Munawir Sjadzali adalah seorang diplomat dan intelektual muslim Indonesia. Kariernya meningkat dari jabatan duta besar RI di beberapa negara Timur Tengah (1976–1980), dirjen politik Deplu (1980–1983), hingga menteri Agama (1983–1988 dan 1988–1993). Ia juga pernah menjadi anggota DPA dan ketua Komnas HAM.
Munawir adalah putra sulung dari delapan bersaudara. Ia berasal dari keluarga santri. Ayahnya bernama Abu Aswad Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan ibunya Tas’iyah (putri Badruddin). Pendidikan formal Munawir mulai dari madrasah ibtidaiyah (setingkat sekolah dasar) di kampung kelahirannya.
Ia lalu melanjutkan pendidikannya ke Madrasah al-Islam, Solo. Hanya setahun di madrasah modern ini, ia pindah ke Madrasah Manba’ul Ulum yang didirikan oleh R. Adipati Sasrodiningrat dan Raden Tafsirul Anam pada 1905. Pada 1943, ia berhasil mengantongi ijazah dari madrasah tersebut, lalu menjadi guru Sekolah Rakyat Muhammadiyah, Salatiga.
Ia juga mengajar di madrasah ibtidaiyah di Gunungpati, Ungaran, Semarang, yang didirikan sejumlah tokoh organisasi, termasuk dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Dari daerah inilah ia mulai melibatkan diri dalam kegiatan umat Islam berskala nasional.
Ia menjadi ketua umum Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan untuk pertama kalinya bertemu dengan Bung Karno. Ia juga terpilih menjadi ketua Angkatan Muda Gunungpati dan ketua umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang.
Dalam kegiatan organisasi tersebut, Munawir bertemu dengan seorang gadis yang bernama Murni, putri Sekti, seorang “konglomerat” pribumi di Semarang. Pada 25 Mei 1950, mereka melangsungkan nikah siri, dan 11 Oktober 1950 melaksanakan nikah resmi. Pasangan ini dikaruniai enam anak: tiga laki-laki dan tiga perempuan.
Pada 1953–1954, Munawir belajar ilmu politik di University College of South West of England (1956 berubah menjadi University of Exerter), Inggris. Pada 1959, Munawir menyelesaikan te-sisnya yang berjudul “Indonesia’s Muslim Parties and their Political Concepts”, di Georgetown University, Washington DC. Pada 1994, ia mendapat gelar doctor honoris causa di bidang ilmu agama Islam dari IAIN (sejak 8 Juni 2002 menjadi UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Di lingkungan ilmiah, ia pernah menjadi ketua umum World Asso ciation of Muslim Scholars (WAMS) sejak 1983 dan mengajar mata kuliah al-Fiqh as-Siyasa (Islam dan Tata Negara) di program pascasarjana IAIN, Jakarta.
Ia juga pernah menjadi anggota International Institute for Strategic Studies di London; lektor tamu di Institute of Is-lamic Studies McGill University, Canada; lektor tamu di Universitas Leiden, Belanda; dan tim penasihat Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Di sela-sela kesibukannya berorganisasi, pada 1950, Munawir menulis buku Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam? Buku setebal 80 halaman yang merumuskan viable antara Islam dan negara Indonesia ini mengantarkan Munawir bekerja di Kementerian Luar Negeri. Kariernya dimulai ketika ia bertugas di Seksi Arab/Timur Tengah.
Di dalam negeri ia pernah bertugas antara lain sebagai sekretaris Konferensi Asia Afrika di Jakarta (1954–1955), kepala Biro Tata Usaha Pimpinan Deplu (1969–1970), kepala Biro Umum Deplu (1975–1976), serta staf ahli menteri Luar Negeri dan direktur jenderal politik Deplu sejak 1980.
Adapun di luar negeri, ia pernah bertugas antara lain sebagai sekretaris III KBRI di Washington DC (1956–1959); sekretaris I KBRI Colombo, Sri Lanka (1963–1968); dan duta besar RI untuk Kuwait, Bahrein, Qatar, dan Uni Emirat Arab (1976–1980).
Karena pengabdian dan jasanya, Munawir mendapat beberapa penghargaan, seperti Bintang Mahaputra Adipradana, Satyalacana Karya Satya, Great Cordon of Merit (Qatar), Me-dallion of the Order of Kuwait, Special Class, Heung in Medal, Second Class (Korea Selatan), Order of the Yugoslav Flag with Golden Wreath (Yugoslavia), dan Tokoh Maal Hijrah 1415 (Malaysia). Pada masa pengabdian dan perjalanan kariernya, Munawir mengalami tujuh peristiwa penting:
Pertama, Munawir melakukan sosialisasi dan penuntasan Ketetapan MPR-RI II/1983 tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tugas berat ini dilakukan Munawir ketika ia pertama kali dipercaya menjadi menteri Agama. Tugas ini tidak ringan, sebab Pancasila sebagai asas tunggal merupakan masalah kontroversial di kalangan tokoh agama. Ia mendapat reaksi keras dari umat Islam, khususnya kelompok Islam ideologis.
Kedua, Munawir melakukan pembenahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Ada dua hal yang menjadi perhatiannya dalam pembenahan lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia, yaitu dasar hukum IAIN dan peningkatan daya saing sumber daya manusia.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ia mengadakan pilot project Aliyah Program Khusus dengan kurikulum bermuatan 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum, serta menghidupkan kembali pengiriman calon dosen IAIN ke beberapa pergu ruan tinggi di Barat.
Ketiga, Munawir melontarkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Titik tekan gagasannya ini adalah mendorong komunitas dan kalangan umat Islam untuk tidak berhenti berijtihad secara berani dan jujur. Salah satu masalah yang dilontarkannya adalah soal waris.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa anak laki-laki menerima bagian harta warisan dua kali lebih banyak daripada anak perempuan. Bagi Munawir, dengan melihat dan mempertimbangkan realitas kehidupan keseharian, maka ketentuan ini dapat berseberangan dengan makna keadilan. Gagasan ini pun menimbulkan polemik panjang di tengah umat Islam.
Keempat, Munawir berhasil memperjuangkan Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA). Peradilan Agama di Indonesia memang sudah ada sejak zaman kerajaan Islam. Namun, sejak masa penjajahan Belanda hingga dekade 70-an, Peradilan Agama masih menjadi peradilan “pupuk bawang” atau belum diperhitungkan.
Kondisi objektif ini mendorong Munawir untuk merestrukturisasi Peradilan Agama agar sejajar dengan badan peradilan lain. Maka melalui Departemen Agama, Munawir mengajukan RUU Peradilan Agama. Setelah menghadapi tantangan dan reaksi keras, RUU Peradilan Agama ini disahkan menjadi UU Peradilan Agama, yaitu UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kelima, Munawir membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI). Proyek ini hampir bersamaan dengan pengajuan RUU Peradilan Agama. Bagi Munawir, proyek ini penting dan perlu karena umat Islam Indonesia belum memiliki buku standar hukum Islam yang seharusnya menjadi rujukan para hakim agama. Selama ini, para hakim agama masih merujuk kepada beberapa kitab fikih yang ditulis para ahli hukum pada Abad Pertengahan Islam.
Keenam, Munawir menghadapi musibah Mina dalam pelaksanaan ibadah haji pada 1990, yang menewaskan banyak jamaah haji Indonesia. Munawir mengakui bahwa penanganan musibah Mina pada 1990 merupakan beban terberat selama menjabat sebagai menteri Agama RI.
Ketujuh, Munawir mendapat kebahagiaan yang luar biasa karena berkesempatan menyertai Presiden Soeharto dan keluarganya menunaikan ibadah haji pada 1991.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi dan Saiful Umam, ed. Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik. Jakarta: PPIM, INIS, dan Litbang Depag RI, 1998.
Effendi, Bahtiar, dkk. “Munawir Sjadzali, MA: Pencairan Ketegangan Ideologis,” Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Balitbang Depag RI, 1998.
–––––––. Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi.
Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Sjadzali, Munawir. “Dari Lembah Kemiskinan,” Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A. Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia dan Paramadina, 1995.
–––––––. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1997.
–––––––. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1990.
Idris Thaha
__