Minuman adalah zat cair yang biasa diminum. Dalam fikih, pembahasan tentang minuman terdapat dalam bab al-asyribah wa al-at‘imah (minuman dan makanan).
Zat cair yang lazim diminum, tanpa melihat halal dan haramnya, ada dua jenis: air alami yang disediakan alam tanpa terlebih dahulu diolah (kecuali dimasak); dan zat cair hasil olahan, seperti air perasbuah, nira, dan air alam olahan, misalnya limun.
Air alam yang keluar dari bumi pada dasarnya halal diminum bagi siapa pun, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Dawud, “Manusia berserikat (bersama-sama dalam memanfaatkannya) pada tiga hal: air, rumput, dan api.”
Setiap orang tanpa kecuali mempunyai hak untuk memperoleh air minum yang disediakan alam. Karena itu fikih Islam mengatur pemanfaatan air (minum) dengan istilah haqq asy-syurbi (hak meminum), yang meliputi hak untuk minuman manusia serta hewan dan hak untuk kebun serta tumbuh-tumbuhan.
Oleh karena keberadaan air pada suatu tempat ada yang melalui usaha orang lain, status air itu pun menjadi berbe-dabeda dalam kaitannya dengan haqq asy-syurbi. Ada empat macam air.
Pertama, air yang disimpan pada suatu tempat khusus dan dijaga keamanannya, misalnya air dalam suatu tangki atau bak khusus. Air seperti itu menjadi hak bagi orang atau badan yang menjaga dan menyimpannya. Siapa pun tidak dibenarkan mempergunakan air seperti itu, kecuali ada izin dari yang memelihara dan menyimpannya.
Pemeliharanya berhak menjual atau mengadakan transaksi jual beli atas air itu. Sehubungan dengan itu ada hadis Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab al-Amwal yang ditulis Ibnu Salam, yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW melarang memperjualbelikan air, kecuali air yang diangkat seseorang dari tempatnya.
Kedua, mata air, sumur, dan air telaga, yaitu air yang diusahakan keluar dari perut bumi oleh seseorang. Air tersebut adalah mubah hukumnya bagi siapa pun, baik bagi yang mengusahakan agar air itu keluar, maupun bagi pemilik tanah atau orang lain, karena pada dasarnya penggunaan air itu adalah mubah hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas.
Jika pemiliknya menghalangi orang yang memerlukannya, dibenarkan memaksanya bahkan membunuhnya, dengan syarat bahwa di situ tidak ada lagi air yang dekat dan bisa diperoleh.
Ketiga, air sungai yang khusus mengalir di kebun milik seseorang. Statusnya sama dengan jenis kedua. Siapa pun boleh memanfaatkan air itu, baik untuk dirinya maupun untuk binatang peliharaannya. Namun air ini tidak dibenarkan untuk mengairi kebunnya, kecuali ada izin dari pemiliknya.
Keempat, air sungai umum. Air jenis ini adalah hak umum, seperti air Sungai Nil dan Sungai Ciliwung.
Adapun zat cair yang merupakan hasil olahan manusia (seperti perasan buah-buahan, nira, dan bir) ada yang diharamkan dan ada yang dihalalkan untuk meminumnya. Di antara minuman jenis ini ada yang disebut khamar, yaitu sejenis minuman yang terbuat dari perasan anggur dan biasanya memabukkan.
Meminum khamar adalah haram (hukumnya) berdasarkan surah al-Ma‘idah (5) ayat 90 dan 91. Hukuman bagi peminum khamar termasuk kelompok hudud (hukuman yang merupakan hak Allah SWT) dengan 80 kali cambukan. Jumlah cambukan didasarkan pada ijmak sahabat.
Adapun had (hukuman)nya didasarkan pada hadis Rasulullah SAW: “Barangsiapa meminum khamar, cambuklah, jika meminum lagi, cambuk jugalah dia” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain khamar, minuman yang mempunyai sifat atau kebiasaan yang memabukkan adalah haram juga (hukumnya) dan jenis hukumannya termasuk hudud. Ketetapan ini didasarkan pada analogi (kias) atas dasar kesamaan ilah (sebab), yaitu memabukkan.
Rasulullah SAW sendiri secara tidak langsung memberi contoh kias, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Aisyah binti Abu Bakar (istri Rasulullah SAW). Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang minuman tibgi (sejenis minuman di Arab) dan nabiz madu. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan adalah haram.”
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari dan menurut Yahya bin Ma‘in (ahli hadis terkenal), hadis ini adalah hadis yang paling sahih yang diriwayatkan dari Nabi SAW tentang haramnya minuman yang memabukkan.
Hadis lain yang juga sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Umar. Nabi SAW bersabda, “Semua minuman yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram.”
Dengan demikian, khamar bukan hanya minuman yang terbuat dari perasan anggur seperti sering didefinisikan secara sempit oleh sebagian fukaha (ahli fikih). Oleh sebab itu, minuman seperti bir, brendi, wiski, dan tuak, bisa disebut khamar karena mempunyai sifat memabukkan dan meminumnya adalah haram (hukumnya).
Selama yang diminum itu khamar, yang menurut kebiasaan memabukkan, maka meminumnya, baik banyak maupun sedikit, tetap haram (hukumnya).
Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan at-Tirmizi, Abu Dawud, dan an-Nasa’i dari Jabir bin Abdullah. Dalam riwayat ini Rasulullah SAW bersabda, “Apa yang menurut kebiasaan memabukkan, banyak atau sedikit (meminumnya), maka hukumnya haram.”
Daftar Pustaka
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Semarang: Maktabah Usaha keluarga, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
Taqiyuddin. Kifayah al-Akhyar. Cairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islai wa Adillatuh. Damascus: Dar al-Fikr, 1985.
Atjeng Achmad Kusaeri