Mihrab

(Ar.: al-mihrab)

Mihrab adalah suatu ruang atau relung dalam masjid yang terletak agak menjorok ke depan. Selain berfungsi sebagai tempat imam memimpin salat, mihrab juga berperan sebagai penunjuk arah kiblat dalam masjid.

Di sebelah kiri mihrab biasanya terdapat mimbar tempat menyampaikan khotbah. Sebagai sebuah bangunan khusus, mihrab mulai dijadikan bagian bangunan masjid oleh Khalifah al-Walid I (memerintah 86–97 H/705–715 M) dari Dinasti Umayah.

Secara harfiah kata al-mihrab berarti “gedung tinggi dan pagar”. Menurut sebagian ulama, mihrab merupakan tempat memerangi setan dan hawa nafsu. Kata al-mihrab, menurut pendapat ini, terambil dari kata al-harbu yang berarti “peperangan”.

Menurut yang lain, tempat dalam masjid itu dinamakan mihrab karena di tempat itu kebenaran manusia dapat ditempa dalam upaya menghindarkan diri dari kesibukan duniawi.

Di dalam Al-Qur’an, kata “mihrab” disebutkan sebanyak lima kali, empat dalam bentuk tunggal dan satu dalam bentuk jamak. Kelima kata mihrab (maharib) itu masing-masing terdapat dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 37 dan 39, surah Maryam (19) ayat 11, surah Sad (38) ayat 21, dan surah Saba’ (34) ayat 13.

Beberapa ayat di atas mengisyaratkan bahwa mihrab telah dikenal dalam sejarah para nabi sebelum kenabian Muhammad SAW. Penjelasan ini sangat penting, karena ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa mihrab adalah tradisi Nasrani yang dilarang pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Maka jika agama para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW diidentifikasi sebagai agama “Islam”, istilah mihrab sudah ada sebelum Nabi Muhammad SAW. Di samping itu mihrab merupakan ciri arsitektur yang khas pada bangunan masjid.

Menurut Abul Taiyib at-Tabari (w. 450 H/1058 M), ahli hukum Islam dari Baghdad, mihrab merupakan tradisi Islam yang dimulai sejak masa Nabi Daud AS.

Pada Masjid Nabawi di Madinah sekarang terdapat mihrab, namun sukar dipastikan apakah mihrab tersebut secara asli dibangun sejak zaman Nabi Muhammad SAW atau dibangun sesudahnya.

Menurut Ibrahim Rafa’at Pasya (salah seorang pembaru pemikiran di Arab pada abad ke-19 yang berasal dari Turki), mihrab yang beratap lengkung, terlebih lagi yang berukir seperti sekarang, pasti tidak ada pada masa Nabi Muhammad SAW.

Ada dugaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukan salat di tempat mihrab sekarang ini berada. Penelitian lebih lanjut mengemukakan bahwa mihrab baru dibangun pada masa Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai gubernur Madinah di bawah pemerintahan al-Walid I (86 H/705 M–97 H/715 M).

Dugaan bahwa mihrab dengan atap lengkung belum terdapat pada masa Nabi Muhammad SAW diperkuat dengan pendapat as-Suyuti (w. 1505), ahli sejarah Islam, dalam buku I‘lam al-Adib bi Hudutsi Bid‘ah al-Maharib (Pernyataan Ulama tentang Terjadinya Bid’ah dalam Pembuatan Mihrab).

Menurut as-Suyuti, mihrab dengan atap lengkung belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (empat khalifah besar). Bahkan dikabarkan oleh Abdullah bin Umar bin Khattab, Nabi SAW pernah bersabda yang berarti: “Takutlah kalian akan mazabih atau mihrab-mihrab itu.”

Dalam hadis riwayat al-Bazzar dari Ibnu Mas’ud dikatakan: “Makruh hukumnya sembahyang di mihrab, karena mihrab itu termasuk buatan gereja.”

Pengaruh arsitektur gereja, yaitu altar, boleh jadi memang ada, sebagai bagian dari transformasi budaya. Tetapi dilihat dari segi fungsi, mihrab itu sendiri menurut isyarat Al-Qur’an memang telah ada pada zaman nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.

Dalam sejarah perkembangan masjid, mihrab merupakan bagian pokok –jika tidak yang terpenting­–yang harus ada, meskipun tidak selalu beratap lengkung. Bahkan pada bangunan tempat ibadah untuk umat Islam yang lebih kecil seperti musala, langgar, atau surau, mihrab ini selalu ada.

Lebih dari itu banyak masjid yang menggunakan tiga mihrab, yakni sebelah kanan untuk mimbar khotbah, tengah sebagai tempat imam memimpin salat berjemaah, dan sebelah kiri digunakan untuk tempat menyimpan Al-Qur’an.

Pada Masjid Nabawi di Madinah terdapat enam mihrab, yaitu:

(1) mihrab Nabi SAW, terletak di bagian Raudhah (antara mimbar dan makam Nabi SAW);

(2) mihrab Usmani;

(3) mihrab Hanafi (sekarang mihrab Sulaimani), dibuat oleh Togan Syekh sesudah 860 H/1456 M dan kemudian dihiasi marmer putih dan hitam oleh Sulaiman I dari Kerajaan Usmani 938 H/1532 M;

(4) mihrab Tahajud, terletak di belakang bekas kamar Fatimah az-Zahra;

(5) mihrab Fatimah, terletak di sebelah mihrab tahajud; dan

(6) mihrab Tarawih, yang sering kali digunakan imam Masjid Madinah dalam memimpin salat tarawih.

Pendapat lain menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan sudah ditentukan peraturan bahwa bangunan mihrab harus ada dalam masjid. Menurut al-Maqrizi (767 H/1364 M–846 H/1442 M), seorang sejarawan, Qurra’ bin Syarik, seorang gubernur pada masa pemerintahan Mu‘awiyah, telah memerintahkan pembuatan mihrab dalam masjid di Mesir dengan bentuk atap lengkung (mihrab mujawwaf).

Pendapat lain mengemukakan bahwa yang pertama kali memperkenalkan mihrab lengkung adalah Maslama bin Mukhallad (667–682) atau Abdul Aziz bin Marwan (685–704).

Selanjutnya, Dinasti Fatimiyah di Mesir dengan agak berlebihan menghiasi mihrab dengan gelang perak. Konon, di Masjid al-Azhar terdapat hiasan tidak kurang dari senilai lima ribu dirham yang dipajang di mihrab.

Begitu juga dalam sejarah perkembangan arsitektur masjid, seperti yang terdapat di Qairawan dan Masjid Ibnu Tulun, Cairo. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayah, mihrab sebagai tempat­ penting ditinggikan melebihi tempat sembahyang untuk makmum.

Di Indonesia, yang arah kiblatnya ke barat agak miring ke sebelah utara, mihrab terletak di ujung barat tengah bangunan masjid, berseberangan dengan pintu masuk. Di sebelah kanannya terdapat mimbar.

Di atasnya sering terdapat kaligrafi dengan berbagai macam model, seperti ayat Al-Qur’an, kalimat syahadat, kalimat thayyibah (yang baik), dan ayat yang berkaitan dengan salat. Juga pada bangunan masjid yang agak tua sering didapati tiga mihrab seperti disebutkan di atas.

Daftar Pustaka

Aboebakar. Sejarah Masjid. Jakarta: Adil, 1955.
Ezzedine Onellouz. Pilgrimage to Mecca. London and The Hague: East-West Publications, 1980.
Lebon, Gustave. Hadharah al-‘Arab, terj. Adil Zuaiter. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, t.t.
Pasya, Ibrahim Rafa’at. Mir’ah al‑Hamamain. Cairo: t.p., 1925.
Natsir, M. Culture Islam. Bandung: t.p., 1973.

Ahmad Rofiq