Moro National Liberation Front

MNLF

Moro National Liberation Front (Front Pembebasan Nasional Moro) adalah nama organisasi perjuangan muslim Filipina yang ingin membebaskan wilayah Mindanao, Filipina Selatan, dari pemerintah Filipina.

Front pembebasan­ ini terbentuk pada tahun 1969 oleh sekelompok­ intelek­tual­ muda muslim Filipina. Struktur organisasi­nya­ terdiri atas 13 anggota komite pusat yang mewakili­ seluruh suku bangsa muslim Filipina.

Penduduk muslim merupakan komunitas keagamaan­ terbesar kedua di Filipina setelah penduduk Kristen Katolik. Penduduk muslim ini terdiri atas sejumlah suku bangsa, antara lain Manguindanao, Maranao dan Iranun, Tausug, Samal, Yakan, Jama Mapun, kelompok Palawan (terdiri dari Palawani dan Molbog), Kalagan, Kolibugan, dan Sangil.

Mayoritas­ dari mereka menetap di wilayah selatan Filipina, yaitu di Pulau Mindanao dan Kepulauan Sulu. Sekalipun ada perbedaan di antara suku bangsa tersebut –seperti dalam bahasa, tradisi budaya­ serta adat, maupun praktek ajaran keagamaan– masing-masing mengidentifikasi­ diri sebagai bagian dari komunitas pemeluk­ Islam.

Islam menyebar ke Filipina melalui Sulu pada abad ke-14 oleh para dai yang datang dari Kepulau­an Indonesia. Sebenarnya pada abad ke-13 sudah banyak pedagang muslim yang menetap di Sulu karena letak geografisnya strategis.

Filipina menjadi salah satu jalur perdagangan internasional (yang membentang dari Laut Merah hingga Laut Cina) dan dikuasai oleh para pedagang muslim. Penyebaran Islam pun berkembang­ pesat hingga awal abad ke-16 di Filipina­. Pada masa ini penyebaran Islam telah mencapai­ Kepulauan Mindanao, Kepulauan Visayas, bahkan sampai ke Pulau Luzon.

Pada 1565 proses penyebaran Islam mulai menghadapi hambatan dengan masuknya bangsa Spanyol ke Filipina yang bertujuan mempe­roleh koloni baru dan sekaligus menyebarkan agama Kristen Katolik­.

Orang Spanyol inilah yang menyebut­ penduduk muslim Filipina dengan nama “Moro”, sebagaimana mereka menyebut orang dari Afrika Utara (yang pernah berkuasa di Spanyol dari abad ke-8 hingga abad ke-15) yang juga menganut agama Islam. Istilah itu pun masih dipakai­ hingga kini.

Dari penjajahan Spanyol inilah timbul ­konflik keagamaan­ dan politik antara kelom­pok muslim dan Kristen Filipina yang terus berlangsung­ hingga saat ini. Dalam upaya menguasai wilayah Filipina Selatan yang berpen­duduk­ ­ mayoritas muslim, bangsa Spanyol­ melancarkan gerakan kriste­nisasi­ dan memukimkan penduduk Kristen ke wilayah itu.

Akibatnya, komunitas maupun wilayah penduduk Moro pun terus menyusut hingga terbatas pada Kepulauan Sulu dan Pulau Mindanao bagian barat­. Konflik dan proses penyusutan itu berlanjut pada masa Amerika Serikat (AS) menjajah Filipina (1898–1935).

Pada 1935, ketika Pemerintahan Persemakmuran­ Filipina terbentuk sebagai hasil kese­pakatan perjanjian antara AS dan pejuang nasiona­lis Filipina, Manuel Quezon (presiden terpilih 1935–1944) menyatakan­ kepada masyarakat Moro bahwa mereka,­ yakni para sultan dan datuk, tidak lagi memiliki tempat dalam pemerintahan baru ini dan hukum nasional akan diberlakukan kepada setiap warga­ negara tanpa melihat agamanya.

Pernyataan Quezon itu menim­bulkan reaksi keras dari masyarakat­ Moro yang selalu menganggap diri mereka sebagai bangsa yang berdiri sendiri, terlepas dari Filipina. Kemudian sekitar seratus lebih datuk dari suku bangsa Maranao mengirim surat kepada presiden AS, Franklin Delano Roosevelt.

Mereka menyatakan­ ingin dipisahkan­ dari pemerintahan persemakmuran­ tersebut dan lebih memilih berada di bawah perlindungan AS sampai mereka mampu membentuk pemerintahan sendiri.

Namun hingga Filipina memperoleh kemerde­kaan dari AS pada 4 Juli 1946, tuntutan bangsa Moro untuk berdiri sendiri sebagai sebuah negara tidak terwujud. Bahkan sikap pemerintah Filipina yang mendiskriminasikan bangsa Moro semakin nyata.

Antara tahun 1950-an dan 1960-an peme­rintah Filipina menerapkan program pengembang­an­ dan integrasi nasional. Program itu mengakibat­kan membanjirnya­ kaum Kristen ke wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim.

Program tersebut dinilai oleh penduduk muslim sebagai upaya pemerintah­ untuk menghancurkan komunitas muslim Filipina. Selain itu, mereka merasa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah­ tidak pernah mencapai daerahnya.

Sikap dan tindakan pemerintah Filipina tersebut mendorong kaum Moro untuk membentuk gerakan yang terorganisasi. Salah satu di antaranya adalah gerakan yang dibentuk oleh sekelompok­ intelektual muda muslim pada 1969, yang disebut MNLF, dengan tujuan menuntut kemerdekaan wilayah Mindanao dari pemerintah­ Filipina. Perjuangan MNLF ini mendapat dukungan­ dana dan persenjataan dari negara Islam lainnya, seperti­ dari Libya dan Malaysia.

Perjuangan MNLF mulai menonjol setelah Pre­siden Ferdinand Marcos memberlakukan hukum keadaan darurat pada 21 September 1972 yang diikuti dengan upaya militer, yakni pelucutan persenjataan kaum Moro. Akibatnya, konflik pun semakin­ meningkat antara pihak Moro dan pemerintah­ antara 1973–1976.

Pada 1974 komite pusat MNLF mengeluarkan manifesto yang me­nuntut berdirinya Repub­lik Bangsa Moro independen,­ yang wilayahnya terdiri atas Pulau Mindanao, Pulau Basilan, Kepulauan Sulu, dan Pulau Palawan.

Namun tuntut­an tersebut kemudian di­turunkan hingga hanya menjadi otonomi politik, dan luas wilayah yang diminta­ pun diperkecil menjadi 13 propinsi dan 11 kota. Perubahan tuntutan itu terjadi setelah diada­kan perundingan antara MNLF dan pemerintah Filipina di Jiddah, Arab Saudi, pada 1975.

Pada 23 Desember 1976 perundingan antarkedua­ pihak diadakan kembali. Perjanjian yang dikenal dengan nama Tripoli Agreement­ (Perjanjian Tripoli) ini berisi kesepakatan untuk memberikan kepada kaum Moro otonomi 13 propinsi di Mindanao, yaitu Propinsi Lanao del Norte, Lanao del Sur, North Cotabato, South Cotabato, Zamboanga del Norte, Zamboanga del Sur, Manguindanao, Sultan Kudarat, Davao del Sur, Sulu, Tawi-Tawi, Basilan, dan Palawan. Akan tetapi pelaksa­naan perjanjian tersebut hingga masa pemerintahan Presiden Fidel V. Ramos (sejak 1992) belum terwujud sepenuhnya­.

Aksi pemberontakan­ MNLF pun masih berlanjut,­ demikian juga upaya diplomatik dari negara muslim yang mendesak pemerintah Filipina memenuhi tuntutan MNLF.

Pada 1977 MNLF mengalami perpecahan­. Faktor penyebab perpecahan­ itu antara lain adalah adanya fanatisme kesukuan antarkaum Moro sendiri dan ambisi pribadi untuk saling merebut­ pengaruh di kalangan­ pemimpinnya. Perpecahan­ ini menimbulkan organisasi­ baru, yaitu:

(1) Moro Islamic Liberation Front (MILF; Front Pembebas­an Islam Moro) di bawah pimpinan­ Hashim Salamat, yang berasal­ dari suku Manguindanao dan bercita-cita mendirikan­ negara Islam;

(2) Moro National Liberation Front-Reformist Group (MNLF-RG; Front Pembebasan Nasional Moro Kelompok Reformis), yang dibentuk oleh Dimas Pundato dari suku Maranao; dan

(3) Bangsa Moro Liberation­ Organization (BMLO; Organisasi­ Pembebasan Bangsa Moro), yang bercita-cita untuk berdamai dengan pemerintah­ pusat dan mengintegrasikan­ Moro dengan Filipina. Jumlah pendukung dua organisasi terakhir ini tidak banyak.

Dari perjuangan yang telah dicapai MNLF, ada sejumlah tuntutan yang sudah dipenuhi pada masa pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos (1965–1986) dan Presiden Corazon Aquino (1986–1992), antara lain diakuinya­ budaya Islam dan bangsa Moro, dibentuknya­ peradil­an berdasarkan sya­riat, dan diberikannya­ otonomi­ wilayah,­ kendatipun masih secara­ terbatas.

Sejumlah pemim­pin­ tertinggi MNLF memper­oleh­ kedudukan politik­ dalam­ pemerintahan dan peluang­ ekonomi yang lebih besar. Pada masa pemerintahan­ Fidel V. Ramos bebe­rapa tuntutan juga dise­pakati setelah me­lalui serangkaian perundingan.

Pada April 1993 pe­rundingan antara MNLF dan pemerintah Filipina dilang­sungkan­ di Jakarta dengan pemerintah­ Indonesia sebagai mediator. Perundingan­ yang disaksikan­ oleh pejabat OKI (Orga­nisasi Konferensi Islam) itu menyepakati penyelesaian masalah kedua pihak melalui perundingan dan akan mengimplementasikan Perundingan Tripoli yang pernah mereka lakukan pada 1976.

Perundingan selanjutnya dilakukan di kota Zamboanga, Filipina Selatan, pada April 1994. Perundingan ini hampir gagal karena kedua pihak yang bertikai dan tidak se­pakat mengenai jumlah pengawal­ yang akan menjaga Nur Misuari pemimpin MNLF ketika itu.

Akhirnya,­ perundingan berhasil dilangsungkan­ dan menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain bahwa 60% pendapatan dari pajak daerah akan masuk ke kas daerah otonomi dan sisanya ke kas pusat.

Serangkaian perundingan kemudian diadakan di Jakarta sejak Oktober 1993. Indonesia memainkan peran penting dalam perundingan itu sebagai fasilitator. Pada November 1995 diadakan perun­dingan selanjutnya di Jakarta.

Dalam perundingan ini pihak MNLF diwakili Nur Misuari, sementara pemerintah Filipina diwakili Manuel T. Yan (duta besar Filipina untuk Indonesia). Menlu RI Ali Alatas mewakili pemerintah Indonesia sebagai fasilitator. Perundingan ini berakhir dengan penandatanganan­ kesepakatan sementara.

Kesepakatan yang dicapai meliputi pem­bangunan dalam berbagai bidang seperti: pendidikan, ekonomi dan sistem keuangan, pertambangan dan mineral, sistem administrasi, perwakilan dalam pemerintah­ nasional, dewan eksekutif dan majelis legislatif, serta peradilan dan penerapan hukum syariah (hukum Islam).

Kedua pi­hak juga sepakat mengenai bentuk dan struktur peme­rintahan oto­nomi serta rencana penggabungan pasukan MNLF ke dalam Tentara Republik Filipina. Namun mereka belum sepakat tentang implementasi dan mekanisme kesepakatan ini.

Setelah bertahun-tahun terjadi konflik, Presiden Fidel Ramos dan Misuari menyetujui kesepakatan damai pada 1996. Pada tahun yang sama, Misuari juga terpilih menjadi gubernur daerah otonom.

Namun konflik antara MNLF dan pemerintah Filipina tetap saja berkepanjangan hingga abad ke-21. Selama 3 dekade terakhir abad ke-20, konflik antara kelompok geriliyawan Moro dan pemerintah telah memakan korban tewas sekitar 100.000 orang.

Daftar Pustaka

Abubakar, Carmen. “Islam in the Philippines: The Moro Problems.” Ashgar Ali Engineer, ed. Islam in Asia. Lahore: Vanguard, 39–74, 1986.
Adib Majul, Cesar. Moro Pejuang Muslim Pilipina Selatan. Jakarta: al-Hilal, 1987.
George, T.J.S. Revolt in Mindanao: The Rise of Islam in Philippines Politics. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1980.
Gowing, Peter. Muslim Philipinos: Heritage and Horizon. Quezon City: New Day Publisher, 1980.
Horowitz, L. Donald. Ethnic Group in Conflict. California: University of California Press, 1985.
Lacar, Luis Q. “Neglected Dimensions in the Development of Muslim Mindanao and the Continuing Struggle of the Moro People for Self-Determination.” Journal of the Institute of Muslim Minority Affairs 9,2: 296–310, 1988.
Majul, Cesar Adib. The Contemporary Muslim Movement in the Philippines. Berkeley: Mizan Press, 1985.
Man, Wan Kadir Che. Muslim Separatism: The Moros of Southern Philippines and the Malays of Southern Thailand. Singapore: Oxford University Press, 1990.
May, R.S. “The Religious Factor in Three Minority Movements: The Moro of the Philippines, the Malays of Thailand­ and Indonesia’s West Papuans.” Journal of the Institute of Muslim Minority Affairs 12,2: 307–20, 1991.
“Misuari, ‘Arafat’-nya Moro yang Jadi Gubernur,” Kompas, 9 September 1996.
Munir, Sanihu. “MNLF: Dari Darah Syuhada ke Pembangunan Bangsa,” Republika, 30 Maret 1997.

Musdah Mulia