Istilah al-mujahadah secara kebahasaan berarti “berjuang”. Dalam istilah tasawuf al-mujahadah berarti “perjuangan yang dilakukan dengan penuh kesungguhan dalam melawan, menahan, dan menundukkan hawa nafsu”. Akar kata al-mujahadah adalah juhd yang berarti “bersungguh-sungguh”.
Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi mengatakan,“Pada dasarnya mujahadat adalah menceraikan nafsu dari yang disukainya dan membawanya kepada yang tidak disukainya dalam bagian terbesar dari waktu yang dijalani, karena nafsu itu mempunyai dua sifat, yaitu:
pertama, suka bergelimang dalam kelezatan dan kedua, menjauhkan diri dari ketaatan. Apabila ia berontak,tak mau tunduk, bahkan ingin terus memperturutkan kehendaknya, wajiblah ia dikekang dengan ketakwaan. Apabila ia bersikeras untuk meninggalkan ketaatan, wajiblah ia dipaksa agar dapat melakukan ketaatan itu.”
Berjuang melawan hawa nafsu merupakan tingkat perjuangan yang paling tinggi dan terberat. Diceritakan dalam kitab sejarah, ketika Rasulullah SAW baru saja pulang dari Perang Badar al-Kubra, banyak di antara para sahabat yang merasa bangga dengan kemenangan mereka dalam peperangan itu, karena dengan jumlah yang sedikit mereka telah dapat mengalahkan tentara musuh yang jumlahnya
berlipat ganda.
Tetapi Rasulullah SAW dengan sedikit ucapan
menyadarkan para sahabatnya. Katanya, “Kita kembali dari
peperangan yang kecil menuju peperangan yang amat besar,
yaitu berjuang melawan hawa nafsu.”
Ibnu Qayyim al-Jauziyah meletakkan perjuangan melawan hawa nafsu sebagai tingkat paling tinggi dalam tingkatan jihad. Tingkat paling bawah adalah perjuangan melawan kafir, tingkat kedua perjuangan melawan munafik, tingkat ketiga perjuangan melawan setan, dan tingkat keempat baru perjuangan melawan hawa nafsu.
Tingkatan perjuangan melawan kafir dikatakan paling rendah karena musuh yang dihadapi jelas kelihatan dan senjata yang digunakannya pun dapat dilihat dengan mata kepala.
Demikian pula halnya dengan munafik yang dapat dilihat dengan mata; tetapi munafik setingkat lebih berat, karena antara penampilan dan hatinya berbeda; di segi penampilannya ia seakan-akan teman, tetapi dari segi isi hatinya ia adalah musuh.
Selanjutnya, setan lebih berat lagi dari munafik karena ia tidak dapat dilihat. Perjuangan melawan setan itu berat, tetapi melawan hawa nafsu lebih berat lagi.
Menurut al-Ghazali, beratnya melawan hawa nafsu disebabkan empat hal, yaitu:
(1) nafsu tidak dapat dilihat dengan mata,
(2) nafsu tidak pernah berhenti melakukan perlawanan sepanjang hayat dikandung badan,
(3) nafsu ada di dalam diri kita sendiri, dan
(4) nafsu tidak boleh dibunuh. Karena nafsu dan setan adalah musuh yang menggoda setiap individu manusia, menghadapinya harus dilakukan secara individual pula.
Hukum mujahadat melawan nafsu dan setan menurut Ibnu Qayyim adalah fardu ain (kewajiban pribadi) bagi setiap muslim.
Bentuk mujahadat orang awam atau kebanyakan yang tingkatan ibadahnya pemula adalah berupaya menyempurnakan amalnya sehingga sesuai dengan yang diperintahkan agama.
Adapun bentuk mujahadat orang khawaj (yang tingkatan ibadahnya sudah tinggi; lawan dari orang awam) di samping memperbaiki amal tersebut juga membersihkan mentalnya dengan jalan menghilangkan sifat tercela dari dalam hati dan mengisinya dengan sifat terpuji. Dengan usaha demikian secara berangsur-angsur nafsu akan dapat ditundukkan.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mengisyaratkan perlunya orang bermujahadat dalam mengendalikan hawa nafsunya, antara lain disebutkan:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku…” (QS.12:53); dan “Dan barang-siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri…” (QS.29:6).
Ayat pertama di atas menjelaskan jahatnya nafsu karena nafsu senantiasa membawa kepada keburukan, kecuali nafsu yang dirahmati Allah SWT, yaitu nafsu mutma’innah (nafsu yang tenteram). Dalam ayat kedua dijelaskan pula bahwa manfaat orang yang bermujahadat terhadap nafsunya sendiri adalah untuk dirinya sendiri.
Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (w. 378 H/988 M), seorang sufi dan tokoh fundamentalis tasawuf, menempatkan mujahadat sebagai upaya dalam mencapai maqam dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Di samping mujahadat ia juga mengemukakan tiga bentuk lain dalam mencapai maqam itu, yaitu ibadah, riadat, dan pemusatan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian mujahadat bukan termasuk maqam yang dicapai oleh sufi dalam pengembaraan batinnya mendekati Tuhan, tetapi mujahadat adalah aktivitas sufi itu sendiri da-lam mendapatkan maqam tersebut.
Apa yang dikemukakan at-Tusi ini bersumber dari firman Allah SWT yang berarti: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS.29:69).
Berbeda dengan Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi, al-Qusyairi menempatkan mujahadat sebagai maqam yang dicapai oleh orang yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Baginya maqam adalah adab yang mestinya dilaksanakan seseorang dalam menempati suatu manzilah (tingkatan).
Dengan melaksanakan adab itu ia dapat mencapai tingkatan di atasnya. Dengan demikian maqam ditandai oleh aktivitas orang yang menempati maqam tersebut; tanpa aktivitas, maqam itu tidak ada.
Menurutnya, mujahadat merupakan maqam kedua setelah maqam tobat. Tanpa menjalani tobat, orang tidak akan dapat langsung menempati maqam mujahadat. Mujahadat akan dapat terlaksana setelah lebih dahulu diawali dengan tobat.
Daftar Pustaka
Ali, Yunasril. Pelita Hidup Menuju Rida Ilahi. Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Zad al-Ma‘ad fi Huda Khair al-‘Ibad. Cairo: Dar al-Babi al-Halabi, 1324 H/1906 M.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
al-Khadimi, Abi Sa’id. Bariqah Mahmudiyyah fi Syarh Tariqah Muhammadiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1348 H/1929 M.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1961.
Yunasril Ali