berikut:

(1) pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas;

(2) hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan;­ dan

(3) pembagian hasil panen itu ditentukan setengah,­ sepertiga, atau seperempat sejak awal akad sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari.

Penentuan hasil panen tidak boleh berdasarkan­ ukuran atau timbangan karena kemungkinan hasil panen itu hanya sejumlah itu. Adapun jangka waktu berlakunya akad harus dijelaskan­ di awal akad dan hal ini biasanya disesuaikan dengan kebiasaan setempat.

Ada beberapa akibat apabila suatu akad muzara‘ah telah memenuhi syarat dan rukunnya.

(1) Segala­ persoalan yang menyangkut pekerjaan petani, seperti biaya benih dan pemeliharaan, menjadi tanggung­ jawab petani itu sendiri.

(2) Yang menyangkut­ biaya tanaman, seperti pupuk, penuaian,­ dan pembersihan tanaman dibagi berdua antara petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.

(3) Hasil panen di­bagi sesuai dengan kesepakatan mereka, sebagaimana hadis Nabi SAW yang berarti: “Umat Islam itu terikat dengan perjanjian mereka” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Hurairah, dan HR. at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Amr bin Auf).

(4) Pengairan lahan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan­ kedua belah pihak. Jika tidak ada kesepakatan,­ berlaku kebiasaan di tempat masing-masing. Apabila­ menurut kebiasaan setempat lahan itu diairi­ dengan air hujan, masing-masing pihak tidak boleh dipaksa untuk mengairi­nya dengan cara lain.

(5) Jika salah seorang di antara yang berakad­ meninggal­ dunia sebelum panen, akad tetap berlaku­ sampai panen dan yang meninggal­ diwakili ahli warisnya.

Akad muzara‘ah akan berakhir apabila tujuan kedua belah pihak telah tercapai, yaitu hasil panen selamat dan pembagian sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Namun, ada kemungkinan akad ini berakhir tidak sesuai dengan tujuan yang dike­hendaki.

(1) Wafatnya salah se­orang yang berakad. Ini khusus menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali. Menurut mereka, karena muzara‘ah merupakan­ salah satu bentuk penjualan jasa, berlakunya akad penjualan jasa terhenti apabila salah se­orang di antara mereka yang berakad meninggal­ dunia­.

(2) Adanya uzur (halangan) dari salah se­orang yang berakad. Bentuk uzur yang dimaksud­ ada dua.

(a) Uzur yang disebabkan pemilik lahan mendadak harus membayar utang yang jumlahnya­ cukup besar­ dan ia tidak mempunyai harta selain lahan pertanian tersebut, sehingga ia harus menjual lahan pertanian itu.

Dalam keadaan seperti­ ini akad muzara‘ah dibatalkan dan pihak pekerja­ tidak dapat­ menuntut apa-apa dari hasil pertanian tersebut jika tanaman masih baru dan belum muncul. Namun,­ jika buahnya sudah mulai tampak sekalipun­ belum matang, menurut ulama Mazhab Hanafi, akad itu tidak boleh dibatalkan, tetapi hakim­ harus bijaksana­ menunda pembayaran utang pemilik la­han tersebut sampai panen selesai.

(b) Uzur yang menimpa­ petani, seperti sakit atau mendadak­ harus­ melakukan perjalanan ke luar kota, sehingga tidak memungkinkannya melanjutkan pekerjaan­ itu. Da­lam hal ini terdapat dua pendapat, yaitu akad itu dibatalkan melalui peradilan dan akad itu dibatalkan­ secara sukarela dengan sendirinya­.

Berbeda dengan syarat dan akibat hukum muzara‘ah di atas, Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani mempunyai pendapat sendiri­. Menurut mereka, ada empat bentuk muzara‘ah.

(1) Lahan dan benih dari pemilik lahan, sedangkan tenaga dan alat pertanian dari petani penggarap. Akad muzara‘ah dalam bentuk ini sah. Dalam hal ini, seakan-akan pemilik tanah yang memiliki benih menyewa petani dengan imbalan se­bagian hasil pertanian itu.

(2) Pemilik lahan hanya menyediakan lahan, sedangkan petani penggarap­ menyediakan benih, alat pertanian, dan tenaga. Dalam bentuk ini, akad muzara‘ah adalah sah secara hukum. Posisi petani dalam hal ini menyewa lahan dengan imbalan sebagian dari hasil panen.

(3) Lahan,­ alat pertanian, dan benih dari pemilik lahan, sedangkan tenaga dari petani penggarap. Akad muzara‘ah dalam­ bentuk ini dibolehkan secara hukum­. Dalam hal ini, seakan-akan pemilik lahan mempekerjakan­ petani dengan imbalan sebagian­ hasil pertanian.

(4) Lahan dan alat dari pemilik­ lahan, sedangkan­ benih dan tenaga dari petani pengga­rap­. Akad muzara‘ah dalam bentuk seperti ini adalah fasid (rusak) secara hukum­­karena tidak lazim pemilik­ lahan menyewakan lahan dan menyediakan alat tanpa menyediakan benih. Karena ada perbedaan bentuk muzara‘ah, persoalan yang menyangkut akibat­ hukum dan masa berlakunya akad muzara‘ah akan berbeda­ pula.

Musaqah. Musaqah tidak jauh berbeda dengan­ muzara‘ah­. Rukun akad musaqah sama de­ngan akad muzara‘ah, yaitu ijab dan kabul. Perbedaan antara kedua akad terletak pada objeknya.

Objek muzara‘ah adalah lahan pertanian, sedang­ kan objek musaqah adalah tumbuh-tumbuhan/pohon yang berbuah di atas lahan pertanian, se­perti kurma, anggur, dan apel. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan­ jenis buah-buahan yang dapat dijadikan objek musaqah.

Menurut ulama Mazhab Hanafi, musaqah adalah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah­ pihak­. Oleh sebab itu, jenis buah-buahan yang dapat dijadikan objek musaqh tidak terbatas. Selama­ buah-buahan itu dibutuhkan orang, pohon­­nya dapat dijadikan objek musaqah. Bahkan, ulama Mazhab

Hanafi muta’akhkhirin­ (kemudian)­ menyatakan bahwa pepohonan­ yang tidak berbuah pun dapat dijadikan objek musaqah selama­ pepohonan­ itu menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak.

Ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa akad musaqah itu hanya diperbolehkan pada buah-buahan yang dimakan saja, tidak dibolehkan pada pepohonan yang tidak berbuah. Ulama Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa musaqah hanya dibolehkan­ pada buah kurma dan anggur karena hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan musaqah ini hanya menunjuk kurma dan anggur (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

Adapun ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa objek musaqah adalah buah-buahan dengan ketentuan sebagai berikut:

(1) akad musÎqÎh disetujui­ sebelum buah-buahan itu matang dan dapat dijual,

(2) akad musaqah mempunyai jangka waktu tertentu,

(3) akad sebaiknya dimulai sejak tanaman itu tumbuh di atas tanah, dan

(4) pemilik tanaman itu tidak mampu mengerjakan sendiri.

MugÎrasah. Bentuk lain yang objeknya berupa lahan perkebunan atau pertanian di dalam fikih Islam adalah mugarasah. Menurut ulama fikih, mugarasah adalah akad yang mengandung persetujuan antara pemilik lahan dan seorang pekerja­. Pemilik lahan menyerahkan lahannya kepada­ pekerja untuk ditanami pepohonan.

Pada dasarnya, ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menyatakan bahwa akad mugrasah itu boleh dilakukan jika syarat dan rukunnya­ dipenuhi, dan hak yang harus diterima pe­kerja diambilkan dari hasil tanaman tersebut. Perbe­­daan pendapat di antara mereka terletak pada jenis po­hon yang ditanam dan imbalan bagi pekerja.

Menu­rut Mazhab Hanbali, imbalan bagi pe­kerja diambil­kan dari buahnya. Adapun menurut ulama Mazhab Hanafi, dari tanaman dan buahnya. Jumhur­ ulama berpendapat bahwa apabila­ orang yang berakad sepakat membagi pohon yang di­tanam pek-erja tersebut dengan pembagian yang sama, akadnya tidak sah.

Namun, ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa akad seperti itu dianggap sah dengan syarat sebagai berikut:

(1) pepohonan­ yang ditanam pekerja tersebut berbatang­ keras,

(2) pepohonan yang ditanam itu dari jenis yang sama atau hampir bersamaan berbuahnya,­

(3) tenggang­ waktu penanaman tidak terlalu panjang, (4) bagian yang diterima pekerja itu diambilkan­ dari tanah dan pohon yang ditanam, dan (5) mugarasah itu tidak dilakukan di atas tanah wakaf. Adapun ulama Mazhab Syafi‘i menyatakan bahwa akad mugarasah itu tidak sah sama sekali.

Daftar Pustaka

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981.
Ibrahim, Ahmad Ibrahim. al-Mu‘amalah asy-Syar‘iyyah al-Maliyyah. Cairo: Dar an-Nasr, 1355 H/1936 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
az-Zarqa’, Mustafa Ahmad. al-Madkhal ila al-Fiqh al-‘Am: al-Fiqh al-Islami fi Tsaubih al-Jadid. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.

NASRUN HAROEN

__