Mu’az Bin Jabal

Mu‘az bin Jabal adalah seorang sahabat terdekat Rasulullah SAW, muhaddits (ahli hadis), mujahid,­ ahli fikih, mujtahid, dan mufti. Ia berasal dari kaum Ansar dan termasuk kelompok as-Sabiqun al-Awwalun (umat Islam pertama). Ia masuk Islam melalui Mus‘ab bin Umair (sahabat Nabi SAW) dan ikut bersumpah setia kepada Aqabah II (setia kepada Khalifah Abu Bakar as-Siddiq) ketika berusia 18 tahun.

Mu‘az bin Jabal menduduki tempat khusus di mata Rasulullah SAW dan para sahabat lainnya. Ia adalah seorang ahli fikih yang sulit dicari tandingannya pada zamannya. Ia adalah satu dari enam orang sahabat yang diberi ke­percayaan memberikan­ fatwa pada masa Rasulullah SAW, di samping Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka‘b (perawi hadis; w. 19 H/640 M), dan Zaid bin Sabit.

Seperti Umar bin Khattab, Mu‘az bin Jabal adalah­ sahabat yang menjunjung tinggi fungsi akal dan berani mengeluarkan pendapat ijtihadnya. Hal ini terlihat dalam dialognya dengan Nabi Muhammad SAW ketika ia akan diutus ke Yaman untuk mengajarkan agama di sana. Rasulullah SAW bertanya,

“Wahai Mu‘az, bagaimana atau dengan apakah kamu akan meme­cahkan persoalan agama?” Mu‘az men­ jawab, “Aku akan merujuk kepada Kitab Allah.” Lebih lanjut Rasulullah SAW bertanya, “Andaikan kamu tidak mendapatkan jawabannya dalam Kitab Allah?” Mu‘az menjawab, “Aku akan mencari jawabannya­ di dalam Sunah Rasul-Nya.” Rasulullah SAW bertanya lagi, “Andaikan kamu juga tidak menemukan jawabannya dalam Sunah Rasul-Nya?” Dengan tegas­ Mu‘az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri.” Mendengar jawaban tersebut, wajah Rasulullah SAW tampak cer-ah seraya berkata, “Segala puji bagi Allah, yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya” (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan ad-Darimi).

Berpegang teguhnya Mu‘az kepada Al-Qur’an dan Sunah tidak berarti tertutup kemungkinan baginya­ untuk mengikuti pendapat akal; akalnya tidak pasif dalam menghadapi­ segala persoalan yang muncul dan memerlukan pemecahan. Ia termasuk tokoh mujtahid pertama dalam dunia Islam. Hadis tersebut di atas selalu dijadikan alasan bagi perlunya ijtihad.

Kedalaman ilmu fikih Mu‘az mendapat pengakuan­ dari Rasulullah SAW, seperti terlihat dalam sabda beliau, “Umat­ ku yang paling tahu soal halal dan haram adalah Mu‘az bin Jabal.” Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Umar, Rasu-lullah SAW berkata, “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang, yaitu Ibnu Mas‘ud, Ubay bin Ka‘b, Mu‘az bin Jabal, dan Salim Maula Abi Huzaifah.”

Mu‘az bin Jabal mendapat banyak pengakuan dan keka­guman dari para sahabat. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, sering sekali meminta pendapat dan sarannya. Suatu ketika, khalifah itu berkata, “Andaikan Mu‘az tidak ada, aku bisa celaka.” Pada waktu lain, ia berkata, “Andaikan­ aku memilih Mu‘az bin Jabal sebagai khalifah dan bila Tuhan ber-tanya kenapa aku memilihnya, niscaya aku akan menjawab, ‘Aku telah mendengar Nabi-Mu berkata,­ Sesungguhnya para ulama akan menghadap Tuhan­ dan Mu‘az bin Jabal berdiri paling depan.’”

Pernyataan serupa ditegaskan Umar tidak lama setelah­ Mu‘az wafat, “Andaikan Mu‘az bin Jabal masih­ hidup dan aku mengangkatnya sebagai khalifah, kemudian aku menghadap ke hadirat Tuhanku dan Ia bertanya, ‘Siapakah yang kamu angkat sebagai pemimpin umat Muhammad?’ Aku akan menjawab,­ ‘Aku pilih Mu‘az untuk memimpin mereka, setelah aku mendengar Nabi berkata, Mu‘az bin Jabal adalah imam para ulama di hari kiamat.’”

Mu‘az adalah tempat kaum muslimin mengaju­kan per­ tanyaan apabila mereka menemui masalah yang belum jelas. Abu Idris al-Khaulani (perawi hadis; 8 H/630 M–80 H/700 M) bercerita,

“Pada suatu ketika aku masuk ke masjid Damsyiq (Damascus), aku melihat­ seorang pemuda berkulit putih, wajahnya berseri-seri, giginya putih mengkilat, dan kedua matanya­ hitam tajam; di sekelilingnya berkum-pul orang banyak, apabila mereka berselisih pendapat tentang sesuatu, maka mereka segera minta penjelasan darinya­ dan menerima pendapatnya. Lalu aku bertanya­ kepada mereka, ‘Siapakah gerangan pemuda itu?’ Mereka menjawab,­ ‘Dia adalah Mu‘az bin Jabal.’”

Di samping ikhlas dalam menyebarkan dan meng­ajarkan agama, Mu‘az juga terlibat dalam perjuangan fisik bersama Rasulullah SAW. Mu‘az mengikuti­ beberapa peperangan, seperti Perang *Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq.

Keberangkatan Mu‘az ke Yaman merupakan perpisahan untuk selama-lamanya dengan Rasulullah­ SAW yang ia cintai. Dalam pertemuan terakhir sebelum ia berangkat ke Yaman (Rabiulakhir 9), Rasulullah SAW berkata kepadanya,

“Wahai Mu‘az, kemungkinan besar kamu tidak akan ber-temu denganku­ lagi setelah 2 tahun ini, mungkin nanti kamu­ hanya akan melewati masjid dan kuburanku­.”

Mendengar perkataan itu, Mu‘az menangis sedih dan kaum muslimin di sekelilingnya pun menangis­ terharu. Memang benar apa yang diucapkan Rasulullah­ SAW, Mu‘az tidak bertemu dengannya lagi. Rasulullah SAW wafat ketika Mu‘az sedang berada di Yaman.

Mu‘az bin Jabal menjalani kehidupannya penuh pengab­ dian kepada Allah SWT dan Rasul-Nya sampai akhir hayatnya. Ia meninggal pada masa Umar bin Khattab, 8 tahun setelah Rasulullah­ SAW wafat, dalam usia relatif muda, yakni 36 tahun.

Daftar Pustaka

al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl bin Hajar. al-IœÎbah fÓ TamyÓz as-sahabah. Beirut: t.p., 1978.
–––––––. Tahdzib at-Tahdzib. Hyderabad: Majlis Da’irah al-Ma‘arif Nizamiyah al-Ka’inah fi al-Hind, 1327 H/1909 M.
Khalid, Khalid Muhammad. Rijal Haul ar-Rasul. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Luknawi al-Hindi. ar-Raf‘ wa at-Takmil fi al-Jarh wa at-Ta‘dil. Aleppo: Makta­bah al-Matba‘ah al-Islamiyyah, t.t.
Nasr, Muhammad Ibrahim. Mu‘az bin Jabal Imam al-‘Ulama’. Riyadh: Dar al-Liwa, t.t.

SURYAN A. JAMRAH