Minangkabau

Minangkabau adalah nama lain untuk Keresidenan Sumatera Barat, yang meliputi wilayah Propinsi Sumatera Barat dan propinsi di sekelilingnya, antara lain Riau dan Jambi.

Sebelum kemerdekaan Indonesia, perantau Minangkabau tersebar ke luar Sumatera ke berbagai daerah lain di Nusantara dan juga di Semenanjung Malaka, khususnya di daerah yang kini disebut Negara Bagian Negeri Sembilan di Malaysia.

Orang Minangkabau menganggap daerah yang terletak di antara Gunung Merapi, Gunung Singgalang, dan Gunung Sago sebagai pusat kebudayaan Minangkabau dan tempat asal nenek moyang mereka, yang dikenal dengan sebutan darek (darat).

Pemukiman yang dianggap tertua di wilayah darek ini terletak di sekitar tiga luhak (mata air) di daerah yang sekarang merupakan Kabupaten Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota.

Selain daerah asal ini, terdapat wilayah perantauan yang disebut pasisie (pesisir), yang terletak di dataran rendah. Penduduk daerah pesisir ini dikatakan berasal dari darek. Pembagian antara darek dan pasisie ini pada dasarnya merupakan kategorisasi budaya orang Minangkabau dalam melihat daerah tempat tinggal mereka, bukan pembagian wilayah secara administratif.

Orang Minangkabau pada umumnya beragama Islam. Amat jarang terdengar orang Minangkabau yang menganut agama lain, juga mereka yang tingga di daerah rantau dan terbuka terhadap berbagai lingkungan sosial yang terdiri atas aneka ragam suku bangsa dan agama.

Sejarah tentang masyarakat, kebudayaan, dan agama orang Minangkabau pada abad awal Masehi sangat sedikit diperoleh. Sebagian besar informasi tentang masyarakat dan kebudayaan Minangkabau pada masa itu berasal dari cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun secara lisan dalam bentuk tambo (babad) dan kaba (prosa berirama yang dapat didendangkan). Bukti tertulis pun amat sulit diperoleh.

Prasasti di Batusangkar pada tahun 1357 menceritakan tokoh Adityawarman yang beragama Buddha, yang kemudian mendirikan Kerajaan Pagaruyung. Di samping itu, tambo Minangkabau mengisahkan dua orang tokoh peletak dasar pembentukan suku di Minangkabau dan corak adat-istiadat mereka, yaitu Datuk Ketamanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Di antara berbagai versi tambo, riwayat kedua tokoh itu sebagai peletak dasar pembagian dua laras (dasar pemerintahan menurut adat) masyarakat Minangkabau (Bodi-Caniago dan Koto-Piliang) dikaitkan dengan eksistensi tokoh Adityawarman tersebut.

Demikian pula dikisahkan tentang koeksistensi antara sistem pemerintahan di bawah kekuasaan raja yang bersifat sentralistik di Pagaruyung dan sistem pemerintahan di bawah kekuasaan dewan nagari yang bersifat demokratis di luar Kerajaan Pagaruyung.

Kerajaan Pagaruyung terus berlanjut, meskipun data sejarahnya pada masa tertentu telah hilang. Pada awal Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh Adityawarman, disebutkan bahwa raja dan mungkin sebagian rakyatnya memeluk agama Buddha.

Kerajaan ini kemudian menganut agama Islam pada pemerintahan Sultan Alif, sekitar pertengahan abad ke-16, meskipun pengaruh Islam diperkirakan sudah ada di Minangkabau pada masa jauh sebelumnya.

Setelah periode Sultan Alif, data sejarah orang Minangkabau hilang kembali selama sekitar setengah abad, dan muncul lagi pada 1650 dengan disebutkannya pemerintahan Sultan Achmad Syah.

Untuk waktu yang lama, sistem pemerintahan di Minangkabau dilandasi oleh koeksistensi antara tiga unsur pimpinan, yakni Yang Dipertuan Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo, dan Raja

Ibadat di Sumpur Kudus. Tiga sistem ini sering dikenal dengan sebutan tali sepilin tigo, yang sekaligus menandakan kerjasama antara unsur pemerintahan, unsur adat, dan unsur agama Islam.

Pada abad ke-17, agama Islam semakin berkembang, antara lain terlihat dari pembangunan pusat agama Islam di Pariaman. Pada abad berikutnya, makin banyak pesantren yang didirikan.

Sejumlah ahli agama dan lulusan pesantren merantau ke Arab Saudi, khususnya ke Mekah, untuk melanjutkan pendidikan agama Islam. Sebagian dari mereka kemudian menetap selamanya di tanah suci dan sebagian lainnya kembali ke Minangkabau dan mendirikan pesantren baru.

Sejarah pembaruan pengajaran agama Islam dimulai ketika pada 1803, tiga orang haji pulang membawa ide tentang pemurnian agama Islam. Mereka adalah Haji Miskin dari Pandai Sikat, Luhak Agam; Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Lima Puluh Kota; dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik, Luhak Tanah Datar.

Pada saat itu cara hidup orang Minangkabau banyak diwarnai dengan unsur adat atau kebiasaan yang kurang sesuai, bahkan bertentangan dengan agama Islam yang murni, seperti halnya menyabung ayam dan berjudi.

Ketiga tokoh dan pengikut mereka menetapkan identitas diri antara lain berjubah putih, memelihara janggut, tidak merokok, dan tidak makan sirih. Mereka juga menekankan pelaksanaan prinsip kekerabatan dan hukum waris menurut ajaran Islam yang bersifat patrilineal. Aktivitas ulama ini melahirkan Gerakan Paderi (Perang Paderi).

Ajaran ulama tentang pemurnian agama Islam ini memperoleh tantangan dari kaum adat yang ingin mempertahankan prinsip kekerabatan dan hukum adat yang bersifat matrilineal. Kegagalan kaum adat dan kaum agama untuk mengatasi konflik bahkan berakhir dengan terbunuhnya kaum bangsawan di Pagaruyung oleh kaum Paderi dan keruntuhan kerajaan itu pada 1809.

Periode 1804–1821 merupakan masa kemenangan Gerakan Paderi. Namun campur tangan Belanda setelah keruntuhan feodalisme Minangkabau atas permintaan kaum adat juga berakhir dengan tertangkapnya pimpinan Gerakan Paderi, Tuanku Imam Bonjol, pada 1837 dan terhentinya gerakan pemurnian agama Islam.

Adat-istiadat lama kembali dianut dan tarekat kebatinan di berbagai daerah di Minangkabau muncul. Salah satu tarekat yang kemudian menjadi terkenal dan memiliki banyak pengikut hingga pergantian abad ini adalah Tarekat Naqsyabandiyah, yang masuk ke Minangkabau pada sekitar 1850.

Pada 1860-an, di Mesir muncul gerakan untuk memerangi kebodohan umat Islam yang diprakarsai ide Muhammad Abduh (1849–1905). Gerakan tersebut bertu­juan agar umat Islam tidak terus-menerus dijajah dan ditindas bangsa Eropa.

Pengaruh ide kemajuan dan perang melawan kebodohan ini sampai pula ke daerah orang Minangkabau, dibawa tiga orang tokoh ulama Minangkabau, yakni Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah, dan Haji Abdullah Ahmad, yang belajar agama di Mekah.

Meskipun ketika di kota suci Islam ini mereka bertiga menjadi murid Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama Minangkabau yang merantau ke Mekah pada 1876 dan berhasil mencapai kedudukan tertinggi sebagai imam besar Masjidilharam dalam Mazhab Syafi‘i, mereka tidak dilarang membaca tulisan Muhammad Abduh mengenai pembaruan dan kemajuan itu.

Mereka kemudian mendirikan sekolah yang tidak sekadar memberikan pelajaran agama melainkan juga pendidikan ilmu pengetahuan umum dan membaca huruf Latin.

Pada masa itu, setelah Gerakan Paderi jatuh, Belanda menguasai daerah Minangkabau dan menindas rakyat melalui tanam paksa kopi. Sementara itu aliran tarekat kebatinan makin pesat berkembang di Minangkabau.

Dalam perkembangannya muncul dua kelompok, yakni Kaum Tua dan Kaum Muda. Kaum Tua dianggap berpandangan kolot dan ketat terhadap adat dan tarekat kebatinan, sedangkan Kaum Muda membawa dan menerima kemajuan serta menolak ajaran tarekat tersebut.

Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, masuknya ide pembaruan dan kemajuan ini memberi pengaruh besar terhadap diterimanya sekolah yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum sampai ke daerah yang luas di wilayah yang kini termasuk Propinsi Sumatera Barat, bahkan hingga ke pelosok desa. Sekolah tersebut tidak hanya tersedia bagi anak laki-laki, melainkan juga bagi anak perempuan.

Gerakan yang mempunyai peran penting dalam pemurnian agama Islam maupun lembaga serta organisasi pembaruan pemikiran dan kemajuan Islam yang mendorong perubahan sosial-budaya yang terkait dengannya dalam kurun waktu sekitar seabad hingga awal abad ke-20 ini antara lain adalah Gerakan Paderi, Sekolah Adabiyah, dan Surau Jembatan Besi yang berkembang menjadi organisasi Sumatra Thawalib.

Di pihak lain, untuk pendidikan pelajar putri terdapat Madrasah Diniyah Putri, yang berkembang dari sekolah Diniyah untuk putra dan putri.

Walaupun nilai adat dan agama pernah terlibat dalam pertentangan di masa lalu, lambat laun orang Minangkabau berupaya untuk mencari keselarasan dalam melaksanakan sistem budaya Islam dan sistem budaya matrilineal.

Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai contoh, pemanfaatan dan sistem pewarisan harta pencaharian didasarkan atas hukum Islam, sedangkan untuk harta pusaka tetap berpedoman pada prinsip matrilineal.

Perubahan sosial yang didorong ide kemajuan, pada dekade awal abad ke-20 ini terlihat dari meningkatnya minat untuk memperoleh pendidikan spesialisasi (seperti guru) dan menjadi ilmuwan (seperti dokter, ahli hukum, dan ahli bahasa) serta kecenderungan untuk memilih kehidupan berumah tangga dalam keluarga batih daripada kehidupan berumah tangga dalam keluarga luas di rumah gadang.

Hal ini sedikit banyak juga meningkatkan kegiatan merantau, yang sejak lama telah menjadi nilai penting bagi orang Minangkabau. Meskipun demikian, aspek tertentu dari budaya tradisional yang berlandaskan prinsip matrilineal tetap dipertahankan.

Ide kebersamaan, termasuk musyawarah untuk mencapai mufakat, mencerminkan nilai yang terdapat dalam adat Minangkabau maupun dalam budaya Islam. Kebersamaan ini tercermin dari isi pantun, pepatah, dan peribahasa Minangkabau, demikian pula pada motif kain tenun dan relief ukiran kayu pada rumah gadang.

Simbol dalam kebudayaan materi Minangkabau menggambarkan pula penerapan kedua sistem budaya ini. Misalnya, terdapat tiga buah lumbung yang merupakan perangkat dari rumah gadang orang Minangkabau untuk menyimpan padi untuk keperluan konsumsi para anggota kerabat matrilineal yang berdiam di rumah gadang dan yang pulang dari rantau serta untuk membayar zakat dan beramal sesuai ajaran agama Islam.

Demikian pula, peristiwa penting dalam kehidupan individu Minangkabau, yang biasanya dirayakan atau diperingati dengan pelaksanaan upacara adat, tidak saja terdiri dari peristiwa lingkaran hidup individu, khususnya kelahiran dan perkawinan, melainkan juga pelaksanaan akikah dan peristiwa khatam Al-Qur’an.

Minat orang Minangkabau yang besar terhadap perantauan dan terhadap pendidikan agama dan ilmu pengetahuan telah pula melahirkan tokoh Minangkabau dalam berbagai bidang ilmu (seperti politik, agama, budaya, seni, dan ekonomi) yang peranannya menonjol pada awal dan pertengahan abad ke-20 ini.

Mereka antara lain adalah KH Agus Salim, Mohammad Nazir Dt. Pamuncak, Mohammad Hatta, Bahder Djohan, Mohammad Natsir, Sutan Syahrir, HAMKA, Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, dan Rahman Tamin. Langkah mereka kemudian diikuti kaum terpelajar yang lebih muda.

Daftar Pustaka

Batuah, Ahmad Datuk. Tambo Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Balai Pustaka, t.t.
Batuah, Datuk Sango. Tambo Alam Minangkabau. Payakumbuh: Limbago, 1930.
Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784–1847. London: Curzon Press, 1983.
HAMKA. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Firma Tekad, 1963.
–––––––. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Panjimas, 1985.
Manggis, Rasyid. Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang: Sri Darma, 1971.
Mansur, M.D. Sejarah Minangkabau: Sejarah Ringkas dan Adatnya. Jakarta: Bharata, 1970.
Na’im, Mukhtar, ed. Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau. Padang: Center For Minangkabau Studies, 1968.
Nasroen. Dasar Falsafat Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Nasrun Haroen