Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain, baik seseorang itu pribadi maupun badan hukum, seperti perseroan, firma, yayasan, dan negara. Badan hukum ini dalam hukum Islam dikenal dengan nama “asy-Syakhœiyyah al-I‘tibÎriyyah”. Contoh dari hukum Islam yang berhubungan dengan muamalah ini adalah jual beli, sewa-menyewa, dan perserikatan.
Pada awal munculnya, bidang bahasan fikih (ahli fikih) dibagi oleh fukaha dalam tiga bagian besar, yaitu akidah, ibadah, dan muamalah. Akidah mengandung kepercayaan kepada Allah SWT, rasul, malaikat, hari kiamat, dan sebagainya yang berhubungan dengan keimanan.
Bidang ibadah mengandung permasalahan yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Adapun bidang muamalah adalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesamanya dalam masyarakat.
Dalam bidang muamalah ini pada mulanya juga tercakup permasalahan keluarga, seperti perkawinan dan perceraian. Akan tetapi setelah terjadi disintegrasi di dunia Islam, khususnya di zaman Kerajaan Usmani Turki (Ottoman), terjadilah perkembangan pembagian fikih baru.
Cakupan bidang muamalah dipersempit, sehingga masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga tidak masuk lagi dalam pengertian muamalah. Hukum keluarga dan segala yang terkait dengannya dinamai al-ahwal asy-syakhœiyyah (masalah pribadi).
Muamalah sendiri tinggal mengatur permasalahan yang menyangkut hubungan seseorang dengan seseorang lainnya dalam bidang ekonomi (seperti jual beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam). Fikih muamalah dalam perkembangan selanjutnya disebut juga fiqh al-mu‘awadah.
Pembagian fikih tersebut dikemukakan Mustafa az-Zarqa (ahli fikh dari Yordania) sebagai berikut:
(1) hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT (disebut ibadah);
(2) hukum yang mengatur permasalahan keluarga (disebut al-ahwal asy-syakhsiyyah;
(3) hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang menyangkut harta dan hak serta penyelesaian kasus di antara mereka (disebut muamalah);
(4) hukum yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah dengan rakyat dan sebaliknya, yaitu hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah (disebut al-ahkam as-sulthaniyyah atau oleh sebagian lain disebut as-siyasah asysyar‘iyyah);
(5) hukum yang berkaitan dengan permasalahan pelanggaran atau kejahatan (disebut al-‘uqubah atau jinayah);
(6) hukum yang berkaitan dengan hubungan negara Islam dengan negara lainnya (disebut al-huquq ad-dauliyyah); dan
(7) hukum yang berkaitan dengan akhlak, sikap, dan tingkah laku manusia terhadap dirinya dan orang lain (disebut adab).
Dari gambaran di atas terlihat bahwa muamalah tersebut hanya menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dan seseorang yang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan hukum yang satu dan badan hukum yang lain.
Dalam fikih muamalah, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Misalnya, pelaksanaan hak tersebut tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain. Setiap orang yang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, akan diminta pertanggungjawabannya, sekalipun tidak sengaja. Dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang ditetapkan syarak.
Pertama, setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi itu sendiri, kecuali transaksi yang jelas melanggar aturan syariat. Prinsip ini sesuai dengan surah al-Ma’idah (5) ayat 1 yang memerintahkan orang mukmin supaya memenuhi janjinya apabila mereka berjanji.
Kedua, syarat transaksi itu dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, selama tidak bertentangan dengan peraturan syariat dan adab sopan-santun.
Ketiga, setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
Keempat, syari‘ (pembuat hukum) mewajibkan agar setiap perencanaan transaksi dan pelaksanaannya didasarkan atas niat yang baik, sehingga segala bentuk penipuan, kecurangan, dan penyelewengan dapat dihindari. Bagi yang tertipu atau dicurangi diberi hak khiar (kebebasan memilih untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi tersebut).
Kelima, penentuan hak yang muncul dari suatu transaksi diberikan oleh syarak pada ‘urf atau adat untuk menentukan kriteria dan batasannya. Artinya, peranan ‘urf atau adat kebiasaan dalam bidang transaksi sangat menentukan, selama syarak tidak menentukan lain.
Oleh sebab itu ada juga yang mendefinisikan muamalah tersebut sebagai hukum syarak yang berkaitan dengan masalah keduniaan, seperti jual beli, pinjam-meminjam, dan sewa-menyewa.
Daftar Pustaka
al-Buqa, Mustafa. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Dar al-Mustaqbal, 1982.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Beirut: Mu’assasah Nasir li as-Saqafah, t.t.
Ibrahim, Ahmad Ibrahim. al-Mu‘amalah asy-Syar‘iyyah al-Maliyyah. Cairo: Dar an-Nasr, 1355 H/1936 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Mu’assasah al-Wahdah, 1982.
az-Zarqa’, Mustafa Ahmad. al-Madkhal ila al-Fiqh al-‘Am: al-Fiqh al-Islami fi Taubih al-Jadid. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.
–––––––. al-‘Uqud al-Musammah: ‘Aqd al-Bai‘ wa al-Muqayadah. Damascus: Fata al-‘Arab, 1965.
Nasrun Haroen