Secara kebahasaan, al-muhajirun berarti “orang yang pindah dari satu tempat ke tempat lain”; secara istilah al-muhajirun berarti “penduduk muslim Mekah yang hijrah bersama Nabi SAW ke Madinah”. Karena beriman kepada risalah Nabi SAW, mereka mendapat tekanan dari kaum kafir Quraisy. Mereka meninggalkan negeri dan harta lalu mengikuti Nabi SAW hijrah ke Madinah untuk memulai hidup baru dan berjuang bersama Nabi SAW menegakkan Islam.
Sebelum hijrah ke Madinah, terlebih dahulu kaum Muhajirin hijrah ke Abessinia (sekarang Ethiopia). Hal tersebut terjadi karena para pengikut Nabi terutama yang baru memeluk Islam selalu mendapat penyiksaan dari kelompok kafir Quraisy. Atas izin Rasulullah SAW, pada bulan Rajab tahun ke-5 (615) kenabian Muhammad SAW, berangkatlah 14 orang (10 laki-laki dan 4 perempuan) hijrah ke Habasyah (Abessinia).
Mereka yang berangkat antara lain adalah Usman bin Affan bersama istrinya, Abu Huzaifah bin Utbah bersama istrinya, Sahlah; Zubair bin Awwam; Mus‘ab bin Umair; Abdurrahman bin Auf; Abu Salamah al-Makhzum bersama istrinya, Ummu Salamah; dan Usman bin Maz‘un. Kemudian mereka disusul lagi oleh Abdullah bin Mas‘ud (Ibnu Mas‘ud), sehingga mereka berjumlah 15 orang.
Keterangan lain menyebutkan bahwa jumlah kaum muslim yang hijrah ke Habasyah akh-irnya menjadi 100 orang karena sekelompok lagi menyusul, termasuk Ja‘far bin Abi Thalib.
Para muhajirin tersebut diterima baik oleh raja Abessinia, Najasyi, yang beragama Kristen. Mendengar berita ini, orang kafir Quraisy mengutus Amr bin As untuk menemui Raja Najasyi agar mengembalikan mereka ke Mekah. Menanggapi permintaan tersebut Raja Najasyi ingin tahu apa maksud sebenarnya dari kaum muslim itu.
Kemudian Ja‘far bin Abi Thalib yang ditunjuk sebagai juru bicara kaum Muhajirin menjelaskan bahwa mereka datang ke Habasyah untuk maksud baik. Mereka adalah orang yang masuk Islam atas kesadaran sendiri, melakukan segala perbuatan baik, dan meninggalkan perbuatan menyembah berhala. Lalu Ja‘far membacakan surah Maryam (19) ayat 19 tentang kisah mukjizat Nabi Isa AS.
Raja Najasyi bersama penganut agama Kristen lainnya terharu mendengarkannya, lalu mengatakan bahwa firman yang dibacakan tadi dan firman dalam Bibel (Injil) adalah pancaran dari sumber yang sama. Oleh karena itu, Raja Najasyi tidak bersedia menyerahkan kaum Muhajirin kepada orang kafir Quraisy.
Peristiwa hijrah kedua yang dilakukan kaum Muhajirin adalah hijrah bersama Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah pada 622. Dalam hijrah ini sebagian kaum Muhajirin berangkat mendahului Nabi SAW dan sebagian lagi menyusul kemudian. Adapun yang berangkat bersama Nabi SAW hanyalah Abu Bakar as-Siddiq, lalu disusul Ali bin Abi Thalib setelah Nabi SAW bersama Abu Bakar keluar dari Gua Sur, tempat persembunyian sementara dari pengintaian kafir Quraisy.
Peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah ini diawali oleh pengucapan Baiat Aqabah I dan II oleh penduduk Madinah dari suku Aus dan Khazraj. Pada Baiat Aqabah I mereka berjanji untuk tidak menyekutukan Tuhan, berzina, mencuri serta sifat tercela lainnya dan berjanji akan taat kepada Nabi SAW.
Setelah mereka kembali ke Madinah dan menceritakan ajaran Nabi SAW, sahabat mereka di Madinah tertarik serta memohon kepada Nabi SAW agar mengutus seseorang untuk meng ajarkan ajaran Islam kepada mereka. Nabi SAW menyetujui dan mengutus Mus‘ab bin Umair menjadi pengajar mereka.
Pada tahun ke-12 Rasulullah menjadi nabi, datang lagi 75 orang muslim Madinah untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Mereka datang dan sekaligus mengundang Nabi SAW untuk datang ke Madinah serta berjanji untuk memberi perlindungan kepada Nabi SAW. Hal ini disebut Baiat Aqabah II.
Berdasarkan perjanjian keamanan dalam Baiat Aqabah oleh penduduk Madinah, Nabi Muhammad SAW mengizin kan para sahabatnya, kaum muslimin, hijrah ke Madinah. Keberangkatan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan seorang demi seorang supaya tidak menimbulkan ke curigaan kaum kafir Quraisy.
Namun kemudian, cara hijrah seperti itu diketahui juga oleh kafir Quraisy. Karena kaum kafir Quraisy khawatir akan terjadi perang saudara antarkabilah, tindakan mereka terbatas hanya menghalangi pelaksanaan hijrah. Adapun kaum Muhajirin yang hijrah ke Madinah ber-jumlah 200 orang.
Disebutkan bahwa orang yang pertama sekali berangkat ke Madinah adalah Abu Salamah bersama istrinya, Ummu Salamah. Kemudian mereka diikuti kaum Muhajirin lainnya secara berangsur-angsur. Pada saat itu yang masih berada di Mekah hanyalah Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan sebagian orang yang bekalnya belum cukup, seperti Sahib dan Zaid bin Harisah.
Rasulullah SAW belum ikut bersama rombongan tersebut karena menunggu perintah dari Allah SWT terlebih dahulu. Setelah menerima wahyu dari Allah SWT tentang keharusan berperang di jalan Allah SWT dan membela kaum lemah dan anak-anak (QS.4:75 dan QS.22:39–40), lalu Nabi Muhammad SAW bersiap-siap meninggalkan Mekah menuju Madinah.
Mendengar rencana keberangkatan Nabi SAW ini, kafir Quraisy memperketat penjagaan dan merencanakan untuk membunuhnya. Melalui wahyu, Nabi SAW mengetahui rencana pembunuhan atas dirinya ini (QS.8:30), tetapi Nabi SAW tidak menceritakan kepada siapa pun. Selanjutnya Nabi SAW pergi ke rumah Abu Bakar, memberitahu bahwa Allah SWT mengizinkan untuk hijrah, dan meminta Abu Bakar menemaninya.
Pada saat keberangkatan Nabi Muhammad SAW, orang kafir Quraisy mengepung rumahnya dengan maksud mem bunuhnya. Pada malam itu pula Nabi SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib supaya memakai selimutnya yang berasal dari Hadramaut yang berwarna hijau dan menyuruh Ali berbaring di tempat tidur Nabi SAW.
Kemudian Nabi SAW menyuruh Ali untuk tinggal dahulu di Mekah mengurus barang yang dititipkan orang kepadanya. Sebelum pengepungan, Nabi Muhammad SAW telah pergi ke rumah Abu Bakar as-Siddiq dan kemudian berangkat menuju selatan untuk sementara bersembunyi di Gua Sur. Mereka berada dalam gua itu selama 3 hari. Setelah aman, mereka keluar menuju Madinah.
Sesampainya di Madinah, mereka disambut dengan rasa rindu dan gembira oleh penduduk Madinah. Kemudian keluarga Rasulullah SAW menyusul setelah Rasulullah SAW menetap beberapa hari di Madinah.
Rasulullah SAW mengutus Zaid bin Harisah dan Abu Rafi‘ bersama seorang penunjuk jalan, Abdullah bin Uraiqit, untuk menjemput keluarga Rasulullah SAW dan beberapa orang sahabat lain yang masih tertinggal di Mekah seperti Fatimah, Ummi Kalsum, Saudah bersama suaminya, dan Ummu Aiman bersama suami dan anaknya, Zaid dan Usamah.
Kemudian bergabung pula dengan rom-bongan keluarga Nabi SAW (Ahlulbait), itu Abdullah bin Abu Bakar, Ummu Rauman (istri Abu Bakar), Aisyah binti Abu Bakar, dan Asma bersama suaminya, Zubair bin Awwam.
Di Madinah kaum Muhajirin tidak memisahkan diri dari kaum Ansar (penduduk Madinah), melainkan menyatu dengan mereka untuk membantu perjuangan Nabi SAW. Pertalian antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansar diperkuat Rasulullah SAW dengan cara mempersaudarakan keduanya.
Begitu kuatnya ikatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar sehingga persaudaraan ini oleh Rasulullah SAW dianggap sebagai persaudaraan sekandung. Setelah menetap dan mapan di Madinah, kaum Muhajirin membaur dan melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat Madinah.
Namun karena kaum Muhajirin dinilai lebih utama dari kaum Ansar, baik dalam perjuangan menegakkan Islam maupun pengetahuan mereka tentang Islam, mereka mempunyai status yang lebih tinggi, terutama dalam struktur politik pemerintahan.
Daftar Pustaka
Ali Khan, Madjid. Muhammad, The Final Messenger. New Delhi: Idarat Adabi, 1980.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma’arif, t.t.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Ibnu al-Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar al-Fikr, 1965.
Ibnu Hisyam. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1955.
Ibnu Sa’ad. at-Tabaqat al-Kubra. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk. Leiden: E.J. Brill, 1976.
Yaswirman