Mufti

(Ar.: al-mufti)

Mufti adalah orang yang mengeluarkan­ fatwa sebagai­ jawaban atas pertanyaan umat mengenai masalah hukum Islam. Fatwa­ bisa diberikan seorang atau beberapa mufti. Karena berfatwa melalui ijtihad, mufti adalah mujtahid, entah mutlak (mujtahid mustaqill) atau mazhab (mujtahid fi al-madzhab). Mufti sebagai mujtahid mutlak tidak terikat­ pada satu mazhab, sedangkan sebagai mujtahid mazhab ia terikat pada mazhabnya, seperti Maliki, Hanafi, Syafi‘i,­ atau Hanbali.

Pada masa sahabat, tabiin, dan tabi‘ at-tabi‘in (satu kurun waktu setelah tabiin), fatwa diberikan oleh mufti secara perseorangan; belum ada bentuk lembaga yang di dalamnya berkumpul beberapa mufti untuk mengeluarkan fatwa.

Para mufti yang mengeluarkan fatwa pada masa ini dikenal sebagai mufti dari kalangan sahabat Madinah­. Jabatan­ mufti telah mulai menyebar ke Mekah, Basrah, Kufah, Syam (kini Suriah), Yaman, dan Baghdad serta dunia Islam lainnya.

Pada masa berikutnya muncul para mufti seperti Imam Maliki dengan Mazhab Maliki, Imam Hanafi­ dengan Mazhab Hanafi, Imam Syafi‘i dengan Mazhab Syafi‘i, serta Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dengan Mazhab Hanbali. Mereka­ ini dikenal sebagai mufti dalam bidang fikih. Maliki dikenal dengan kitab al-Muwatta’, Imam Hanafi dengan al-Fiqh al-Akbar, Imam Syafi‘i dengan ar-Risalah dan al-’Umm, sedangkan Imam Hanbali dengan al-Musnad.

Pada masa berikutnya juga dikenal mufti besar seperti Ibnu Taimiyah yang mengarang buku fatwa 37 jilid, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan I‘lam al-Muwaqqi‘in (4 jilid), dan banyak mufti lain sepanjang sejarah perkembangan­ hukum Islam.

Ada mufti yang diorganisasi dalam bentuk lembaga yang disebut “Lembaga Fatwa”, “Balai Fatwa” atau “Komisi Fatwa”. Dalam lembaga ini para mufti bergabung untuk memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan umat Islam kepada lembaga tersebut.

Dari hasil ijtihad mereka, ada yang disiarkan melalui media massa, ada yang dibukukan,­ kemudian disebarkan kepada masyarakat luas untuk diketahui dan pedoman. Diharapkan bahwa fatwa yang dikeluarkan ini dapat diterima masya­rakat, karena sudah dilakukan oleh sekelompok ulama dengan tingkat keilmuan yang beragam.

Sebagian lembaga fatwa didirikan oleh sekelom­ pok ulama mufti atas inisiatif sendiri mengingat perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, sebagian­ lagi atas kebijakan pemerintah. Di Mesir,­ misalnya, ada balai fatwa yang didirikan pemerintah, ada pula yang didirikan ulama al-Azhar; begitu juga di negara muslim lainnya.

Di Indonesia, sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada 1975 oleh pemerintah­ dan masyarakat,­ fatwa yang dihasilkan­ dan disebarluaskan­ kepada umat Islam di Indonesia adalah hasil ijtihad ulama di lem-baga tersebut melalui suatu komisi yang disebut “Komisi Fatwa”.

Hal yang dapat dipecahkan dengan fatwa oleh mufti ada empat macam:

(1) hukum dalam Islam;

(2) dalil atau argumen tentang hukum;

(3) tujuan dalil tersebut; dan

(4) jawaban dari bantahan. Seorang mufti tidak dibenarkan berfa­twa­ tentang sesuatu yang tidak dikuasainya­ secara ilmiah. Diperlukan­ ketinggian ilmu, kecerdasan, dan kesempurnaan­ dalam memberi nasihat.

Oleh karena itu, seorang mufti boleh meluruskan jawaban orang yang meminta suatu fatwa selama mengandung­ manfaat baginya, sebagaimana juga boleh menga­jukan pertanyaan bagi yang meminta fatwa lebih banyak dari masalah yang sedang terjadi.

Begitu juga seorang mufti, dalam berfatwa tentang sesuatu,­ merupakan pemberi penjelasan tentang sesuatu yang diragukan hukumnya oleh orang yang meminta fatwa, seperti ayat Al-Qur’an yang menjelaskan keraguan orang tentang apa yang diderma­kan dan kepada siapa harta didermakan, maka turun ayat Al-Qur’an tentang itu (QS.2:215).

Mufti berbeda dari kadi. Perbedaannya terletak pada kedudukan mereka dan keputusan yang dihasilkan. Seorang­ kadi atau hakim yang diangkat oleh penguasa menghasilkan keputusan yang mesti dilaksanakan oleh yang berperkara ka­ rena keputusan atau ketetapan hukum itu bersifat memaksa.

Adapun mufti, baik yang ditunjuk penguasa maupun yang tidak ditunjuk, meng­hasil­kan keputusan dari pertanyaan yang diajukan umat Islam untuk dijadikan pedoman tanpa ada paksaan untuk mengikutinya.

Fatwa bisa beru­bah sewaktu-waktu, sesuai dengan perubahan sosial­ dan perkembangan zaman; sedangkan keputusan­ hakim merupakan keputusan mutlak, yang cukup hanya berdasarkan kemampuannya menganalisis­ perkara itu.

Seorang mufti, karena ia seorang mujtahid, harus­ meme­nuhi beberapa syarat, antara lain:

  • mempunyai ilmu yang mendalam tentang Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW serta menguasai hasil ijtihad ulama masa lampau seperti ijmak dan kias;
  • me­nguasai ilmu alat, seperti ilmu qawa‘id (ka­idah), juga ilmu usul fikih, hadis, dan tafsir;
  • serta memahami­ lingkungan seperti perkembangan sosial dan ke­majuan cara berpikir manusia, sehingga hasil­ keputusan dalam bentuk fatwa itu sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada waktu fatwa itu dikeluarkan,­ tanpa menyalahi maksud syarak (hukum Islam) yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunah Rasulullah SAW.

Daftar Pustaka

Ibnu Qayyim, Syamsuddin Abu Abdullah al-Jauziyah ad-Dimasqi. I‘lam al-Muwaqqi‘in. Beirut: Dar al-Jail, t.t.
Ibnu Taimiyah. Majmu‘ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Riyadh: Matba‘ ar-Riyadh, 1398 H/1978 M.
Majelis Ulama Indonesia. Kumpulan Fatwa MUI. Jakarta: Panjimas, 1984.
Syaltut, Mahmud. al-Fatawa. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Yaacob, Abdul Monir. et al. Mufti dan Fatwa di Negara-Negara ASEAN. Kuala Terengganu: Percetakan Yayasan Islam Terengganu, 1998.

Yaswirman