Mesir

Mesir (Ar.: Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyyah Arabiyyah)

adalah sebuah negara republik di sudut timur laut Benua Afrika. Negara ini berbatasan dengan Laut Tengah (utara), Laut Merah (timur), Sudan (selatan), dan Libya (barat). Luas: 1.001.450 km2; penduduk: 76.117.421 jiwa, sekitar 94% dari penduduk beragama Islam (Suni). Kelompok etnik terpenting adalah Mesir, Badui, dan Nubia. Ibukota: Cairo; bahasa resmi: Arab; dan mata uang: pound Mesir (LE).

Sungai Nil adalah sumber kehidupan Mesir karena lembah Sungai Nil merupakan dataran subur yang memanjang (17.000 km2) dengan dinding karang setinggi 200–400 m di kedua sisinya. Delta Sungai Nil di utara Cairo (lebih kurang 23.000 km2) merupakan dataran rendah yang sebagian besar berpaya papirus.

Ekonomi Mesir sangat tergantung pada pertanian yang diairi Sungai Nil melalui Bendungan Aswan yang sejak tahun 1970 peranannya diambil alih oleh Bendungan Sadd al-‘Ali (Bendungan Tinggi). Hasil pertanian terpenting adalah kapas, padi-padian, sayur-sayuran, tebu, dan buah-buahan.

Di samping itu, di Mesir terdapat industri tekstil, pariwisata, bahan kimia, baja, semen, pupuk, dan lain-lain. Selain lembah Sungai Nil tersebut terdapat padang pasir, baik di sebelah barat maupun sebelah timur.

Semenjak zaman kuno (4.000 tahun SM) Mesir telah mempunyai peradaban yang tinggi. Karena potensi geografis dan budayanya, ketika masuk ke dalam wilayah Islam, Mesir segera menjadi daerah yang mempunyai peranan penting dalam sejarah perkembangan Islam, baik pada zaman pramodern maupun pada zaman modern.

Peranan yang dimainkan Mesir dalam sejarah perkembangan Islam dapat dilihat dalam berbagai bidang, antara lain bidang politik dan perluasan daerah Islam, bidang ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan, serta bidang ekonomi perdagangan.

Bidang Politik dan Futuhat (Ekspansi) Daerah Kekuasaan Islam. Islam masuk ke daerah ini pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika ia memerintahkan Amr bin As membawa pasukan Islam untuk mendudukinya. Setelah menduduki daerah ini, Amr bin As langsung menjadi amir (gubernur) di sana (632–660) dan menjadikan kota Fustat (dekat Cairo) sebagai ibukotanya.

Pada masa selanjutnya, yang memerintah Mesir berturut-turut adalah Dinasti Umayah dan Abbasiyah, Dinasti Tulun (868–905), Dinasti Ikhsyd (935–969), Dinasti Fatimiyah (909–1171), Dinasti Ayubiyah (1174–1250) yang ditandai dengan Perang Salib (1096–1273), dan Dinasti Mamluk (1250–1517). Pada masa sesudahnya Mesir menjadi bagian Kerajaan Usmani Turki (Ottoman).

Abad modern (1805–1917) dimulai dengan pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Ia digantikan oleh putranya,­ Sa‘id Pasya (memerintah 1854–1863), dan kemudian oleh sepupu Sa‘id Pasya, yakni Isma‘il Pasya (1863–1879).

Inggris campur tangan dalam pemerintahan Mesir pada 1882, tetapi secara de facto Mesir tetap tunduk kepada Ottoman hingga 1914. Antara 1914–1922 Mesir menjadi protektorat Inggris. Mesir merdeka dari Inggris pada 1922. Negara ini mengambil bentuk pemerintahan monarki konstitusional.

Pada 23 Juli 1952 terjadi revolusi yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Mohammad Naguib, panglima perang dalam pemerintahan Raja Farouk, yang menyebabkan Raja Farouk turun takhta.

Mesir kemudian menjadi republik pada 18 Juni 1953 dengan Naguib sebagai presiden merangkap perdana menteri. Kepala negara saat ini ialah Presiden Mohammed Hosni Mubarak (sejak 14 Oktober 1981), sedangkan kepala pemerintahan ialah Perdana Menteri Ahmed Nazif (sejak 9 Juli 2004).

Pada rentetan silih bergantinya pemerintahan di Mesir telah tercatat sejumlah sumbangannya dalam bidang perluasan Islam dan percaturan politik bagi perjuangan umat Islam, antara lain:

(1) pada masa pemerintahan Anbasah bin Ishak (238 H/853 M–242 H/857 M) dari Bani Abbas yang mendirikan Benteng Dimyat dan Tinis untuk mempertahankan Mesir dan daerah-daerah Islam dari serangan Bizantium;

(2) pada masa pemerintahan Nasir Muhammad bin Qalawun (1293–1340) dari Dinasti Mamluk pengaruh kekuasaan Mesir telah meluas ke Afrika Utara, Irak, Asia Kecil, dan Madinah; dan

(3) suatu pengaruh besar yang dimainkan oleh Mesir ketika Salahuddin Yusuf al-Ayyubi memimpin perlawanan Cairo yang dilintasi Sungai Nil dalam Perang Salib (1096–1291) yang diawali oleh Kristen Eropa karena kekhawatiran mereka akan penaklukan Islam ke Eropa. Pada saat itu Islam telah menguasai Asia Kecil, pintu gerbang untuk memasuki Constantinopel (Istanbul).

Masuknya Napoleon ke Mesir (1798) tanpa perlawanan yang berarti dari umat Islam kembali menyadarkan umat Islam akan kemandekan kebudayaannya. Pada masa selanjutnya kesadaran itu memunculkan gagasan besar bagi para pemikir dan pemimpin umat Islam khususnya di Mesir.

Patriotisme Mesir dipelopori oleh at-Tahtawi (1801–1873) yang berpendirian bahwa Mesir dan negara lain baru bisa maju apabila berada di bawah penguasa sendiri, bukan di bawah tangan orang asing. Nasionalisme Mesir dipelopori oleh Mustafa Kamil (l. 1874) yang mendirikan Partai Hizb al-Wathan untuk memperjuangkan kemerdekaan Mesir dari kekuasaan Inggris.

Dari Mesir lahir ide nasionalisme Arab yang dipelopori oleh Gamal Abdel Nasser. Perhatian dan dukungan pemerintah Mesir terhadap kemerdekaan negara muslim lain juga tinggi. Kemerdekaan Indonesia, misalnya, pertama kali mendapat pengakuan dari Mesir.

Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Sumbangan ter-penting Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah dalam bidang pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir, khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam.

Universitas al-Azhar –universitas tertua di dunia– yang didirikan oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada 7 Ramadan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.

Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didu­kung para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996–1021), mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi.

Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348 H/958 M–399 H/1009 M), seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354 H/965 M–430 H/1039 M), seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu, ia mendirikan Dar al-‘Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.

Pada zaman modern, terutama dengan ekspansi Napo-leon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805–1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir.

Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian, menyebarlah ilmu itu ke berbagai daerah Islam.

Selama pemerintahan Kerajaan Usmani, kebudayaan Islam di Mesir mengalami kemunduran karena yang berkuasa percaya bahwa menuntut ilmu filsafat, ilmu bumi, ilmu pasti, dan ilmu yang bertalian dengan itu sebagai penyebab kemurtadan.

Akan tetapi, perubahan arah kebudayaan dan pendidikan Mesir sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia Islam terjadi ketika Muhammad Abduh (w. 1905) dan kawan-kawannya melancarkan pembaruan.

Gema dari gagasan tokoh ini dan para muridnya menggetarkan dunia Islam secara keseluruhan. Muhammad Abduh mengembangkan Universitas al-Azhar baik dari segi fisik maupun pemikirannya.

Bertambahnya keinginan akan pendidikan menyebabkan tumbuhnya Universitas Iskandariyah di Iskandariyah dan Universitas ‘Ain Syams (1950) di Cairo. Kemudian, Universitas Mansyuriyah yang didirikan pada tahun 1972 (sebelumnya cabang Universitas Cairo), Universitas Tanta yang didirikan pada tahun 1972 (sebelumnya cabang Universitas Iskandariyah), Universitas Hilwan, Universitas Assiut yang didirikan pada tahun 1957 serta Universitas Mania, Universitas Munafia, dan Universitas Suez yang didirikan pada tahun 1976. Di samping itu, ada pula Universitas Amerika yang disingkat AUC (The American University in Cairo), yang didirikan bagi pendidikan orang Mesir dengan tenaga pengajar dari Amerika sejak tahun 1928.

Bidang Media Massa dan Buku Keagamaan. Peranan Penduduk pedesaan di Mesir Mesir dalam pengembangan Islam dalam bidang media massa dan buku keagamaan sangat penting mengingat banyak buku agama yang ditulis oleh para ulama dan para pemikir terkemuka.

Selain itu, Mesir juga mempunyai peranan dalam penerbitan surat kabar atau majalah yang disebarkan ke seluruh dunia Islam yang berisikan informasi tentang perkembangan Islam dan ilmu pengetahuan.

Bidang Arsitektur. Peranan Mesir juga dapat dilihat dari monumen peninggalannya yang mengandung nilai seni yang tinggi, antara lain al-Qashr al-Garb (Istana Barat), al-Qashr asy-Syarq (Istana Timur), Universitas al-Azhar, tembok yang mengelilingi istana, dan pintu gerbang yang terkenal dengan nama Bab an-Nasr (Pintu Kemenangan) serta Bab al-Fath (Pintu Pembukaan).

Di samping itu, terdapat pula Masjid al-Azhar, Masjid Maqis, Masjid Rasyidah, Masjid Aqmar, dan Masjid Shaleh.

Bidang Ekonomi Perdagangan. Letak Mesir yang strategis, berada di pertemuan tiga benua, Afrika, Asia, dan Eropa, menjadikannya pusat perdagangan yang penting sekali serta menjadikannya negeri kaya sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Ayubiyah, dan zaman sultan Mamluk.

Hasil negeri ini dibawa melalui Suez dan dari sana dibawa dengan unta ke tanah Arab. Pada sisi lain, negeri itu dihubu-ngkan oleh kafilah dengan Afrika Utara di sebelah barat dan dengan Suriah dan Irak di sebelah timur. Kapal yang melalui Suez membawa sutra, pala, cengkeh, kulit manis, merica, kemenyan, nila, dan lain-lain dari India, Indonesia, dan Yaman.

Sampai masa pemerintahan khalifah Fatimiyah ke-8, al-Mustansir (1036– 1094), Suez menjadi pintu perniagaan tanah Arab dengan negeri Timur. Pada masa selanjutnya jalur perniagaan pindah ke Izhab di pantai Laut Merah yang letaknya sejajar dengan Jiddah.

Barang dagangan dari India, Indonesia, dan negeri Timur Jauh dibawa melalui Teluk Persia ke Teluk Aden dan seterusnya melalui Laut Merah sampai ke Izhab. Dari sana barang dagangan dibawa dengan unta sampai ke Qaus, kemudian melalui Sungai Nil sampai ke Fustat.

Kota Izhab menjadi jalan jemaah haji dan jalan perniagaan sampai perannya digantikan Aden pada 1359. Kapal dagang dari negeri Timur Jauh berlabuh di Aden dan muatannya dipindahkan dan diteruskan ke Suez dan ke Cairo; dari Cairo diteruskan lagi ke Iskandariyah melalui terusan yang digali pada zaman Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun.

Pada masa pemerintahan Bani Ayubiyah, perniagaan Mesir dengan luar negeri semakin maju karena adanya Perang Salib yang membuka hubungan perdagangan antara negeri-negeri Islam dan Eropa. Sultan Ayubiyah dan Mamluk berkuasa di Suriah dan menguasai kota pelabuhan dan jalan kafilah antara Eropa dan India, Indonesia, serta negara lain di Timur.

Saudagar dari Genoa dan Venesia mengambil barang perniagaan dari Iskandariyah dan Beirut, membawanya ke Italia, lalu dari sana ke seluruh benua Eropa. Demikian juga pada masa pemerintahan raja Mamluk, monopoli perniagaan Timur–Barat dikuasai oleh Mesir karena Mesir kembali berkuasa atas Bandar Jiddah yang menggantikan kedudukan Aden sebagai bandar perniagaan Timur.

Sebagai jalur perdagangan antara Timur dan Barat serta antara negeri Timur dan bangsa Arab, di samping sebagai daerah pertanian yang demikian baik, Mesir merupakan negara yang sangat kuat. Kekuatan Mesir itu sendiri merupakan sumbangan yang amat besar bagi perjuangan Islam secara keseluruhan.

Demikianlah Mesir sebagai suatu daerah Islam memainkan peran yang amat besar. Peran tersebut dijalankan baik bagi pengembangan daerah kekuasaan Islam, ilmu pengetahuan, alih ilmu serta teknologi dari Eropa, maupun peningkatan ekonomi dan perdagangan.

Daftar Pustaka

Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh ad-Daulah al-Fatimiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1958.
Hitti, P.K. History of the Arabs. London: Macmillan & Co. Ltd, 1953.
Holt, PM. Cambridge History of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1977.
James H. Breasted. History of Egypt. New York: Sribner, 1979.
John A. Wilson. The Culture of Ancient Egypt. Chicago: University Press, 1956.
Kedutaan Besar RI di Cairo. Petunjuk tentang Pendidikan dan Kebudayaan Mesir. Cairo: 1981.
Qadir, Ca. Philosophy and Science in the Islamic World. London: Croom Helm Limited, 1989.

Syahrin Harahap