Orang yang diambil perhatiannya agar masuk Islam atau memperkuat keislamannya disebut mualaf. Kata mu’allaf hanya disebut satu kali dalam Al-Qur’an surah at-Taubah (9) ayat 60, yaitu al-mu’allafat qulubuhum (orang yang dijinakkan hatinya), ketika Allah SWT menerangkan delapan golongan penerima zakat.
Secara populer dalam masyarakat Indonesia, istilah “mualaf” biasanya dipahami sebagai “orang yang baru masuk Islam” atau “orang yang memiliki pengetahuan minimal tentang Islam”. Dalam membahas mualaf, ulama fikih selalu mengaitkannya dengan pembahasan mengenai zakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa pembahasan mualaf dalam fikih merupakan sub-bahasan dalam bab zakat.
Menurut Muhammad Rasyid Rida (1866– 1936), ulama pembaru Mesir, mualaf adalah sekelompok orang yang hatinya hendak ditaklukkan agar mempunyai kecenderungan atau ketetapan terhadap Islam, atau agar munculnya bahaya dari orang tersebut terhadap kaum muslimin dapat dicegah, atau dari orang tersebut diharapkan manfaat dalam mempertahankan dan menolong kaum muslim dari musuh, tidak dalam kaitannya dengan hubungan bisnis dan industrial atau sejenisnya.
Pengertian ini selain menjelaskan tujuan pemberian zakat terhadap mualaf, juga menegaskan bahwa kelompok mualaf tidak saja harus terdiri dari orang Islam, namun juga meliputi orang nonmuslim.
Ada enam kelompok yang masuk dalam kategori mualaf, menurut Rasyid Rida. Dua dari golongan non-muslim dan empat dari golongan muslim:
(1) Kelompok umat dan pemimpin Islam yang mempunyai lawan (nuzara’) nonmuslim. Pemberian zakat terhadap kelompok nonmuslim ini diharapkan akan membuat mereka masuk Islam.
(2) Pemimpin Islam yang ditaati, namun masih lemah imannya. Pemberian zakat terhadap kelompok ini diharapkan akan meneguhkan dan menguatkan imannya dan mendorongnya untuk berbuat jihad dan kebaikan lainnya.
(3) Orang Islam yang menjaga benteng dan perbatasan negeri Islam dengan musuh. Zakat diberikan untuk memotivasi mereka dalam melindungi kaum muslim dari serangan musuh.
(4) Orang Islam yang dibutuhkan untuk menarik retribusi zakat dari orang yang tidak mau membayarnya kecuali hanya melalui kekuasaan dan pengaruh orang ini. Keberadaan orang ini dibutuhkan agar tidak terjadi hukuman pembunuhan terhadap orang yang tidak mau membayar zakat, dan dengannya terciptalah kemaslahatan dan dapat ditemukan akhaffu ad-dararain.
(5) Orang nonmuslim yang diharapkan masuk Islam.
(6) Orang nonmuslim yang dikhawatirkan akan mengganggu Islam. Pemberian zakat kepadanya diharapkan dapat menghindari bahaya darinya atau dari para pengikutnya.
Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang eksistensi mualaf hingga kini dalam kaitannya sebagai kelompok penerima zakat. Menurut sebagian ulama, seperti Imam *Syafi‘i (767–820) dan Imam Malik (712–796) bagian mualaf telah hilang bersamaan dengan kejayaan Islam yang telah diberikan Allah SWT.
Dalil yang memperkuat argumen ini adalah ijtihad Umar bin Khattab (khalifah pertama dari al-Khulafa’ ar-Rasyidun; 581–644) ketika menolak memberikan bagian zakat kepada Uyainah bin Hisn dan Aqra’ bin Habis meskipun keduanya telah mendapat nota persetujuan dari Abu Bakar as-Siddiq (khalifah kedua dari al-Khulafa’ ar-Rasyidun; 573–634).
Menurut Umar, pemberian zakat kepada mereka pada masa Nabi Muhammad SAW dimaksudkan untuk menundukkan hati mereka. Namun, pada masa sekarang Islam telah berkembang dan tidak lagi memerlukan para mualaf. Jika mereka ingin masuk dan memeluk agama Islam, kaum muslim akan menerima mereka dengan baik. Tetapi jika tidak, mereka akan diperangi, demikian menurut Umar.
Pandangan Umar tersebut tidak dibantah para sahabat, bahkan Usman bin Affan (khalifah ketiga dari al-Khulafa’ ar-Rasyidun; 576–656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat dari al-Khulafa’ ar-Rasyidun; 603–661) ketika memerintah setelahnya, tetap mengikuti pendapat Umar dengan tidak memberikan zakat kepada mualaf. Hal ini dipandang sebagai ijmak menurut sebagian kalangan yang berpandangan bahwa bagian mualaf telah dihapus (mansukh).
Adapun menurut sebagian ulama lain, seperti Ahmad bin Hanbal, Imam az-Zuhri, dan Ibnu Hazm, hukum bagian mualaf dalam zakat tetap ada dan tidak hilang (mansukh) karena:
(1) nas hanya ada pada masa turunnya Al-Qur’an;
(2) ilat adanya bagian mualaf ada pada sifat taklif al-qulub, bukan pada kejayaan Islam (‘izz al-Islam); dan
(3) apa yang dilakukan Umar bersifat ijtihadiyyah. Karenanya, adalah sah seorang pemimpin membuat ijtihad lain dari yang diyakini Umar. Seorang pemimpin dapat melakukan ijtihad sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada masanya. Itba‘ yang dilakukan Usman dan Ali terhadap putusan Umar mungkin didasari pada perasaan kejayaan Islam yang pada masa selanjutnya bisa jadi tidak relevan lagi.
Menjembatani dua pandangan tadi, Ibnu Arabi (sufi besar; 1165–1240) mengatakan bahwa jika memang Islam sudah dipandang kuat dan tidak membutuhkan mualaf, maka bagiannya dihilangkan. Namun jika keberadaannya dipandang perlu, maka mualaf dapat diberikan.
Karena itulah, menurut Ibnu Arabi kedelapan golongan (asnaf Tsamaniyah) tidak dapat dikatakan mustahiqq, tetapi posisi (mahall). Jika disebut mustahiqq, maka kedudukan masing-masing tidak dapat diganti oleh yang lain, karena ia berdiri sendiri.
Dengan demikian kedelapan golongan tersebut harus diberi zakat secara proporsional. Jika ia mahall, maka satu posisi dapat menduduki urutan lain jika ada yang dihilangkan.
Daftar Pustaka
Ibnu Arabi. Ahkam Al-Qur’an. Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
asy-Syaukani. Nail al-Auathar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari‘ah wa al-Manhaj. Damascus: Dar al-Fikr, 1991.
Ahmadie Thaha