Mukalaf adalah sebutan bagi orang yang perbuatannya terkait dengan khitab Syari‘ (perkataan Tuhan). Mukalaf dianggap telah dapat dibebani hukum dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Perbuatan mukalaf memiliki nilai dan risiko, sesuai dengan bentuk pekerjaannya, apakah ia mengerjakan perintah Allah SWT sehingga diberi pahala dan tanggungannya lepas, atau melakukan suatu larangan sehingga mendapat risiko dosa dan tanggungannya belum lepas.
Dasar taklif (pembebanan hukum) ini adalah akal dan pemahaman. Dengan demikian orang yang belum atau tidak berakal tidak dibebani hukum.
Demikian juga orang yang belum atau tidak memahami taklif tersebut belum dan tidak dapat dikenakan taklif. Seseorang telah dapat dikatakan mukalaf apabila terpenuhi dua syarat berikut:
(1) Orang tersebut telah mampu memahami dalil taklif yang ada dalam Al-Qur’an atau sunah Nabi SAW, baik secara mandiri atau melalui orang lain.
Seseorang yang dibebani hukum tidak mungkin melaksanakan hukum yang dibebankan kepadanya jika ia sendiri tidak memahami apa yang harus dilakukannya dan apa yang mesti ditinggalkannya.
Untuk bisa memahami taklif tersebut ia harus memiliki akal dan telah mampu mempergunakannya, karena ada orang yang mempunyai akal tetapi belum mampu menggunakannya (seperti anak kecil yang belum sempurna pertumbuhan akalnya).
Akal memang merupakan sesuatu yang tersembunyi, bukan sesuatu yang dapat dilihat, tetapi syariat menganggap bahwa indikasi luar dari orang yang telah berakal merupakan dugaan (mizannah) bahwa seseorang telah berakal.
Indikasi tersebut ditandai dengan telah balignya seseorang. Untuk menentukan seseorang itu telah balig atau belum, dapat dilihat perkembangan fisik dan gejala biologisnya.
Biasanya untuk anak perempuan, balig tersebut ditandai dengan telah haidnya anak tersebut untuk pertama kali. Adapun balig anak laki-laki ditandai dengan mimpi bersenggama (mengeluarkan air mani) untuk pertama kalinya.
Dengan mengalami tanda tersebut, anak dinamai balig sekaligus berakal dan dianggap telah mampu untuk dibebani (taklif) serta telah bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Sebaliknya, anak kecil yang belum balig dan orang gila tidak dapat dibebani hukum (taklif) karena mereka ini belum memiliki sarana untuk memahami khiatib Syari‘ (perkataan Tuhan), yaitu akal.
Demikian juga halnya dengan orang yang hilang kesadarannya, seperti orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang tidur. Mereka tidak dapat dibebani hukum karena memang kesadaran akal mereka di waktu itu tidak ada.
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dibebani hukum (seseorang) dalam tiga hal, yaitu orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia mimpi, dan orang gila sampai ia sembuh (berakal)” (HR. Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Daruqutni).
(2) Orang tersebut telah cakap untuk bertindak menurut hukum atau cakap untuk melaksanakan apa-apa yang dibebankan syariat kepadanya, yang dalam istilah usul fikih disebut ahliyyah (kecakapan bertindak). Ahliyyah itu sendiri oleh para ahli usul fikih dibagi dalam dua macam, yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada’.
Ahliyyah al-wujub adalah kecakapan seseorang untuk menerima hak yang diberikan orang lain kepadanya dan ia juga wajib menunaikan kewajiban terhadap orang lain. Kecakapan ini merupakan suatu kekhususan bagi manusia semenjak dalam rahim ibunya dan merupakan fitrah manusia.
Dengan demikian maka janin yang masih dalam kandungan ibunya, misalnya, telah berhak menerima harta warisan ayahnya yang meninggal dunia. Demikian juga halnya dengan hak lainnya yang tidak memerlukan adanya formalitas penerimaan (kabul) dari janin tersebut, seperti wasiat dan wakaf.
Ulama usul membedakan ahliyyah al-wujub dalam dua macam:
(1) ahliyyah al-wujub yang naqis (kurang), yakni keahlian yang baru cakap untuk memiliki hak tanpa ada kewajiban, atau kebalikannya, ada kewajiban tanpa hak; dan
(2) ahliyyah al-wujub yang tammah (sempurna), yaitu ahliyyah al-wujub yang di dalamnya terdapat penerimaan hak dan sekaligus kewajiban.
Ahliyyah al-ada’ adalah kecakapan seseorang untuk ber-tindak hukum sehingga segala perkataan dan perbuatannya harus dipertanggungjawabkan sendiri. Kecakapan ini juga terbagi atas ahliyyah al-ada’ yang tammah dan ahliyyah al-ada’ yang naqis.
Ahliyyah al-ada’ yang tammah adalah ahliyyah al-ada’ bagi mukalaf, sedangkan ahliyyah al-ada’ yang naqis bagi orang yang masih belum dalam keadaan mumayiz (mampu membedakan), yang perbuatan atau tindakannya belum dapat dimintai tanggung jawab penuh secara hukum.
Dengan demikian, tindakan hukumnya dapat dibenarkan kalau sifatnya menguntungkan dirinya sendiri, misalnya menerima hibah. Akan tetapi jika tindakan hukumnya itu akan membawa mudarat (bahaya) pada dirinya, tindakannya ini dianggap tidak sah, sekalipun walinya mengizinkannya, misalnya tindakan memberikan hibah, wasiat, dan wakaf.
Apabila tindakan hukum yang dilakukannya mengandung kemungkinan mudarat dan manfaat, tindakannya bisa dibenarkan apabila walinya mengizinkan karena ia pada satu sisi telah memiliki ahliyyah al-ada’ tetapi di sisi lain ahliyyah al-ada’nya belum sempurna (naqis) sehingga harus mendapat persetujuan wali.
Di samping itu, ada pula orang yang kehilangan ahliyyah al-ada’ atau memang sejak semula tidak memiliki ahliyyah al-ada’. Orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah anak kecil (belum mumayiz) dan orang gila. Tindakan hukum kedua orang ini tidak dapat dinilai karena mereka tidak atau belum mempunyai akal sebagai dasar taklif yang utama.
Dengan demikian, mukalaf yang dapat dibebani hukum dan dimintai pertanggungjawaban dalam hal perbuatan dan perkataannya adalah orang yang telah mempunyai akal serta telah memiliki ahliyyah al-ada’ al-kamilah (telah cakap bertindak hukum secara sempurna).
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
ad-Duraini, Fathi. al-Manahij al-Usuliyyah fi al-Ijtihad bi ar-Ra’y fi at-Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al- Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1975.
az-Zuhaili, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami. Damascus: al-Jadidah, 1976.
Nasrun Haroen