Modernisme merupakan term yang berdiri secara diametral dengan istilah keterbelakangan, eksklusivitas, kemiskinan, dan segala atribut masyarakat tradisional. Modernisme dan tradisionalisme menjadi dua kata asimetris.
Modernisme diyakini sebagai paradigma yang bisa mengubah keterbelakangan menjadi kemajuan. Salah satu upaya untuk mencapai kemajuan adalah melalui proses modernisasi (pembangunan) di segala bidang kehidupan.
Istilah pembangunan yang mengacu kepada modernisasi, kemajuan teknologi, maupun pertumbuhan ekonomi sebenarnya telah berlangsung di Barat sejak abad ke-17. Istilah ini muncul seiring dengan berlangsungnya proses industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, dan sekularisasi di negara maju.
Pada abad tersebut di Inggris telah berdiri British Royal Society, dan di Perancis berdiri French Academy of Sciences. Selain itu, lembaga yang didanai negara untuk meningkatkan pengembangan ekonomi juga tumbuh subur. Di Inggris berdiri bank sentral nasional pertama, yakni Bank Inggris.
Pada abad yang sama, Belanda membangun proyek irigasi dan reklamasi tanah yang ambisius. Tanggul, pintu air, selokan, dan kincir angin terlihat di mana-mana. Danau di Semenanjung Amsterdam dipompa dan direklamasi. Dalam perkembangannya, Belanda menjadi inspirasi yang sangat penting bagi para pemuja modernisme dalam memandang alam.
Secara historis, revolusi yang terjadi di Eropa merupakan momen yang sangat signifikan bagi merambahnya moderni sasi. Paling tidak ada dua dampak yang sangat kuat dari dua revolusi, yaitu Revolusi Industri dan Revolusi Perancis.
Kedua revolusi tersebut tidak sekadar menghancurkan nilai-nilai lama yang kemudian diidentifikasi sebagai tradisionalisme, tetapi juga melahirkan acuan baru bagi kehidupan manusia yang menghendaki modernisasi. Revolusi Industri telah menciptakan dasar ekspansi ekonomi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Revolusi ini mengajarkan cara produksi baru yang lebih efisien dan pada akhirnya berdampak pada produktivitas dan perluasan pasar. Sementara Revolusi Perancis meletakkan aturan main pembangunan politik yang berdasarkan pada keadilan, kebebasan, dan demokrasi.
Di samping itu, perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada abad ke-17 telah memberikan satu pemahaman bahwa umat manusia dapat mengubah alam secara sistematis, reguler, dan immanen untuk kepentingan umat manusia.
Walt Whitman Rostow, ekonom Amerika, memahami modernisasi lebih pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara immanen (terus-menerus), dinamis, dan sistematis pada sistem produksi barang dan jasa. Modernisme merupakan sebuah keharusan bagi terciptanya babak baru bagi sebuah negara atau bangsa untuk menjadi maju atau modern.
Sebagai sebuah kerangka teori, modernisasi memiliki beberapa ciri.
Pertama, modernisasi merupakan proses yang bertahap yang mendorong perubahan masyarakat dari primitif, sederhana, menjadi maju.
Kedua, modernisasi merupakan proses homogenisasi atau uniformisme. Modernisasi akan mengarahkan masyarakat pada penyeragaman model perilaku dan sikap hidup sesuai dengan nilai yang dicapai oleh negara maju.
Ketiga, karena modernisasi lahir di Eropa dan Amerika, maka modernisasi sama dengan eropanisasi dan amerikanisasi. Keempat, modernisasi merupakan gerakan linear ke depan dan tidak surut. Sebab itu, negara Dunia Ketiga tidak bisa mengelak dari proses modernisasi ini karena merupakan jawaban yang paling tepat untuk mencapai kemajuan.
Kelima, modernisasi, di samping sebagai proses yang pasti terjadi, juga merupakan proses perubahan yang dikehendaki, diperlukan, dan diinginkan umat manusia.
Keenam, modernisasi merupakan proses yang evolusioner bukan revolusioner, yang memerlukan waktu panjang untuk sampai pada tatanan masyarakat modern.
Proses modernisasi dengan segala cirinya tersebut menawarkan banyak kemudahan bagi kelangsungan hidup umat manusia; bahkan dalam perkembangannya, diyakini sebagai paradigma baru yang dapat membebaskan negara dari keterbelakangan. Sejak abad ke-19 modernisme telah mengkristal menjadi sebuah keyakinan bahkan ideologi.
Louis Dumont, antropolog dari Perancis, melukiskan bahwa landasan ideologi modern akan terealisasi ketika relasi antara manusia dan barang mencapai puncaknya, sementara hubungan antarmanusia berkurang.
Gunnar Myrdal, pemenang hadiah Nobel bidang ekoÂnomi (1974), memperlihatkan bahwa nilai modernisasi telah berakar sejak masa pencerahan yang berlangsung di dunia Barat. Nilai itu berbentuk obsesi untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencapai produksi materiil secara maksimal demi kepentingan umat manusia.
Selain itu, modernisasi mengandung hasrat besar untuk merekonstruksi institusi dan mentransformasi nilai budaya tradisional yang identik dengan sikap boros, semrawut, malas, dan irasional, menjadi budaya modern yang ditandai oleh sikap efisien, hemat, etos kerja tinggi, dan bersikap rasional serta profesional dalam membuat kebijakan.
Seorang filsuf modernisme terkenal, René Descartes (1596–1650), melalui karya monomentalnya, Discourse on Method (Discours de la Methode), berusaha mencari metode yang benar dalam menemukan pengetahuan mengenai segala sesuatu secara rasional.
Dari sini kemudian tercetus asumsi bahwa manusia dapat menguraikan empat langkah sekaligus, yaitu abstraksi, analisis, sintesis, dan kontrol. Keempat langkah ini memperlihatkan bahwa proses pengetahuan tidak sekadar untuk memperoleh pengetahuan dengan penemuan alat teknologi canggih untuk mencapai kemakmuran, tetapi juga kontrol atau kekuasaan yang dikendalikan oleh umat manusia untuk kepentingannya sendiri.
Metode ini dengan sendirinya akan mengantarkan manusia sebagai penguasa atas alam atau –dalam istilah Francis Bacon (1561–1626)– menjadikan manusia kaisar atas alam. Pemikiran Descartes yang cukup mengagumkan ini menjadi landasan epistemologis dan metafisik atas tersebarnya modernisme dan menguatnya proyek modernisasi.
Alam hanya sekadar ruang yang ditempati objek yang menunggu rekayasa dan merupakan bahan yang siap untuk diolah sesuai keperluan manusia yang mampu berpikir.
Kemampuan berpikir merupakan prasyarat yang di tekankan di dalam modernisme. Di dalam struktur kehidupÂan sosial ada stratifikasi antara mereka yang cerdas atau memiliki kemampuan berpikir dan mereka yang tidak.
Inilah yang pada abad ke-20 menjadi agenda utama negara di dunia untuk mengejar kemajuan dengan meningkatkan daya taraf berpikir masyarakatnya. Semua itu diarahkan bagi terciptanya superioritas manusia atas alam sebagai sumber komoditas yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.
Modernisme meyakini bahwa alam sudah ditentukan dan tidak akan pernah habis untuk diproses sesuai dengan kepentingan umat manusia. Alam juga bisa dibentuk menjadi apa saja sesuka manusia. Yang tidak bisa dilakukan atas alam hanya satu, yaitu perluasan, karena alam telah memiliki kadarnya sendiri.
Francis Bacon yang sering dianggap sebagai penjelas atas metafisika modernitas Descartes menyebutkan adanya tahapan yang bersifat pasti. Dia menganggap bahwa dengan diferensiasi kerja dan spesialisasi, kemampuan atau keterampilan seseorang akan terlihat.
Pengetahuan, seperti halnya mata uang, bisa dijadikan alat transaksi untuk mendapatkan sebuah komoditi. Ia menjadi modal untuk memenuhi kebutuhan hidup umat manusia. Obsesi modernisme ini telah memacu bangsa-bangsa di dunia untuk melangsungkan proyek modernisasi. Modernisme merupakan sebuah wadah yang dapat mempertemukan pengetahuan dan kekuasaan.
Orang memandang bahwa nilai pengetahuan itu ada pada nilai gunanya, sehingga kebenaran dianggap terletak pada kegunaan. Walaupun secara historis sudah mulai pada abad ke-17, modernisme sebagai proses transformasi sosial dan ekonomi dalam konteks global baru berlangsung pada 2 abad terakhir, yaitu abad ke-19 dan ke-20.
Perwujudan modernisasi pada abad tersebut tidak hanya terlihat dari menjalarnya jaringan rel kereta api dan bank, tetapi juga ditandai dengan penyelenggaraan pekan raya dunia global pertama kali di Inggris –tepatnya di Istana Kristal– yang disebut sebagai Ekshibisi London Raya.
Atas nama modernisme, kapitalisme dan sosialisme sejak pertengahan abad ke-19 terus berlomba menyebarkan ideologinya untuk mencapai kemajuan yang sama dengan meletakkan manusia sebagai raja yang mempunyai kepen tingan dan obsesi atas alam.
Ciri lain modernisme adalah rasionalisasi dan birokratiÂÂsasi. Rasionalisasi di sini lebih mengacu pada sikap cermat dan efektif dengan perhitungan instrumental dan kecakapan teknik dalam menjalankan fungsi tertentu pada sebuah sistem.
Bahkan Max Weber (1864–1920), sosiolog, ekonom dan sejarawan dari Jerman, meyakini bahwa hanya dengan rasionalitas, dunia akan menjelma menjadi sebuah kosmos tatanan ekonomi modern yang begitu luas.
Rasionalisasi menawarkan ruang yang tak terhingga bagi kreativitas dan aktivitas umat manusia. Sementara itu, birokratisasi menawarkan kompetisi yang sehat di antara lembaga yang sekaligus –secara tidak langsung– menjadi kontrol di antara mereka.
Secara optimis Walt Whitman Rostow (w. 1916), ahli ekonomi Amerika Serikat, menggambarkan proses modern isme melalui lima tahapan:
Pertama, masyarakat tradisional. Di dalam masyarakat ini kondisi sosial-budaya maupun sosial-ekonomi masih sangat rendah.
Kedua, prakondisi lepas landas. Negara Dunia Ketiga akan menuju prakondisi lepas landas ini ketika tumbuh kelompok usahawan, industri, dan pasar.
Ketiga, dengan pesatnya industrialisasi di berbagai sektor kehidupan, maka negara tersebut sampai pada masa lepas landas.
Keempat, ketika pertumbuhan ekonomi sudah otonom, maka negara tersebut telah sampai pada era kematangan pertumbuhan.
Kelima, kondisi pertumbuhan ekonomi yang sudah matang tersebut akan segera diikuti dengan meluasnya kesempatan kerja, meningkatnya pendapatan nasional, terbentuknya pasar yang tangguh, dan menguatnya konsumsi massa.
Pada tahap kelima inilah sebuah modernisme telah menjelma, yaitu suatu kondisi dengan masyarakat konsumen yang berdaya beli tinggi dan tersedianya pasar domestik yang tangguh.
Sejak abad ke-18 modernisasi dioperasikan dengan cara top down. Para elite negara, yakni pemerintah, berperan sangat penting bagi tersebarnya nilai modernisme. Berbagai kebijakan menyangkut peningkatan budaya masyarakat dan upaya pertumbuhan ekonomi menjadi target utama negara berkembang untuk mencapai tahap modern.
Alex Inkeles, sosiolog Amerika Serikat, memberikan enam karakteristik manusia modern:
(1) terbuka dan berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang baru,
(2) meÂmiliki sikap independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional,
(3) percaya terhadap kemampuan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menundukkan alam,
(4) memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi,
(5) merenÂcanakan setiap langkah yang akan diambil dalam jangka waktu jauh ke depan, dan
(6) berpartisipasi aktif di berbagai kegiatan sosial, termasuk di dalam politik.
Modernisme sebagai sebuah paham yang menekankan rasionalitas bukan hal yang baru dalam Islam. Dalam sejarahnya, proses rasionalisasi terhadap ajaran Islam berjaÂlan seiring dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, khususnya pada masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Terjadinya perdebatan di bidang ilmu kalam pada abad ke-2 H (ke-8 M), yang kemudian memunculkan aliran di bidang teologi Islam, menunjukkan adanya wacana interpretasi rasional terhadap persoalan ketuhanan.
Bahkan dalam perkembangannya, penafsiran terhadap ajaran Islam merupakan bagian dari pengaruh modernitas, paling tidak merupakan jawaban atas tantangan modernitas.
Secara garis besar, modernisme yang lahir pada abad ke-18 di dunia Barat telah memunculkan dua sikap di kalangan umat Islam:
(1) kelompok yang menerima modernisme sebagai upaya rasionalisasi terhadap ajaran Islam bahkan sebagian menerima modernisasi sebagai westernÂisme,
(2) kelompok fundamentalisme atau revivalisme yang menolak modernisme karena menganggapnya sebagai bentuk ekspansionisme Barat yang merusak ajaran Islam.
Sebagai reaksi atas modernisme, keberadaan kedua kelompok ini akan terus hadir dalam lintasan sejarah umat Islam mengiringi perjalanan modernisme itu sendiri.
Secara historis, modernisme mulai mempengaruhi waÂcana dan gerakan Islam sejak akhir abad 19 melalui tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida.
Penyebaran modernisme Islam ke Indonesia, mendorong munculnya Muhammadiyah (1912) dan organisasi modernis lainnya. Pada pihak lain terdapat tradisionalisme Islam, yang sejak 1926 mengkonsolidasikan diri dalam Nahdlatul Ulama dan organisasi lain.
Daftar Pustaka
Arendt, H.W. Economic Development: The History and Idea. Chicago: University of Chicago Press, 1987.
Black, Cyril E., ed. Comparative Modernization: A Reader. New York: The Free Press, 1976.
Bury, J.B. The Idea of Progress: An Inquiry into its Origin and Growth. New York: Dover Publication, 1932.
North, Douglas C. dan Robert Paul Thomas. The Rise of the Western World: A New Economic History. Cambridge, England: Cambridge University Press, 1973.
Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka, 1984.
–––––––. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual. Bandung: Pustaka, 1985.
Rosenberg, Nathan dan L.E. Birdzell, Jr. How the West Grew Rich: A New Economic Transformation of The Industrial World. New York: Basic Books, 1986.
Rostow, Walt Whitman. How it All Began: Origins of the Modern Economy. New York: McGraw-Hill Book Company, 1975.
A Bakir Ihsan