Secara kebahasaan, kata musahamah berasal dari kata saham yang berarti “saling memberi bagian” (saham). Secara terminologis, musahamah berarti “perserikatan dagang dalam bentuk jual beli sebagian modal perusahaan (saham) kepada masyarakat dengan ketentuan akan memperoleh imbalan (dividen) dari keuntungan atau ikut menanggung kerugian sesuai persentase modal yang diberikan”.
Persoalan saham atau bursa saham belum dijumpai dalam fikih klasik. Pembahasannya baru dijumpai dalam fikih modern pada bagian syirkah dan dikenal dengan istilah syirkah al-asham (perserikatan dalam modal).
Definisi saham menurut ulama fikih modern adalah sebagian modal perusahaan yang diperjualbelikan kepada masyarakat dengan ketentuan bahwa imbalan yang diberikan kepada pemilik modal sesuai dengan persentase modal masing-masing dan dibayarkan pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam akadnya, apabila perusahaan mendapat keuntungan, pemilik saham hanya akan menerima imbalan sesuai dengan persentase modal yang diberikan. Begitu pula sebaliknya, jika perusa haan mengalami kerugian maka pemilik saham pun ikut menanggung kerugian sesuai dengan persentase modalnya.
Karena itu, musahamah dimasukkan oleh para ahli fikih modern sebagai salah satu bentuk syirkah. Dalam akad musahamah, perusahaan berupaya untuk mencari modal sebanyak-banyaknya dari masyarakat melalui penjualan saham.
Hal ini bertujuan agar modal perusahaan menjadi lebih besar, lebih bonafide, dan dapat dijalankan dengan baik guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Dalam sistem ekonomi modern, penjualan saham kepada masyarakat diatur melalui undang-undang dan dilakukan dalam sebuah lembaga keuangan yang disebut bursa efek atau pasar modal.
Di Indonesia, masalah saham diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) yang telah diubah dan ditambah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran Negara Nomor 20 Tahun 1971) serta Keputusan Presiden RI Nomor 60 Tahun 1980.
Para ahli fikih modern mengemukakan syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar akad musahamah dapat diterima sebagai salah satu bentuk muamalah dalam Islam. Syarat dan rukun yang dikemukakan itu sebagai berikut.
(1) Ada ijab dan kabul secara jelas, yaitu melakukan transaksi secara nyata berupa penyerahan tanda bukti saham oleh perusahaan kepada peserta, dan peserta me nyerahkan uang secara tunai kepada perusahaan sebagai tanda keikutsertaannya sebagai pemegang modal.
(2) Komoditi yang diperdagangkan perusahaan itu bukan komoditi yang dilarang syarak. Jika perusahaan memproduksi benda yang diharamkan syarak, seperti minuman keras, akad itu dianggap tidak sah karena Islam melarang memperjual belikan benda najis.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW yang melarang memperjual belikan benda-benda najis (HR. Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah).
(3) Kedua belah pihak adalah orang yang cakap bertindak secara hukum.
(4) Adanya persetujuan yang jelas tentang bagian masing-masing pemilik modal sesuai dengan waktu yang ditentukan.
(5) Keuntungan dan kerugian yang diderita perusahaan menjadi tanggung jawab bersama sesuai dengan persentase saham masing-masing.
Bentuk akad musahamah yang digambarkan di atas dapat diterima oleh para ulama fikih sebagai salah satu bentuk kerjasama dagang karena seluruh syarat dan rukun suatu perserikatan dagang dapat dipenuhi oleh akad musahamah.
Namun, terdapat perbedaan pendapat antara ulama tentang kategori perilaku ekonomi yang ditempuh melalui lembaga bursa efek ke dalam akad musahamah, terutama tentang perbedaan penawaran antara harga saham secara nominal (tercantum dalam lembar saham) dan harga yang ditawarkan.
Misalnya, saham perusahaan A memiliki harga nominal Rp100.000,- lalu saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat dengan harga perdana Rp200.000,-. Besarnya selisih antara harga nominal dan harga perdana tersebut berkaitan dengan perilaku ekonomi di bursa efek.
Dalam menetapkan harga penjualan suatu saham perusahaan, dimasukkan perkiraan laba (dividen) yang akan dibagi, ditambah dengan kepiawaian direksi mengelola perusahaan tersebut.
Semakin baik pengelolaan dan prospek suatu perusahaan, diperkirakan semakin besar laba yang akan diperoleh sehingga pena-waran harga sahamnya di bursa efek semakin besar, sekalipun nilai nominal yang tercantum dalam surat saham itu tetap.
Permasalahan bagi para ulama terletak pada kelebihan uang dari harga nominal saham tersebut serta kemungkinan melesetnya perkiraan prospek perusahaan itu.
Dalam hal ini terdapat unsur spekulasi yang amat besar. Prospek yang diperkirakan itu bersifat abstrak, sehingga jual beli saham melalui bursa efek sama dengan memperjualbelikan sesuatu yang abstrak.
Unsur spekulasi yang cukup besar bisa terjadi melalui persekongkolan antara underwriter (penjamin emisi) dan perusahaan pemilik saham, sehingga harga saham perusahaan itu bisa dipermainkan.
Bisa juga unsur spekulasi muncul dari sikap sekelompok orang yang memborong saham suatu perusahaan pada saat harganya murah dan menjualnya ketika harga saham itu melonjak. Oleh sebab itu, ulama mengemukakan berbagai pandangannya tentang hukum jual beli saham di bursa efek.
Menurut Khalid Abdurrahman Ahmad (ekonom Islam Arab Saudi), saham yang diperjualbelikan di bursa efek tidak dibenarkan oleh syariat Islam dengan alasan sebagai berikut.
(1) Wujud selisih uang antara harga saham dan harga nominal tidak diketahui dan tidak diperhitungkan ketika pembagian keuntungan perusahaan itu dibagikan kepada pemilik saham. Karenanya, jual beli saham mengandung unsur penipuan yang besar.
(2) Perusahaan yang menjual sahamnya tidak lagi didirikan melalui aktivitas anggota pemegang saham seperti diatur dalam fikih muamalah Islam, tetapi telah berubah fungsi menjadi perusahaan penimbun kekayaan.
Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam karena Islam menghendaki kekayaan suatu perusahaan muncul dari jerih payah dalam mengelola dan memproduksi suatu perusahaan.
(3) Batas waktu berakhirnya persekutuan pemilikan saham tidak jelas (majhul). Unsur ketidakjelasan dalam transaksi apa pun tidak dibenarkan dalam muamalah Islam.
(4) Untung dan rugi yang menimpa perusahaan tidak mempengaruhi harga saham di pasar modal, sehingga pemilik saham akan senantiasa mendapat laba.
(5) Komisaris dan anggota direksi selaku pengelola perusahaan selalu memperoleh keuntungan. Padahal menurut ajaran Islam, upah yang diterima seseorang diperhitungkan dari untung atau ruginya suatu perusahaan.
Pendapat tentang haramnya transaksi saham melalui bursa efek juga muncul dari Majelis Fatwa Syariat Kuwait dengan alasan bahwa unsur syirkah al-asham yang dikenal dalam fikih Islam tidak terlihat dalam bursa efek. Di samping itu, dalam kegiatan ini sangat menonjol unsur penipuan (Ar.: garar; jamak: gurur).
Para ulama dan peminat hukum Islam di Indonesia mengemukakan beberapa pendapat. Peunoh Daly (pakar hukum Islam IAIN [kini: UIN] Syarif Hidayatullah Jakarta) menga takan bahwa jual beli saham di bursa efek mengandung gurur. Hal ini dilarang dalam hukum Islam.
Menurutnya, jual beli saham sama dengan memperjualbelikan ikan dalam kolam yang tidak diketahui jumlahnya atau menjual buah-buahan yang belum matang di pohon. Unsur speku lasinya terlalu besar, sehingga bisa mencelakakan orang banyak. Sikap seperti ini dilarang syarak.
Menurut Peunoh Daly, jual beli saham di bursa efek setidaknya berhukum makruh. Pendapat senada juga dikemukakan Satria Effendi, dosen fikih Islam Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menurutnya, transaksi jual beli saham mengandung dua ke mungkinan, yaitu gubun fahisy (kerugian besar) dan gubun yasir (kerugian biasa atau ringan). Dalam jual beli, apabila muncul unsur penipuan yang berakibat kepada gubun yasir, masih ditolerir oleh Islam.
Tetapi, jika membuat orang mengalami gubun fahisy, unsur penipuan itu tidak dibenarkan dalam Islam. Hal ini akan merusak moral masyarakat dalam perilaku ekonomi.
KH Ali Yafie (ahli fikih) menyatakan, transaksi melalui bursa efek adalah haram (hukumnya) karena memiliki unsur spekulasi yang tinggi sehingga hampir sama dengan judi.
Ali Akbar menyatakan dalam jual beli saham itu ada unsur perjudian, spekulasi, dan keinginan untuk cepat kaya. Dalam perdagangan saham itu, keuntungan tetap berada pada pemilik perusahaan, bukan pemegang saham.
A.M. Saefuddin (intelektual Islam) menilai secara prinsip bahwa perdagangan surat berharga (saham) diperkenankan menurut syariat. Akan tetapi, apabila di dalamnya terdapat praktek manipulasi, spekulasi, tipu-menipu, dan judi, dalam syariat hal ini tergolong haram.
Sebaliknya, menurut KH Ibrahim Hosen (ahli fikih), penjualan saham di bursa efek yang melebihi harga nominalnya itu tidak membuat hukum jual beli batal karena hal itu sesuai dengan tuntutan pasar. Masjfuk Zuhdi (dosen fikih IAIN Walisongo Semarang) menyatakan, jual beli saham diperkenankan dalam Islam.
Transaksinya dapat dilakukan di bursa efek maupun di tempat lain karena transaksi tersebut telah memenuhi syarat dan rukun jual beli menurut hukum Islam.
Munawir Sjadzali (mantan menteri Agama dan dosen fikih politik Fakultas Pascasarjana IAIN Jakarta) menyatakan bahwa bursa efek tidak berbeda dengan bursa komoditi lain. Masalah naik turunnya harga sama dengan naik turunnya komoditi lain yang terjadi karena permintaan dan penawaran.
Daftar Pustaka
Abdul Basit, Badr al-Mutawalli. al-Fatawa asy-Syar‘iyyah fi al-Masa’il al-Iqtisadiyyah. Kuwait: Bait at-Tamwil, 1985.
Abdur Rasul, Ali. al-Mabadi’ al-Iqtisadiyyah fi al-Islam wa al-Bina’ al-Iqtisadiyyah li ad-Daulah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Ahmad, Khalid Abdurrahman. at-Tafkir al-Iqtisadi fi al-Islam. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. al-Madkhal al-Fiqhi: al-Qawa‘id al-Kulliyyah. Damascus: Dar al-Ma‘arif li at-Tiba‘ah, 1399 H/1979 M.
Zuhdi, Masyfuk. al-Masa’il Fiqhiyyah. Jakarta: Haji Masagung, 1994.
Nasrun Haroen