Mutawatir

Kata mutawatir berasal dari kata tawatara yang berarti “beruntun”. Khabar mutawatir adalah berita yang didengar orang banyak dan diceritakan oleh orang banyak kepada orang banyak. Istilah mutawatir lazim digunakan­ dalam ilmu hadis, tetapi tidak sama dengan istilah masyhur (populer).

Dalam ilmu hadis, ditinjau dari segi jumlah rawi, hadis terbagi dalam dua bagian, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan orang per orang (ahad merupakan­ jamak dari ahad = satu) yang tidak mencapai tingkat mutawatir, dapat diriwayatkan oleh seorang atau lebih.

Adapun hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat hadis sampai kepada Nabi Muhammad SAW), yang secara logis dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para rawi hadis itu mustahil bersekongkol untuk berdusta.

Ulama hadis sepakat bahwa hadis mutawatir tidak­ dapat ditentukan dengan bilangan rawi, tetapi tidak dapat kurang dari tiga rawi karena tiga meru­pakan bilangan terkecil dari batasan banyak.

Dalam­ menentukan apakah suatu hadis termasuk mutawatir atau tidak, kriteria (batasan umum) yang digunakan adalah adanya kepastian bahwa hadis tersebut tidak mungkin sedikit pun dipalsukan oleh para rawinya pada semua tingkatan sanad. Misalnya, hadis tersebut diriwayatkan orang banyak yang tidak saling kenal satu dengan yang lainnya dan tempat tinggal mereka pun berjauhan sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untuk bersekongkol­ membuat hadis palsu.

Dengan demikian dapat saja sebuah hadis yang diriwayatkan hanya oleh empat rawi pada semua tingkatan dikelompokkan sebagai mutawatir. Demikian pula sebaliknya,­ dapat saja sebuah hadis yang diriwayatkan lebih dari sepuluh rawi pada semua tingkatan tidak dikelompokkan sebagai hadis mutawatir, tetapi­ tetap hadis ahad.

Namun sebagian ulama cukup membatasinya dalam jumlah tertentu pada semua tingkatan. Dalam­ hal ini ulama berbeda pendapat.

(1) Sebagian­ mengatakan cukup 4, dikiaskan pada jumlah saksi pada perbuatan zina.

(2) Sebagian mensyaratkan­ paling sedikit 5, sesuai dengan jumlah para nabi yang utama (ulul azmi), atau dikiaskan pada kesaksian dalam kasus lian (Talak).

(3) Pihak lain mengatakan bahwa tidak dapat disebut mutawatir apabila rawinya kurang dari 10, dengan alasan bahwa­ jumlah di bawah 10 tidak disebut banyak melainkan disebut ahad.

(4) Selain itu ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tidak boleh kurang dari 12, mengiaskannya pada jumlah nuqaba’ (pemimpin)­ Bani Israil (QS.5:12).

(5) Ada yang mengatakan­ 20, berdasarkan firman Allah SWT yang berarti: “…Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh…” (QS.8:65).

(6) Ada pula yang mengatakan 40 rawi, dengan alasan bahwa jumlah itu adalah jumlah kekuatan­ umat Islam ketika turun surah al-Anfal (8) ayat 64, dengan masuknya Umar bin Khattab dalam barisan kaum muslimin pada urutan ke-40.

(7) Ada yang mengatakan paling sedikit diriwayatkan 70 rawi, berdasarkan surah al-A‘raf (7) ayat 155.

(8) Pendapat lain adalah 313 rawi laki-laki dengan 2 perempuan, dengan mengiaskannya pada jumlah pasukan Perang Badar.

Hadis mutawatir dibagi atas mutawatir lafzi dan mutawatir­ ma‘nawi. Mutawatir lafzi adalah hadis mutawatir yang bunyi teks atau lafal hadisnya sama antara satu riwayat dan riwayat lainnya. Adapun mutawatir ma‘nawi adalah hadis mutawatir yang bunyi teks atau lafal hadisnya berbeda-beda tetapi mengandung makna sama.

Contoh mutawatir lafzi yang sering disebutkan dalam buku hadis adalah “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari dan lain-lain). Hadis ini diriwayatkan lebih dari 70 sahabat dengan teks yang sama (bahkan menurut as-Suyuti, tidak kurang dari 200 sahabat yang meriwayat-kannya).

Adapun contoh mutawatir ma‘nawi adalah hadis yang menyatakan bahwa Nabi SAW selalu mengangkat kedua tangannya dalam berdoa. Masing-masing teks hadis tentang berdoa tersebut berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi hadis tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu Nabi SAW mengangkat kedua tangannya dalam berdoa. Hadis mengenai cara Nabi SAW berdoa tersebut diriwayat­kan lebih dari seratus sahabat.

Hadis mutawatir baik yang lafzi maupun yang ma‘nawi bersifat qath‘i al-wurud (istilah populer da­lam usul fikih yang berarti “sesuatu yang pasti datangnya”;­ dalam hal ini hadis mutawatir itu betul bersumber dari Nabi SAW).

Dengan demikian pada hadis mutawatir tidak diperlukan kajian sanad atau rijal (rawi hadis), bahkan jika rawinya bukan seorang muslim, menurut­ Imam Nawawi. Dengan demikian, hadis mutawÎtir sama dengan­ Al-Qur’an dalam keasliannya karena Al-Qur’an juga bersifat qat‘i al-wurud.

Ulama sepakat bahwa hadis mutawÎtir hujah, wajib diamalkan da­lam seluruh aspeknya, termasuk dalam bidang akidah­. Hanya saja jumlahnya sangat terbatas, terutama­ mutawatir lafzi. Bahkan menurut sebagian ulama,­ mutawatir lafzi itu tidak pernah ada.

Beberapa ulama telah mencoba mengumpulkan hadis mutawatir dalam beberapa karya mereka,­ antara lain:

(1) as-Suyuti dengan kitabnya al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah (Bunga Bertebaran dalam Hadis Mutawatir) dan Qatf al-Azhar (Memetik Bunga) dan (2) Muham­mad bin Ja‘far al-Katani dengan bukunya Nazm al-Mutanasir min al-hadits al-Mutawatir (Bintang Bertaburan dari Hadis Mutawatir).

Daftar Pustaka

Ibnu Salah. ‘Ulum al-hadits. Madinah: Maktaba al-’Ilmiyah, 1972.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. Usul al-Hadits ‘Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Mahmud at-Tahhan. Taisir Mustalah al-Hadits. Beirut: Dar Al-Qur’an al-Karim, 1979.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. Tadrib ar-Rawi. Madinah: al-Maktabah al-Islamiyah, 1972.
Zainuddin al-’Amili. ad-Dirayah fi ‘Ilm Mustalah al-Hadits. Najaf: Matbaah an-Nu’man. t.t.

UMAR SHAHAB

__