Secara kebahasaan, al-muhallil berarti “menghalalkan”. Adapun dalam hukum Islam ada dua pembahasan muhalil: (1) dalam ibadah haji berarti “orang yang telah selesai mengerjakan rukun haji”’ dan (2) dalam hukum perkawinan berarti “seseorang yang mengawini seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya dan masa idahnya sudah habis dengan maksud agar perempuan ini nantinya, jika telah ditalak pula, halal dikawini suami sebelumnya”.
Dalam pengertian hukum haji, muhalil adalah orang yang telah dihalalkan untuk mengerjakan sesuatu yang selama mengerjakan rukun haji tidak diperbolehkan; atau seseorang yang telah menyelesaikan seluruh amalan haji, baik yang rukun maupun yang wajib dan telah dibenarkan untuk melakukan sesuatu seperti kawin, berburu binatang, dan bersenggama.
Untuk halalnya semua pekerjaan yang diharamkan baginya selama menunaikan rukun dan wajib haji, muhalil harus melakukan pengguntingan rambut minimal tiga helai atau bercukur. Demikian juga halnya orang yang telah selesai melakukan umrah secara sempurna; ia juga harus melakukan tahalul (tahallul: menghalalkan) dengan menggunting rambut.
Adapun berdasarkan hukum perkawinan, jenis perkawinan yang dilakukan muhalil dalam fikih dikenal dengan nama nikah tahlil. Perkawinan semacam ini sangat dicela Islam dan secara hukum diharamkan, karena bertentangan dengan hakikat perkawinan dalam Islam.
Islam menghendaki agar hubungan suami istri dalam bahtera perkawinan bersifat langgeng, sekalipun talak dibenarkan. Namun pekerjaan talak itu sendiri sangat dimurkai Allah SWT.
Hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar yang berarti: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak.”
Nikah tahlil hanya merupakan perkawinan semu dan mempunyai jangka waktu, sehingga tujuan perkawinan yang dikehendaki Islam tidak tercapai.
Oleh karenanya para pelaku dan perekayasa perkawinan tahlil ini mendapat kecaman yang keras dari Rasulullah SAW dalam sabda beliau yang berarti: “Allah telah melaknat muhalil (orang yang menghalalkan perkawinan tahlil) dan muhallal lah (orang yang merekayasa perkawinan tahlil, yakni suami pertama)” (HR. Imam Ahmad atau Imam Hanbali dari Abu Hurairah).
Hadis senada juga diriwayatkan at-Tirmizi dari Ibnu Mas‘ud, kemudian dari sebuah riwayat Ibnu Abbas: “Rasulullah SAW pernah ditanya tentang nikah yang dilakukan secara muhalil, Rasulullah SAW menjawab, ‘Nikah itu tidak sah, kecuali jika nikah tersebut dilakukan dengan motivasi yang benar, bukan penipuan, dan tidak dibenarkan berolok-olok dengan kitab Allah dan nikah itu baru sah apabila manisnya madu perempuan telah dicoba si laki-laki….’”
Ada pula riwayat yang mengatakan bahwa ketika ditanya tentang nikah muhalil, Umar menjawab, “Apabila muhalil dan muhallal lah dibawa kepadanya, dia akan merajam mereka.” Kemudian ketika Ibnu Umar ditanya tentang nikah muhalil, ia berkata, “Kedua orang tersebut (muhalil dan muhallal lah) telah melakukan zina.”
Para ahli hukum Islam menyatakan bahwa untuk mengetahui apakah nikah itu merupakan nikah tahlil atau bukan, selain dapat dilihat dari ucapan muhalil dan muhallal lah juga dari niat dan tanda yang ada. Tujuan dalam hal yang bersifat akad bisa dijadikan patokan untuk menentukan hukumnya.
Dengan demikian, seperti kata Ibnu Qayyim, akad perkawinan tersebut tidak harus disyaratkan jelas-jelas bahwa nikah itu adalah nikah tahlil, tetapi cukup dilihat tujuannya. Selama tujuannya memang untuk nikah tahlil, perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Bahkan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa muhalil ini membuka jalan bagi suami pertama untuk melakukan zina terselubung, karena nikah tahlil tidak lebih daripada suatu bentuk semu dalam mengesahkan sesuatu yang diharamkan Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah (2) ayat 230 yang berarti:
“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah menalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah…”
Nikah dengan orang lain yang dimaksudkan Allah SWT tentu yang sesuai dengan hakikat nikah itu sendiri, yakni yang sesuai dengan sunah Nabi SAW. Talak yang dilakukan secara tahlil tidak sesuai dengan sunah Nabi SAW. Oleh karenanya muhalil dan muhallal lah sama-sama dilaknat Allah SWT.
Daftar Pustaka
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-Alamin. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1967.
as-San’ani, Muhammad bin Isma’il al-Kahlani. Subul as-Salam. Riyadh: Jami’ah Ibnu Su’ud al-Islamiyah, 1408 H/1987 M.
Nasrun Haroen