Muraqabah termasuk salah satu maqam dalam tasawuf, yakni sikap mawas diri dalam rangka menghindari perbuatan dosa. Sikap ini biasanya dilakukan sufi yang sudah sampai pada tingkat mengetahui dan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui dan menguasai seluruh hati dan perasaannya. Kesadaran itu mendorong sufi untuk selalu mawas diri terhadap bisikan tercela yang dapat memaling-kannya dari mengingat Allah SWT.
Muraqabah disebut juga dengan istilah “kontemplasi dan meditasi” (tafakur), sebuah perjalanan menuju kepada kehadiran spiritual, yakni sebuah keadaan berkesadaran secara permanen. Ia juga berarti “pelatihan kesadaran” dengan beberapa metode untuk dikerjakan sehari-hari.
Metode mistisime Islam menjadikan tafakur sebagai sebuah background pelaksanaan zikir, yang merupakan sarana utama mencapai kesadaran spiritual, yang sesuai dengan sebuah perintah yang berkali-kali diungkapkan dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini Abul Hasan Ali al-Hujwiri (w. 469 H/1077 M), seorang sufi asal Persia, berkata,
Ketika jiwa keinginan diri telah lenyap di dalam dunia ini, maka akan tercapailah kontemplasi, dan ketika kontemplasi yang berlangsung secara kokoh, maka tidak ada perbedaan antara kehidupan dunia sekarang dan kehidupan akhirat kelak.”
Aktivitas muraqabah ini dimulai dengan mengulang-ulang zikir kepada Allah SWT, seperti “Allah Hadhiri” atau “Allah ma‘i” (Allah bersamaku). Lafal zikir itu dapat diucapkan dengan suara keras maupun suara lembut atau dalam hati, tergan-tung pada pilihan, kebiasaan, dan kepuasan orang yang melaksanakannya.
Ayat Al-Qur’an yang sering dibaca dalam rangka muraqabah ini antara lain adalah surah al-Baqarah (2) ayat 109, surah an-Nisa‘ ayat 125, surah Qaf (50) ayat 15, surah ar-Rahman (55) ayat 26–27, dan surah al-Hadid ayat 3–4.
Muraqabah mempunyai beberapa tingkatan:
(1) menjaga hati, perasaan dan pikiran, karena Allah SWT menguasai semua itu;
(2) menjaga yang benar (Haqq) dengan kebenaran (Haq) dalam keadaan fana’ (pemusnahan keterbatasan individu) dan kemudian mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW dalam semua perbuatan, akhlak, dan budi pekerti (adab)nya; dan
(3) selalu bersikap mawas diri terhadap Allah SWT dan selalu memohon kepada-Nya agar Ia menjaganya dalam keadaan tersebut (keadaan muraqabah). Allah SWT telah memberikan anugerah kepada orang pilihan-Nya dan orang baik yang tidak merasa berat menjalani keadaan tersebut, karena Allah SWT lah pada hakikatnya yang menguasai semua urusan mereka. Tingkat ketiga ini merupakan derajat orang sufi yang telah mencapai puncak tertinggi muraqabah.
Daftar Pustaka
al-Hujwiri. Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthariy. Bandung: Mizan, 1992.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim ‘Abdul-Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960.
ZUHAD