Mubahalah adalah pertemuan khusus antara dua pihak yang berbeda keyakinan atau agama, yang masing-masing berdoa kepada Tuhan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan agar menjatuhkan kutukan kepada pihak yang berdusta dari mereka. Arti asal istilah ini adalah “saling mengutuk”; berasal dari verba bahala yang berarti “mengutuk atau melaknat”.
Dari kata bahala juga berasal kata ibtahala dengan bentuk infinitif ibtihal. Mubahalah oleh beberapa mufasir (ahli tafsir) disinonimkan dengan ibtihal, yang dalam pemakaian umum dimaksudkan sebagai “berdoa dengan ikhlas dan penuh kesungguhan”.
Arti umum ini dipakai meskipun tidak untuk memohon kutukan kepada lawan. Arti “saling mengutuk” pada mubahalah dihubungkan dengan doa yang ditutup dengan ucapan buhlat Allah atau laknat/kutukan Allah SWT atas pendusta.
Dasar hukum mubahalah adalah firman Allah SWT dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 61:
“Siapakah yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang (ilmu meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditim-pakan kepada orang-orang yang berdusta’.”
Mubahalah pernah ditawarkan Nabi Muhammad SAW kepada rombongan rohaniwan Kristen dari Najran, Yaman, pada tahun ke-10 Hijriah. Para rohaniwan Kristen tersebut terkesan akan penghormatan Islam kepada Nabi Isa AS, seperti termaktub dalam ayat Al-Qur’an.
Mereka tidak setuju pada pernyataan Al-Qur’an yang tidak mengakui trinitas dan tidak mengakui Isa sebagai anak Tuhan. Untuk membuktikan mana ajaran yang benar antara Islam dan Kristen mengenai diri Nabi Isa AS, Nabi Muhammad SAW mengajak para rohaniwan Kristen itu untuk mengadakan mubahalah.
Untuk mubahalah ini Nabi Muhammad SAW meminta pihaknya dan pihak Kristen untuk sama-sama mengumpulkan anggota keluarga pria, wanita, dan anak-anak, dan kemudian semua berdoa dengan ikhlas serta sungguh-sungguh agar Tuhan menimpakan kutukan kepada pihak yang dusta. Para rohaniwan itu ragu menjawab tantangan mubahalah dari Nabi SAW dan meminta tenggang waktu untuk memikirkannya.
Seorang pemuka rohaniwan Kristen itu menyarankan kepada rekannya agar jangan menerima ajakan mubahalah itu. Ia yakin bahwa Muhammad SAW adalah nabi utusan Tuhan dan ia pun yakin bahwa kaum yang bermubahalah melawan seorang nabi pasti mengalami kehancuran. Ia ber kata kepada mereka,
“Apabila kalian lakukan mubahalah, kalian pasti binasa. Dan apabila kalian tidak mau bermubahalah namun masih ingin tetap dalam agama Kristen, tinggalkanlah lelaki itu (Nabi Muhammad) dan pulanglah ke negeri kalian.”
Selanjutnya para rohaniwan Kristen ini kembali men datangi Nabi SAW. Pada saat itu Nabi SAW sudah siap sedia untuk ber-mubahalah dengan menggendong cucunya, Husein, dan memegang tangan cucunya yang lain, Hasan. Di belakang Nabi SAW ada putrinya, Fatimah az-Zahra, dan di belakang Fatimah berdiri Ali bin Abi Thalib, menantunya. Nabi SAW berkata kepada para anggota keluarganya agar mengaminkan doa yang akan diucapkannya.
Segera seorang uskup dari Najran meminta rombongannya dan Nabi SAW untuk tidak bermubahalah. Uskup ini menyampaikan kepada rekannya akan keyakinannya bahwa doa Nabi SAW dan anggota keluarganya pasti diterima Tuhan, bahkan walaupun mereka meminta sebuah gunung dilenyapkan dari tempatnya. Ia takut apabila mubahalah dilakukan, tidak akan ada lagi seorang pun penganut Kristen di muka bumi.
Mereka akhirnya sepakat untuk meminta Nabi SAW agar tidak melakukan mubahalah. Karena mereka tidak mau masuk Islam, Nabi SAW bersedia menjalin hubungan damai dengan mereka dengan syarat mereka membayar jizyah (pajak) setiap tahun.
Sehubungan dengan peristiwa tersebut, Nabi SAW menegaskan bahwa seandainya mereka melakukan mubahalah, mereka akan berubah menjadi kera dan babi. Tantangan Nabi SAW kepada rohaniwan Kristen Najran ini secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran (3) ayat 59–63.
Ada versi lain yang menyebutkan bahwa ketika mereka tidak mau bermubahalah, Nabi SAW meminta mereka masuk Islam. Mereka menyatakan tidak mau masuk Islam. Mereka tidak berani berperang melawan Nabi SAW dan pengikutnya karena merasa penduduk Najran tidak akan sanggup berperang menghadapi pasukan Islam.
Akhirnya, Nabi SAW mengemukakan pilihan terakhir bagi mereka, yaitu membayar jizyah setiap tahun sebagai jaminan keamanan dan perlindungan bagi penduduk Najran yang menganut Kristen.
Daftar Pustaka
Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an. Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1989.
Ibnu Kasir. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
an-Nasafi, Abdullah bin Ahmad. Tafsir an-Nasafi. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, t.t.
Rasyid Rida, Muhammad. Tafsir Al-Qur’an al-Hakim. Cairo: Dar al-Manar, 1953.
M. Rusydi Khalid