Muhrim dapat berarti: (1) orang yang sedang melakukan ihram ketika melakukan ibadah haji dan orang yang berada dalam perlindungan orang lain; dan (2) seorang pria yang masih memiliki hubungan keluarga dekat dengan seorang wanita sehingga pernikahan antara keduanya dilarang.
Dalam ibadah haji, muhrim adalah orang yang sedang mengerjakan ihram. Kata “ihram” berarti “mengikatkan diri untuk menghindari sejumlah larangan yang sebelumnya diperbolehkan”.
Ihram dalam hukum Islam berarti “niat melakukan ibadah haji atau umrah” dan merupakan salah satu rukun haji atau umrah. Dalam ibadah haji, orang harus berpakaian ihram dan menahan diri dari larangan tertentu.
Pakaian ihram laki-laki, yakni dua helai kain yang tidak berjahit, berwarna putih. Adapun perempuan mengenakan pakaian ihram yang menutupi seluruh tubuh selain muka dan telapak kanan.
Muhrim juga berarti “orang yang diharamkan untuk dinikahi”. Wanita yang terhalang untuk dinikahi disebut al-muharramat. Dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 22–24 disebutkan ada 15 macam wanita yang haram dinikahi, 14 macam di antaranya karena hubungan keluarga dan satu macam lagi karena masih terkait hubungan pernikahan dengan lelaki lain.
Mereka itu adalah:
(1) perempuan yang telah dinikahi ayah (ibu tiri),
(2) ibu kandung,
(3) anak perempuan (kandung),
(4) saudara perempuan (kandung),
(5) saudara perempuan ayah (bibi),
(6) saudara perempuan ibu (bibi),
(7) anak perempuan dari saudara laki-laki (kemenakan),
(8) anak perempuan dari saudara perempuan (kemenakan),
(9) ibu susuan,
(10) saudara sepersusuan,
(11) mertua,
(12) menantu,
(13) anak tiri (dari istri yang sudah digauli),
(14) saudara perempuan istri (ipar perempuan), dan
(15) setiap wanita yang bersuami.
Jumlah tersebut di atas masih ditambah lagi oleh Nabi Muhammad SAW dengan menyebutkan dua macam wanita yang haram dinikahi, yaitu:
(1) saudara perempuan dari mertua perempuan (bibi dari istri di pihak ibunya) dan
(2) saudara perempuan dari mertua lelaki (bibi dari istri di pihak ayahnya).
Hal ini dijelaskan dalam hadis riwayat Muslim dari Abdullah bin Muslimah al-Qa’naby dari al-A’raj dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengumpulkan (dimadu) antara seorang wanita dengan bibi dari pihak bapak dan bibi dari pihak ibunya.”
Muhrim yang didasarkan pada hadis Abdullah bin Abbas mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki ber-khulwah (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali bersama (wanita) muhrimnya” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Adapun hadis Uqbah bin Amir mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian masuk ke tempat wanita.” Lalu seseorang dari kaum Ansar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut (menyendiri dengannya bagaikan bertemu dengan kematian)” (HR. Mut-tafaqun ‘alaih).
Kedua hadis di atas secara jelas mengharamkan bagi seorang laki-laki dengan wanita yang bukan muhrimnya menyendiri. Yang harus dilakukan oleh wanita muslimah adalah tidak mengizinkan masuk seorang laki-laki ke rumah, kecuali atas persetujuan suaminya; ketika menemuinya wanita itu harus senantiasa memperhatikan aturan syariat, berhijab, dan tidak berkhulwah.
At-Tabrani meriwayatkan sebuah hadis Rasulullah SAW: “Janganlah kamu sekalian berkhalwat dengan wanita. Demi diriku yang ada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita melainkan setan akan masuk di antara keduanya.
Lebih baik seorang laki-laki berdekatan dengan babi yang berlumuran tanah liat atau lumpur daripada dia mendekatkan bahunya ke bahu wanita yang tidak halal baginya”.
Apabila menemui seorang wanita yang tertinggal dalam suatu perjalanan bersama rombongannya, seorang laki-laki boleh menemaninya dengan syarat bahwa ia berjalan di depan wanita tersebut, seperti yang terjadi pada diri Aisyah ketika tertinggal dari rombongan tentara pada saat terjadi berita bohong.
Daftar Pustaka
ad-Duraini, Fathi. al-Manahij al-Usuliyyah fi al-Ijtihad bi ar-Ra’yi fi Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtahid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. al-hadits al-Ahkam. Damascus: al-Jadidah, 1986.
al-Qarafi. Syarh Tanqih al-Fusul fi Ikhtisar al-Mahul fi al-Usul. Cairo: Dar al-Fikr, 1973.
as-Sabuni, Muhammad Ali. Rawa’i‘ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
az-Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Madkhal ila al-Fiqh al-‘Am: al-Fiqh al-Islami fi Tsaubih al-Jadid. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.
Alaiddin