Murtad
(Arab: murtad)
Murtad adalah istilah untuk menyebut seseorang yang keluar dari agama Islam, baik melalui keyakinan, ucapan, maupun perbuatan yang dianggap membatalkan syahadat. Dalam bahasa Arab, istilah ini berasal dari akar kata radd atau irtidad, yang berarti “kembali”, merujuk pada makna “kembali dari iman kepada keadaan sebelumnya” menurut konstruksi fikih klasik.
Dalam sejarah hukum Islam, murtad telah menjadi isu yang kompleks, mencakup dimensi keagamaan, sosial, dan politik. Namun, dalam pemikiran kontemporer yang berakar pada prinsip hak asasi manusia dan kebebasan beragama, pemaknaan terhadap murtad mengalami reinterpretasi baru sebagai bagian dari penghormatan terhadap hak nurani individu.
Pada masa awal Islam, terutama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, istilah riddah tidak hanya merujuk pada perubahan agama secara personal, tetapi juga pada bentuk penolakan terhadap otoritas politik Madinah. Beberapa suku Arab menghentikan pelaksanaan zakat atau kembali kepada kepercayaan lama, yang oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dianggap sebagai bentuk pembangkangan politik. Hal ini memicu Perang Riddah (632 M), yang sebenarnya lebih bercorak politik, ketimbang persoalan teologis.
Fikih Klasik dan Hukuman terhadap Orang Murtad
Dalam fikih klasik, murtad dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap agama dan komunitas Muslim, yang pada umumnya dikenai sanksi berat, termasuk hukuman mati. Pandangan ini sering merujuk pada hadis Nabi: “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” (HR. Bukhari).
Namun, interpretasi semacam ini tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik abad ke-7 dan ke-8, ketika agama dan negara menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Pada masa itu, meninggalkan Islam sering dimaknai bukan hanya sebagai pilihan teologis, melainkan juga bentuk pembelotan terhadap otoritas negara Islam yang sedang terbentuk. Oleh karena itu, sanksi atas kemurtadan tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga politis, guna menjaga stabilitas komunitas. Dalam banyak kasus, murtad dipandang serupa dengan pemberontakan.
Dalam tradisi fikih klasik, murtad diklasifikasikan sebagai kejahatan serius yang tidak hanya mengancam keyakinan pribadi, tetapi juga dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan sosial komunitas Muslim. Oleh karena itu, murtad sering dikenai sanksi berat, termasuk hukuman mati, sebagaimana yang ditemukan dalam sejumlah mazhab hukum klasik.
Keempat imam mazhab fikih klasik (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa murtad adalah pelanggaran serius yang dapat dikenai hukuman mati, khususnya bagi laki-laki. Meskipun dalam prosesnya, terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk bertobat selama tiga hari. Mazhab Hanafi membedakan antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan murtad tidak dihukum mati melainkan dipenjara dan diajak kembali ke Islam, sementara tiga mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) menetapkan hukuman mati bagi keduanya.
Selain itu, seluruh mazhab menganggap murtad membatalkan pernikahan, menghilangkan hak waris, dan hak-hak sipil lainnya. Pandangan ini lahir dalam konteks sejarah ketika agama dan negara tidak terpisahkan, sehingga murtad dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan sosial umat Islam.
Namun, seiring berkembangnya konsep negara modern, pemisahan agama dan negara, serta meningkatnya perhatian terhadap hak asasi manusia, banyak negara Muslim mulai mengadopsi pendekatan yang lebih progresif dan kontekstual dalam menyikapi isu ini.
Seiring berkembangnya peradaban dan pemisahan antara otoritas agama dan negara dalam masyarakat modern, banyak cendekiawan Muslim mulai menafsirkan kembali teks-teks klasik ini. Mereka menekankan bahwa keimanan harus bersifat sukarela dan kebebasan beragama adalah prinsip universal yang juga diakui dalam Al-Quran. Maka, pemaknaan terhadap murtad hari ini menuntut pendekatan yang lebih kontekstual, etis, dan menghargai hak asasi manusia.
Reinterpretasi Ulama Progresif Modern
Para pemikir Islam progresif kontemporer menawarkan pendekatan yang jauh lebih kontekstual, humanistik, dan menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan.
Fazlur Rahman dalam bukunya Islam and Modernity (1982) menekankan pentingnya membedakan antara bentuk murtad yang bersifat teologis dan yang bersifat politik. Menurutnya, Al-Quran tidak pernah menetapkan sanksi duniawi atas murtad, melainkan menyerahkan urusan itu sepenuhnya kepada Tuhan di akhirat. Ia juga menyatakan bahwa pemaksaan iman justru menciptakan kemunafikan spiritual.
Sementara itu Abdullah Saeed dalam Freedom of Religion, Apostasy and Islam (2004) mengemukakan bahwa ayat-ayat Al-Quran menunjukkan toleransi tinggi terhadap perbedaan keyakinan. Ia menolak penerapan hukuman mati bagi orang murtad dan menyatakan bahwa orang murtad yang tidak mengancam tatanan sosial-politik tidak bisa dihukum oleh negara. Saeed menegaskan, tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang secara eksplisit memerintahkan hukuman dunia terhadap orang yang meninggalkan Islam.
Senada dengan itu, Abou El Fadl menilai bahwa interpretasi klasik tentang murtad seringkali mencerminkan dinamika kekuasaan politik, bukan ajaran moral Islam. Dalam Speaking in God’s Name (2001), ia mengkritik keras penggunaan agama sebagai alat untuk menjustifikasi kekerasan atau paksaan atas keyakinan.
Di sisi lain, Mohammad Hashim Kamali berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang menyebut murtad (misalnya QS. Al-Baqarah: 217 dan QS. An-Nahl: 106) tidak mengandung perintah hukuman duniawi. Dalam Principles of Islamic Jurisprudence, ia menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah prinsip kunci dalam Islam, dan penerapan sanksi terhadap murtad bertentangan dengan maqashid al-shariah (tujuan hukum Islam), terutama dalam melindungi akal dan keyakinan.
Kebebasan Beragama dalam Islam
Kebebasan beragama merupakan prinsip fundamental dalam ajaran Islam, yang ditegaskan secara eksplisit dalam Al-Quran. Islam tidak hanya mengakui hak individu untuk memilih keyakinan, tetapi juga menolak segala bentuk pemaksaan dalam urusan agama. Hal ini terlihat jelas dalam firman Allah:
“Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…” (QS. Al-Baqarah: 256)
Ayat ini menegaskan bahwa iman adalah hasil dari pemahaman dan kesadaran, bukan tekanan atau kekerasan. Para mufasir kontemporer menafsirkan ayat ini sebagai prinsip universal yang berlaku lintas waktu dan tempat, bukan semata-mata aturan situasional. Dalam konteks ini, agama menjadi wilayah nurani yang harus dilindungi dari upaya pemaksaan, baik oleh negara, kelompok sosial, maupun institusi keagamaan.
Ayat lain yang memperkuat prinsip ini adalah:
“Dan katakanlah: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman; dan barang siapa yang ingin kafir, hendaklah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan tidak mungkin dipaksakan karena ia merupakan tanggung jawab pribadi manusia di hadapan Tuhan. Pilihan untuk beriman atau tidak, dalam pandangan Al-Quran, adalah bagian dari ujian moral individu yang tidak dapat digantikan oleh orang lain, termasuk oleh negara atau otoritas agama.
Dengan dasar ayat-ayat tersebut, banyak ulama dan pemikir Muslim kontemporer menegaskan bahwa kebebasan beragama, termasuk hak untuk berpindah agama merupakan hak setiap individu. Ia merupakan bagian dari maqashid al-shariah, yakni tujuan utama dari hukum Islam yang berlandaskan perlindungan atas agama, akal, dan kehormatan manusia.
Pandangan ini juga menyoroti bagaimana istilah murtad dalam wacana fikih klasik lebih berkaitan dengan ancaman terhadap komunitas dan otoritas politik, bukan sekadar soal spiritualitas individu. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat modern yang plural dan demokratis, pemaknaan terhadap murtad menuntut pendekatan yang lebih etis, kontekstual, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Alih-alih menjadi dalih untuk menghukum atau mendiskriminasi, konsep murtad semestinya menjadi pengingat bahwa iman sejati hanya tumbuh dari hati yang bebas, pikiran yang merdeka, dan lingkungan yang menghormati keberagaman. Dengan demikian, Islam sebagai agama rahmat sejatinya menjunjung tinggi kebebasan keyakinan sebagai bagian dari martabat manusia.
Penerapan Hukum Murtad di Negara-Negara Mayoritas Islam Saat Ini
Penerapan hukum terhadap orang yang dianggap murtad di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam saat ini sangat bervariasi. Semua itu tergantung pada sistem hukum, struktur kenegaraan, dan interpretasi keagamaan yang dominan di masing-masing negara. Dapat digarisbawahi, sebagian besar negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim tidak menganggap murtad sebagai bagian dari hukum pidana.
Beberapa negara seperti Maroko, Tunisia, dan Turki telah meninggalkan pendekatan hukum pidana terhadap murtad. Negara-negara ini mengedepankan prinsip kebebasan beragama, baik dalam konstitusi maupun dalam praktik hukum, dengan tidak mengenakan hukuman apa pun bagi warganya yang memutuskan keluar dari Islam.
Sebaliknya, negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, dan Pakistan masih mencantumkan murtad sebagai delik pidana dalam hukum positif mereka. Meskipun pelaksanaannya bisa bersifat selektif dan politis. Penerapa hukuman terhadap orang murtad kerap mendapat sorotan dari komunitas internasional, karena dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan.
Di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tidak menerapkan hukuman bagi orang murtad. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama dalam Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya masing-masing. Itu artinya, setiap warganya mendapatkan jaminan dari negara untuk memilih agama apapun, termasuk untuk berpindah agama.
Meski demikian, secara sosial dan kultural, murtad masih dianggap sensitif dan dapat menimbulkan reaksi negatif dari komunitas setempat. Dalam beberapa kasus, seseorang yang pindah agama dari Islam dapat mengalami tekanan sosial, pengucilan, atau konflik dalam keluarga dan lingkungan masyarakat. Namun, tindakan-tindakan tersebut bukanlah bagian dari sanksi hukum negara, melainkan reaksi sosial yang bersifat informal.
Kasus-kasus murtad yang muncul di Indonesia biasanya ditangani dengan pendekatan dialog sosial, pendidikan, dan konseling keagamaan, bukan melalui kriminalisasi. Bahkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), meskipun murtad dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, tidak terdapat anjuran untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memisahkan antara pandangan moral-agama dan pelaksanaan hukum negara dalam mengatur kehidupan beragama.
Respons terhadap orang murtad di dunia Muslim, termasuk Indonesia, pendekatannya semakin bergeser dari orientasi hukuman menuju pendekatan etis, edukatif, dan berbasis pada penghormatan terhadap hak-hak individu. Perkembangan ini mencerminkan kesadaran pada pentingnya kebebasan berkeyakinan, sebagai bagian dari nilai-nilai dasar dalam masyarakat modern dan plural.
Daftar Pustaka
Saeed, Abdullah dan Hassan Saeed. Freedom of Religion, Apostasy and Islam. Ashgate, 2004.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press, 1982.
Abou El Fadl, Khaled. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. Oneworld, 2001.
Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society, 2003.

