Mimpi

Dalam psikologi, mimpi merupakan suara dari alam tak sadar manusia yang muncul secara spontan pada waktu tidur. Mimpi dapat menjadi petunjuk tentang adanya kabar gembira dan dapat pula menjadi peringatan mengenai adanya bahaya.

Dalam surah al-Fath (48) ayat 27 diungkapkan mimpi sebagai petunjuk kabar gembira,

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebe­ narnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, Insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Ia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”

Allah SWT adalah sumber ilmu, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan sendiri. Ia melimpahkan ilmu itu melalui wahyu, yakni Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Di samping itu, Allah SWT juga melimpahkan ilmu-Nya melalui ilham, yakni penyingkapan; biasanya para sufi mengalaminya sehingga dapat melihat hakikat segala sesuatu.

Ketika berzikir, sering kali para ahli khalwat memperoleh­ pengalaman bahwa mereka tersembunyi (dalam keadaan sadar) dari segala sesuatu yang terasa (dunia ini) dan tersingkap kepada mereka ihwal kebenaran berbagai hal gaib.

Kaum sufi menyebutnya mimpi (waqi‘ah). Dalam Islam mimpi diakui sebagai sebuah sumber dan prosedur untuk memperoleh kebenaran. Tentu saja ini diberikan kepada orang pilihan, seperti Nabi Muhammad SAW dan orang saleh.

Kepada Nabi SAW, Allah SWT menjadikan mimpi sebagai salah satu bentuk wahyu, dan untuk orang saleh, seperti sufi, sebagai karamah (kemulian) dan kelebihan bagi mereka.

Nabi Yusuf AS, misalnya, bermimpi mengubah jalan hidupnya, dan semua yang dimimpikannya menjadi kenyataan. Mimpinya itu merupakan kabar gembira bahwa ia akan menjadi seorang nabi dan penguasa.

Di kalangan para ulama dan ahli tafsir mimpi, nama Ibnu Sirin (651–729; seorang imam qiraah di Basrah) sangat dikenal dan dihormati karena ketinggian ilmunya maupun kesalihannya.

Ia menyusun kamus tafsir mimpi Muntakhab al-Kalam fi Tafsir al-Ahlam (Kunci Pengungkap Tafsir Mimpi), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga bahasa Indonesia. Buku ini dikenal sebagai sumber pengetahuan yang telah memperkaya jiwa para pembacanya selama lebih dari 1.300 tahun.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (ahli fikih Mazhab Hanba-li; 1292 –1352), dalam Kitab Ruh mengatakan bahwa mimpi itu ada tiga macam: mimpi dari Allah SWT, mimpi dari setan, dan mimpi dari sebab kejiwaan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa mimpi ada tiga macam, mimpi yang benar kabar gembira dari Allah SWT, mimpi sedih dari setan, dan mimpi yang disebabkan oleh kejiwaan seseorang.

Menurut Imam at-Tirmizi (ahli hadis; 209 H/825 M–279 H/893 M), mimpi yang benar adalah mimpi para nabi dan rasul serta orang saleh yang mengikuti jejak para nabi, tetapi terkadang bisa didapat juga oleh orang lain walaupun jarang menjadi kenyataan seperti yang dimimpikannya.

Dalam sebuah hadis diungkapkan: “Mimpi yang benar merupakan bagian dari 46 cabang kenabian” (HR. Muslim, Bukhari, dan Tirmizi). Di samping itu, terdapat pula mimpi yang sesat, khususnya jika mimpi itu berasal dari setan, atau ekspresi dari masalah emosional.

Syekh Usamah Muhammad al-Awadi dalam bukunya Hukum Mimpi Menurut Al-Qur’an dan Sunnah meng­kla­ sifikasikan lima macam mimpi yang benar, yaitu:

(1) ilham yang diberikan oleh Allah SWT kepada hati seorang hamba-Nya;

(2) adanya malaikat yang bertugas membawa mimpi kepada seorang hamba;

(3) bertemunya roh orang yang tidur dengan arwah orang yang telah wafat, baik saudara, teman, maupun orang lain;

(4) roh orang yang tidur itu naik ke haribaan Allah SWT dan bercakap-cakap dengan-Nya; dan

(5) masuknya roh orang yang tidur ke dalam surga atau ke tempat lain. Nabi SAW seakan memberikan legitimasi akan kebenaran mimpi ini, ”Tidak ada wahyu setelah kau, kecuali al-mubasysyirat (kabar gembira)’. Sahabat bertanya, ‘Apa itu al-mubasysyirat’. Sabdanya, ‘mimpi yang benar’” (HR. Imam Bukhari dalam Fath al-Bari [12/391]).

Syuhrawardi, seorang sufi besar, menjelaskan bagaimana mimpi terjadi kepada kaum sufi. Kadang-kadang, penyingkapan kebenaran muncul dalam keadaan hadir (sadar) dan tidak hadir (tidak sadar). Sering kali, waqi‘ah bagaikan tidur (naum). Sebagian waqi‘ah dan manamat (tidur) adalah benar dan sebagian lagi salah.

Dalam kebanyakan waqi‘ah dan manamat, jiwa (nafs) berjalan beriringan dengan roh (ruh), dan dalam sebagian lain bersifat mutlak (berjalan sendiri). Kebenaran adalah sifat ruh, dan kebatilan adalah sifat nafs.

Penyingkapan (mukasyafah) tidak pernah salah; mukasyafah menggambarkan kesatuan jiwa dengan merenungkan berbagai misteri dalam keadaan bebas dari pikiran kelam manusia. Dalam hal ini, ada tiga bagian waqi‘ah dan manam:

Pertama, penyingkapan bebas (kasyf). Dengan mata jiwa yang bebas atau dengan imajinasi, seseorang dalam tidur (naum) atau dalam mimpi (waqi‘ah) merenungkan keadaan segala sesuatu yang masih tersembunyi. Sesudah itu, hal tersebut bisa terjadi di dunia nyata.

Tetapi, orang yang menyaksikannya mempunyai tatanan dalam segala sesuatu yang tersembunyi dari indra lahiriah. Jika dalam tidurnya seseorang melihat bahwa di tempat tertentu terpendam harta karun, lalu menemukannya setelah mencarinya, maka yang demikian ini disebut penyingkapan murni (kasyf al-mujarrad).

Jika bisa dipahami melalui manifestasi, maka ini adalah “penglihatan jiwa”; dan jika dipahami melalui “utusan tak tampak”, maka makna ini adalah “telinga jiwa”.

Kedua, pengungkapan imajinasi dari naum dan waqi‘ah. Dalam tidur atau dalam waqi‘ah, ruh mampu melihat sebagian hal gaib; melalui hubungan dengan ruh, nafs menjalin persahabatan dengannya. Pada ruh, dengan kekuatan imajinasi, nafs mengenakan bentuk pakaian yang sesuai dengan hal yang dirasakan.

Dengan demikian, ruh pun melihatnya. Jika sang murid bermimpi berjalan di gurun pasir dan gunung sampah, melintasi sungai dan mengarungi lautan, naik ke angkasa, atau melintasi api, maka sang syekh akan tahu bahwa sang murid sedang melewati tahapan nafsu: menyaksikan dirinya dalam bentuk berbagai unsur (empat unsur alam), yakni tanah, air, udara, dan api; atau menempuh perjalanan di darat, laut, udara, dan di atas kobaran api.

Makna dari semuanya itu adalah
(1) tanah, yang berarti kekikiran, kelambanan, kejahilan, ketidakadilan, kegelapan, dan ketololan;

(2) air, yang bermakna senang berkumpul, mengumbar hawa nafsu, terpengaruh lingkungan pergaulan, kelalaian, dan kecenderungan untuk tidur;

(3) udara, yang berarti kecenderungan pada nafsu, sangat sedih, ingin buru-buru berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain; dan

(4) api, yang bermakna kemarahan, kesombongan, hasrat untuk mencapai posisi tinggi, dan keagungan. Jika beroleh penyingkapan, maka ia melihat kebenaran roh dalam wujud matahari, kebenaran hati dalam wujud bulan, dan berbagai kualitas kebenaran hati dalam wujud gugusan rasi bintang. Ia selalu melihat setiap kebenaran yang tersingkap kepadanya dalam jubah yang sangat indah.

Karenanya, peristiwa ini disebut “penyingkapan khayalan” (kasyf al-mukhayyal). Dalam hal ini, bisa saja ada kesalahan, tetapi bukan kesalahan murni, sebab yang demikian itu tidak luput dari pemahaman ruh Dalam pemahaman roh, pikiran sensual tidak bercampur baur sehingga waqi‘ah atau tidur itu adalah benar sepenuhnya.

Seorang penakwil atau penafsir mimpi harus membersihkan segenap kebenaran pemahaman ruh dari noda pikiran sensual dan kemudian menakwilkannya.

Angan-angan harus murni ketika pikiran sensual menguasai hati, sehingga roh terhijab dari menyaksikan alam gaib. Dalam keadaan naum atau waqi‘ah, pikiran menjadi lebih kuat. Kekuatan imajinasi menyelimuti setiap pikiran itu dengan jubah indah; bentuk pikiran itu terlihat oleh mata kekuatan imajinasi dan dengan tipuannya menjadi tampak jelas.

Dengan demikian, seorang zahid yang memperoleh pujian dari orang banyak dan melihat di dalam waqi‘ah bahwa mereka memuja dirinya, syekh tahu bahwa manifestasi ini hanyalah akibat dari hawa nafsu yang sudah tergambar dalam diri orang yang melihatnya. Ia menyebutnya hasrat yang sia-sia atau mimpi yang salah dan tak bisa ditafsirkan.

Di dalam keadaan seperti ini, kebenaran tak pernah muncul, sebab nafs yang dikuasai keraguan tidak bakal bisa menjalin hubungan dengan ruh, yang membentuk pikiran itu. Kebenaran berada jauh dari nafs.

Mimpi dalam tradisi kaum sufi dianggap sangat berharga karena membantu manusia dalam perjalanan menuju Allah SWT dan dalam menyingkap benang emas yang menghubungkan manusia dengan cinta dalam kalbu.

Dalam proses mistik pergulatan dengan Tuhan harus disadari bahwa kejadian atau tindakan apa pun yang dilakukan seseorang dalam sebuah mimpi sering kali merupakan bimbingan dan “tindakan” Tuhan untuk membawa manusia ke arah-Nya.

Daftar Pustaka

al-Awadi, Usamah Muhammad. Hukum Mimpi Menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Mustaqim, 2002.
Chittick, William C. Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Nasr, Husein. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Suhrawardi, Syihabuddin Umar. ‘Awarif al-Ma‘arif. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Amsal Bakhtiar