Mut’ah, Nikah

Secara harfiah mut’ah berarti­ “barang yang sedikit atau barang yang menyenangkan”­. Dalam fikih, nikah mut’ah berarti “perkawinan sementara”. Kata mut’ah sering digunakan untuk menyebut barang atau uang pemberian suami kepada istri yang ditalak sebelum dicampuri terlebih dahulu sesuai dengan kesanggupan dan keikhlasannya, seperti tertulis dalam surah al-Baqarah (2) ayat 236 dan surah al-Ahzab (33) ayat 49.

Pada lazimnya kata “mut’ah” itu dipergunakan untuk sebutan bagi perkawinan yang bersifat sementara,­ yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki atas seorang perempuan dengan maksud hanya untuk sementara waktu: 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau 1 tahun.

Jika jangka waktu yang ditentukan dalam akad nikah itu telah selesai dilalui, ikatan perkawinan mut’ah itu pun dengan sendirinya harus berakhir (putus).

Nikah mut’ah ini juga biasa disebut dengan istilah­ nikah mu‘aqqat (perkawinan sementara yang dibatasi waktunya) dan nikah munqathi‘ (perkawinan­ yang terputus), karena perkawinan ini harus berakhir dengan selesainya jangka waktu yang di­tentukan dalam akad.

Penamaan “mut’ah” atas pernikahan seperti ini disebabkan karena nikah tersebut dilakukan oleh pihak yang berakad terutama pihak suami dengan tujuan hanya untuk mencari kepuasan seksual atau bersenang-senang.

Nikah mut’ah terjadi pada masa awal sejarah Islam tatkala para sahabat Nabi Muhammad SAW, karena bertugas­ dalam peperangan, merantau ke daerah baru yang cukup jauh dan memerlukan waktu lama.

Di tempat yang baru ini, ada di antara sahabat yang menikahi wanita setempat untuk kemudian setelah beberapa waktu lamanya pulang kembali ke negeri asalnya.

Menurut sebagian riwayat, nikah mut’ah tersebut terjadi di banyak tempat dan waktu, antara lain pada waktu Perang Khaibar (7 H/628 M), pada peristiwa Umrat al-Qada (7 H/629 M), pada tahun pembebasan kota Mekah atau Amul Fathi (8 H/630 M), ketika terjadi Perang Hunain (8 H/630 M), dan sewaktu berkobar Perang Tabuk (9 H/630 M).

An-Nawawi (Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Saraf an-Nawawi), seorang ahli fikih dari kalangan­ Mazhab Syafi‘i, berkesimpulan bahwa peng­halalan dan pengha­raman nikah mut’ah di zaman Nabi Muhammad SAW terjadi hanya dua kali.

Pertama, nikah mut’ah mula-mula diboleh­kan sebelum Perang Khaibar tetapi kemudian diharamkan sewaktu­ Perang Khaibar itu sendiri masih berlang­sung.

Kedua, nikah mut’ah dibolehkan kembali pada tahun pembebasan kota Mekah atau Amul Fathi, dan kemudian diharamkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.Nikah mut’ah yang dilakukan sebagian sahabat atas izin Rasulullah SAW sendiri dapat dipahami dari sejumlah hadis.

Hadis yang dimaksud adalah antara lain hadis riwayat Muslim dari Salamah bin al-Akwa’ yang menegaskan bahwa pada Perang Autas (nama salah satu tempat di Jazirah Arabia), Rasulullah SAW pernah memberikan dispensasi atau kemurahan (rukhsah) kepada para sahabatnya untuk melakukan nikah mut’ah selama 3 hari. Ke­mudian setelah itu, Rasulullah SAW melarang (mengharamkan) nikah mut’ah tersebut.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Saburah al-Juhni dijelaskan bahwa sewaktu terjadi pembebas­an kota Mekah, al-Juhni turut berperang bersama-sama Rasulullah SAW.

Dalam Perang Amul Fathi itu Rasulullah SAW mengizinkan pasukannya untuk melakukan nikah mut’ah. Al-Juhni sendiri, yang kelihatannya­ turut melakukan nikah mut’ah bersama sejumlah sahabat yang lain, tidak keluar (pulang) dari kota Mekah sampai akhirnya Rasulullah SAW meng­haramkan nikah mut’ah.

Ulama sepakat bahwa nikah mut’ah me­mang pernah dibolehkan pada masa awal seja­rah Islam; namun demi­kian, mereka berlainan pendapat mengenai pengharaman­nya.

Menurut sebagian­ ulama, terutama dalam lingkungan Mazhab Syiah Imamiyah, penghalalan nikah mut’ah tidak pernah dicabut (mansukh) dan karenanya hingga kapan pun orang Islam dibenarkan melakukan ni­kah mut’ah. Bagi mereka, nikah mut’ah dianggap sah jika sewaktu akad nikah dipenuhi keempat unsur berikut:

Pertama, wanita yang akan dinikahi (calon istri) harus beragama Islam boleh juga menikahi wanita ahli kitab dan seyogianya­ wanita baik-baik, bukan wanita pezinah (zaniyyah) yang makruh (dianjurkan untuk ditinggalkan, namun tidak berdosa apabila dilakukan) dinikahi.

Kedua, akad nikah dilaku­kan dengan menggunakan salah satu redaksi berikut:­ zawwajtuka (aku kawini engkau), ankahtuka (aku nikahi engkau), atau matta’tuka (aku mut’ahi engkau); dan akadnya boleh dilakukan tanpa wali dan saksi.

Ketiga, harus ada maskawin yang jumlahnya ditetapkan atas kesepakatan pasangan nikah mut’ah. Dalam nikah mu‘aqqat, nama lain dari ni­kah mut’ah, mahar amat­lah penting, bahkan turut menentukan sah atau tidaknya nikah mut’ah; tanpa penyebutan mahar sewaktu berlangsung­ akad nikah,­ nikah mut’ah menjadi batal.

Keempat, jangka waktu perkawinan mut’ah harus disebutkan secara jelas dalam akad, yakni untuk berapa lama ikatan perkawinan­ mut’ah itu akan dilaksanakan: 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau 1 tahun.

Apabila batas waktu perkawinan ketika akad tidak disebutkan, status perkaw-inan berubah dari perkawinan­ mut’ah menjadi perkawinan permanen.

Para fukaha (ahli fikih) dari lingkungan Mazhab Suni mengharamkan nikah mut’ah secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa dispensasi mut’ah yang pernah diberikan­ Rasulullah SAW kepada para sahabatnya telah dihapuskan­ Nabi Muhammad SAW sendiri.

Guna memperkuat pendiri-annya, kelompok ini merujuk kepada beberapa hadis, antara lain hadis riwayat Ibnu Majah dari al-Juhni yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW mengharamkan­ nikah mut’ah. Lalu ia mengutip perkataan Nabi SAW:

“Hai manusia, sesungguhnya aku dulu mengizinkan kamu melakukan nikah mut’ah. Na­mun, ingatlah bahwasanya Allah SWT telah mengharamkannya­ sampai hari kiamat.”

Di samping hadis tersebut, kelompok ini juga menge­mukakan sejumlah argumentasi yang menyimpulkan­ bahwa nikah mut’ah itu bertentangan dengan prinsip hukum perkawinan yang digariskan Al-Qur’an.

Misalnya, adanya batas waktu yang ditentukan­ dalam akad nikah mut’ah itu menyalahi petunjuk Al-Qur’an dan hadis yang memerintahkan agar mempertahankan kelanggengan ikatan perkawinan itu sendiri.

Meskipun karena alasan tertentu suatu perkawinan terpaksa diakhiri, pengakhirannya­ perlu dilakukan dengan cara me­nalak atau cerai, bukan putus dengan sendirinya seperti yang terdapat dalam nikah munqathi‘.

Hal lain yang juga dianggap menyimpang dari ketentuan hukum Islam dalam hal nikah mut’ah adalah tidak diindahkannya­ aturan idah (‘iddah) yang te­lah digariskan Al-Qur’an dan sunah.

Nikah mut’ah hanya mengenal apa yang disebut dengan istibra’ (masa menunggu yang harus dijalani pihak istri begitu nikah mut’ah berakhir) selama dua kali menstruasi­ atau 45 hari bagi yang sudah tidak haid lagi.

Istibra’ dalam nikah mut’ah ini oleh fukaha Syafi‘i dipandang menyimpang dari ketentuan idah yang ada dalam Al-Qur’an. Menurut kelompok ini, nikah­ mut’ah pada hakikatnya sama dengan praktek perzinaan (prostitusi) yang dikutuk banyak orang dan diharamkan oleh Islam.

Ada pendapat ketiga yang didukung sebagian ulama, antara lain Ibnu Abbas (w. 68 H/687 M), Ibnu Jarir, dan lain-lain. Menurut kelompok ini, nikah mut’ah pada prinsipnya memang diharamkan, tetapi dalam kondisi darurat nikah mut’ah itu dibolehkan­.

Ibnu Abbas menyamakan­ status hubungan­ nikah mut’ah dengan status hukum bangkai, da­rah, dan daging babi yang diharamkan Islam, tetapi dalam keadaan darurat orang dibolehkan memakan ketiga jenis makanan tersebut.

Ia berpendapat bahwa­ dispensasi untuk nikah mut’ah yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada sebagian sahabatnya pada waktu perang (darurat) itu adalah rahmat Allah SWT kepada umat Nabi SAW.

Dalil yang dipegang Ibnu Abbas antara lain adalah qira’ah (bacaan) ibnu Mas’ud yang membaca surah an-Nisa’ (4) ayat 24 “famastamta’tum bihi minhunna fa atihunna ujurahunna” dengan bacaan “famastamta’tum­ bihi minhunna ila ajalin musamma fa atu­hunna ujurahunna” (maka istri-istri yang telah ka­mu nikmati (campuri) sam­pai waktu yang telah di­tentukan, berikanlah maharnya kepada mereka).

Daftar Pustaka

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
as-Sayis, Muhammad Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cairo: Muhammad Sabih, 1953.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.

Muhammad Amin Suma