Mulia Sadra (lengkap: Muhammad bin Ibrahim Sadruddin asy-Syirazi) adalah seorang filsuf sufi Syiah. Ia hidup pada masa kebangkitan kembali perhatian pada bidang intelektual, khususnya filsafat dan teologi. Pada awalnya, ia berguru pada ulama di Shiraz, kemudian belajar dari ulama di Isfahan dan menetap di sana. Akhirnya ia kembali ke Shiraz dan bekerja sebagai guru di madrasah yang didirikan gu bernur Propinsi Fars.
Di Isfahan, Mulla Sadra belajar di madrasah Isfahan, yang didirikan oleh Mir Damad atau Muhammad Baqir Astarabadi (w. 1631). Madrasah Isfahan mempunyai corak pemikiran yang khas dan mempunyai guru yang ternama serta menjadi semacam stempel untuk keunggulan intelektual di Safawi dan bahkan di Dunia Islam pada masanya.
Corak pemikiran Mulla Sadra diwarnai pemikiran madrasah Isfahan ini. Madrasah ini sebetulnya merupakan hasil dari usaha untuk mem-bangkitkan kehidupan intelektual yang dirintis Syah Isma‘il I (1501–1524), pengikut ordo sufi dan pendiri Kerajaan Safawi.
Guru Mulla Sadra di Isfahan antara lain adalah Mir Damad, Bahauddin al-Amali (w. 1621), dan Mir Abd Qasim Fenderiski (w. 1640), seorang hakim terkenal pada masa Safawi. Dari kedua nama yang terakhir ini, dikabarkan Mulla Sadra belajar al-‘ulum an-naqliyyah (transmitted sciences), yaitu ilmu yang berkaitan erat dengan kesufian.
Mulla Sadra mempunyai kebiasaan membaca yang baik. Hal ini terlihat dari karyanya yang merupakan komentar ter-hadap karya pendahulunya. Kebiasaan membaca ini pulalah yang menghubungkannya dengan pemikiran yang hidup selama seabad sebelumnya.
Dalam karyanya ia mengutip pemikiran filsafat pra-Socrates hingga berbagai pemikiran yang hidup pada zamannya. Hal itu dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Mulla Sadra telah melampaui gurunya dan madrasahnya. Bahkan belakangan, para muridnya menggambarkan bahwa falsafah Mulla Sadra merupakan mazhab tersendiri, walaupun sang guru tidak pernah menyatakan demikian.
Sayid Hussein an-Nasr, seorang cendekiawan kontemporer, menunjukkan bahwa Mulla Sadra adalah sumber sejarah filsafat Islam. E.G. Browne dalam karyanya Literary History of Persia, juga menggambarkan bahwa Mulla Sadra dinyatakan secara bulat sebagai filsuf terbesar di masa Persia modern.
Mulla Sadra banyak menulis. Akan tetapi, berbeda dari cendekiawan Persia lain pada masanya, karya yang dihasilkannya hampir seluruhnya dalam bahasa Arab. Karyanya dalam bahasa Persia antara lain adalah Tafsireayehenur (Tafsir Surah an-Nur).
Secara keseluruhan, karya Mulla Sadra dapat dibagi atas dua kelompok:
(1) kelompok karya komentar, yaitu komentar terhadap Hikmah al-Isyraqi (Kebijaksanaan Iluminasi) karya Syekh Syihabuddin as-Suhrawardi, terhadap al-Hidayah fi al-hikmah (Petunjuk Kebijakan) karya Atsiruddin al-Akhbari, dan terhadap asy-Syifa’ (Pengobatan) karya Ibnu Sina dalam bidang filsafat; dan
(2) kelompok karya orisinal. Tidak semua karya orisinalnya sampai kepada kita, yang sampai adalah al-Mabda’ wa al-Ma‘ad (Awal dan Akhir), asy-Syawahid ar-Rububiyyah (Kesaksian Ilahiah), al-Masya‘ir (Perasaan Hidup), Mafatih al-Gaib (Kunci ke Alam Gaib), Asrar al-Ayat (Rahasia Ayat), dan al-Hikmah al-Muta‘aliyyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (Kebijakan Tinggi mengenai Empat Tahap Perjalanan Akal).
Karya yang terakhir ini adalah opus magnum (karya besar) nya karena merupakan dasar bagi risalah pendeknya dan risalah lain pasca Ibnu Sina. Pada karya ini digambarkan perkembangan spiritual yang dialami pengembara mistis sambil menekankan keseimbangan antara derajat prestasi spiritual dan fungsi manusia sebagai khalifah Allah SWT di bumi, yang berarti menekankan pula kewajiban seorang sufi terhadap masyarakatnya.
Perkembangan pengem-baraan itu digambarkan dalam empat tingkat:
(1) tingkat pengembaraan dari diri dan dunianya menuju Allah SWT,
(2) tingkat pengembaraan dari sifat Allah SWT menuju hakikat-Nya;
(3) tingkat pengembaraan dari Allah SWT menuju diri dan dunianya sendiri, dan
(4) tingkat pengembaraan dari manusia kepada manusia dalam wujud persembahan tatanan moral dan spiritual yang “lain”.
Karyanya, al-Masya‘ir, telah diterjemahkan oleh Henry Corbin (1903–1978), seorang orientalis yang banyak men curahkan perhatiannya terhadap filsafat dan sufi Syiah Ismailiyah, ke bahasa Perancis dengan judul Le Livre des Penetrations Metaphysiques. Penerjemahan itu menjadikan Mulla Sadra dikenal di Barat.
Karya Mulla Sadra sendiri telah banyak dikomentari dan dijadikan rujukan utama. Namanya sering disandingkan dengan nama terkemuka seperti Ibnu Sina, Ibnu Arabi, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan Syihabuddin as-Suhrawardi. Setidaknya beberapa nama besar itu menjadi simpul pemikiran Mulla Sadra. Mereka itu adalah Ibnu Sina, as-Suhrawardi, dan Ibnu Arabi.
Mazhab filsafat “peripatetic” (masysya’i) Ibnu Sina merupakan salah satu mazhab pemikiran yang dianut Mulla Sadra. Ia mengambil pemikiran Ibnu Sina mengenai gerak dan ketergantungannya dan “Penggerak Pertama Yang Tidak Digerakkan” (maksudnya, Tuhan). Selain itu, ia juga menerima pandangan emanasi.
Namun demikian, ia tidak menerima semua pemikiran Ibnu Sina dengan bulat. Misalnya, ia menolak pemikiran Ibnu Sina yang berkaitan dengan keabadian dunia dan kemustahilan kebangkitan jasmani.
Penolakan terhadap keabadian dunia dikembalikannya pada pandangan semua filsuf kuno dari Hermes ke Thales, Phytagoras, dan Aristoteles, yang semuanya dengan bulat mempercayai bahwa dunia itu hadits, karena dicipta dengan waktu.
Tuhan adalah satu-satunya realitas abadi dan mendahului eksistensi waktu. Karena itu, waktu dan gerak sebagai bagian dari alam semesta tidak mungkin abadi. Demikian juga, apa yang oleh sufi dikenal dengan a‘yan Tsabitah (wujud mapan) dan apa yang dikatakan oleh filsuf ‘aql fa‘al (intelek aktif) adalah juga tidak abadi (Hadits) karena semuanya tunduk pada perubahan yang terus-menerus.
Jelasnya, yang abadi (qadim) dalam pandangan Mulla Sadra adalah Tuhan sebagai Penggerak Pertama Yang Tidak Digerakkan itu, sedangkan yang lainnya tergantung pada Tuhan.
Berkaitan dengan pandangan emanasi, Mulla Sadra memadukannya dengan filsafat iluminasi (isyraqi) yang dikem bangkan Syekh as-Suhrawardi. Teosofi yang diperkenalkan as-Suhrawardi ini bukan hanya berdasar pada iluminasi, tetapi juga pada filsafat Ibnu Sina.
Pengaruh as-Suhrawardi pada Mulla Sadra antara lain dapat dilihat dari pandangannya tentang keterkaitan antara filsafat kuno dan kebenaran wahyu. Ia sependapat dengan as-Suhrawardi yang memandang kaitan filsafat kuno dengan kebenaran wahyu yang diterima para nabi dan wali sebagai kebenaran yang paling tinggi.
Seperti juga as-Suhrawardi, ia percaya pada kesatuan kebenaran yang dialirkan melalui mata rantai yang tidak terputus sejak Nabi Adam AS, dan di antara mata rantai itu adalah orang Yunani, para sufi, dan filsuf.
Selanjutnya, Mulla Sadra mengikuti langkah gurunya, Mir Damad, yang mengintegrasikan pemikiran Ibnu Sina dan as-Suhrawardi ke dalam kerangka ajaran esoteris Syiah. Untuk itu, ia harus mengaitkannya dengan dunia ‘irfan (gnostik: suatu bentuk pemahaman yang didasari dengan pengetahuan dan pengenalan). Karena itu, Mulla Sadra berhubungan dengan tasawuf Ibnu Arabi.
Hasil dari mempertemukan ketiga pemikiran itu (Ibnu Sina, as-Suhrawardi, dan Ibnu Arabi) adalah perubahan mendasar dalam pemikiran tasawuf. Jika pada mulanya para sufi dalam menampilkan pengalaman rohaninya hanya mendasarkannya pada kasyf atau syuhud (intuisi mistis) dan menghindar dari bukti logis, pada Mulla Sadra hal seperti itu memperoleh argumen rasional filosofis.
Memang, apa yang dihasilkan ini sebetulnya merupakan jasa as-Suhrawardi, akan tetapi Mulla Sadra mempunyai andil besar dalam mengembangkannya.
Selain terhadap tiga mazhab di atas, Mulla Sadra me numpukan pemikirannya pada dasar keempat, yaitu syariat. Selain Al-Qur’an, dasar keempat yang disebut hikmah islamiyyah itu meliputi pula sabda Rasulullah SAW dan imam Syiah.
Tidak terlupakan di sini Nahj al-Balagah, karya Ali bin Abi Thalib. Keseluruhan pemikiran Mulla Sadra yang bertumpu pada empat dasar itu kemudian dikenal dengan al-hikmah al-Muta‘aliyah.
Daftar Pustaka
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. London: Longman Group Ltd., 1970.
Nasr, Husein. Science and Civilization in Islam. Cambridge: The Islamic Texts Society, 1968.
Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr ad-Din Shirazi). New York: Stata University of New York Press, 1975.
MAKSUM MUKHTAR