Maut berarti “terpisahnya roh dari zat, psike dari fisik, jiwa dari badan, yang gaib dari yang nyata, atau roh dari badan (jasmani)”. Dalam Al-Qur’an digunakan juga kata ajal (antara lain QS.10:49 dan QS.53:44) dan juga kata tawaffa atau istifa’ (menerima secara penuh) karena maut adalah sesuatu yang diterima. Al-Qur’an menyebut maut dalam istilah ini di 14 tempat. Kata al-maut banyak disebut dalam Al-Qur’an (antara lain QS.4:18, 78, dan 100).
Pada hakikatnya maut adalah akhir dari kehidupan dan sekaligus awal kehidupan (yang baru). Jadi maut bukan kesudahan, kehancuran, atau kemusnahan. Maut adalah suatu peralihan dari suatu dunia ke dunia lain, dari suatu keadaan ke keadaan lain, tempat kehidupan manusia akan berlanjut.
Karena itu manusia yang ingkar akan kehidupan akhirat merasa takut akan maut dan membenci maut akibat perbuatannya yang buruk di dunia. Namun bagi orang yang beriman secara benar, maut merupakan harapan indah untuk memulai hidup yang hakiki.
Dalam konsep Islam, maut adalah pasangan peristiwa hayat (hidup). Pasangan peristiwa ini harus dialami manusia serta makhluk lain dan merupakan peristiwa yang diciptakan Allah SWT untuk manusia sebagai alat pengecekan, mana di antara mereka yang lebih baik amalannya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman yang berarti:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS.67:2).
Maut disebut sebagai awal kehidupan karena pada dasarnya maut hanya terjadi pada badan jasmani, tetapi roh atau jiwa manusia akan tetap hidup dan mempunyai suatu kedudukan hayati dalam suatu cakrawala yang lebih tinggi daripada unsur jasad dan materi.
Menurut Mahmud Syaltut dalam al-Fatawa (Fatwa), roh tetap memiliki daya tangkap, mendengar ucapan salam dari para peziarah, melihat para peziarah, dan merasakan kelezatan nikmat serta penderitaan siksa.
Dengan demikian, roh memiliki fungsi amat penting dalam kehidupan manusia. Jasmani tanpa roh dalam diri manusia tidak berarti. Roh adalah pangkal kehidupan. Tetapi roh sendiri adalah sesuatu yang misterius bagi manusia dan tidak dapat diketahui.
Allah SWT berfirman yang berarti: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Bahwa roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’” (QS.17:85).
Menurut para filsuf, pertanggungjawaban manusia setelah menemui maut terletak pada roh. Maka roh yang kotor akan menyucikan dirinya dengan mengembara ke planet lain sebelum kembali kepada Allah SWT, karena roh manusia diciptakan dari tiupan roh Tuhan (QS.21:91, QS.66:12, dan QS.15:29). Tetapi sebagian orang tidak percaya akan adanya kehidupan sesudah mati.
Pada dasarnya, manusia merasa benci, susah, dan paling khawatir menghadapi maut. Sehubungan dengan ini, firman Allah SWT dalam Al-Qur’an menyebutkan, “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang kokoh…” (QS.4:78).
Apabila maut datang, tidak sesaat pun dapat ditunda atau diajukan. Allah SWT berfirman, “…Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya)” (QS.10:49).
Sayid Qutub (1906–1966) dalam Fi zilal Al-Qur’an (di Bawah Lindungan Al-Qur’an) menjelaskan, mati adalah wajib (pasti) pada saat yang telah ditentukan, tidak ada kaitannya dengan perang atau damai, tempat yang kokoh atau yang sederhana, dan ada upaya atau tidak untuk mempercepat atau memperlambatnya. Jika maut itu datang, maka datanglah ia. Karena itu nilai seseorang tidak terletak pada umurnya yang panjang, tetapi pada amalannya yang baik.
Dalam surah an-Nahl (16) ayat 70 Allah SWT berfirman yang berarti: “Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Maut adalah tugas suci. Karena itu manusia dilarang menemui maut dengan cara yang salah, seperti bunuh diri atau membunuh orang lain. Dalam Islam, bunuh diri dan membunuh orang lain adalah perbuatan terkutuk dan dosa besar. Begitu juga bercita-cita mati adalah perbuatan yang tidak terpuji.
Maut adalah urusan Tuhan. Karena itu manusia tidak dibenarkan putus asa, karena maut dan hayat diciptakan untuk menguji manusia siapa yang lebih baik amalannya. Dalam salah satu hadis Nabi SAW memberi bimbingan:
“Tidak boleh di antara kamu mencita-citakan mati karena bala yang menimpanya. Andaikata ada bala menimpa, berdoalah, ‘Hidupkanlah aku sekiranya hidup itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku, kalau mati itu lebih baik untukku’” (HR. at-Tirmizi).
Keyakinan orang bahwa maut adalah akhir segalanya dan bahwa tidak ada kehidupan sesudah kematian dibantah oleh Al-Qur’an. Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 154 Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Sesudah maut, manusia mengalami suatu masa yang disebut alam barzakh, yaitu masa antara maut dan kiamat (QS.23:100). Jadi barzakh adalah tempat berkumpul atau pemberhentian arwah orang yang sudah mati sebelum dibangkitkan kembali di hari kiamat.
Maut dialami manusia hanya sekali. Hal ini digambarkan dalam firman-Nya yang berarti: “Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya (surga) kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka” (QS.44:56).
Tentang gambaran maut dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Ummu Salamah yang berarti: “Rasulullah SAW memasuki (rumah) Abi Salamah (yang menemui maut). Sungguh matanya terbuka maka beliau memejamkannya. Kemudian beliau bersabda, ‘Roh apabila dicabut, diikuti oleh mata.’ Maka menjeritlah keluarganya. Dan beliau bersabda, ‘Janganlah kalian berdoa atas diri kalian kecuali dengan baik, sungguh malaikat mengamini apa yang kalian katakan.’ Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah ampunilah dosa Abi Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam golongan orang yang mendapat petunjuk, tundalah akibatnya termasuk yang lalu, ampunilah dosa kami dan dosanya wahai Tuhan seru sekalian alam, lapangkanlah baginya kuburnya dan sinarilah ia di dalamnya.’ Dengan demikian, bagi orang mukmin, kedatangan maut itu tidak terasa, sampai-sampai keluarganya tidak mengetahui. Pada hadis lain dijelaskan bahwa matinya orang mukmin ditandai (disertai) dengan keringat pada dahi (HR. an-Nasa’i).
Karena itu, seperti telah dijelaskan di atas, maut adalah nikmat bagi orang mukmin yang siap menghadapinya. Siti Aisyah meriwayatkan hadis yang berarti: “Rasulullah SAW wafat, sementara beliau berada antara dekapan dan daguku, maka aku tidak khawatir akan beratnya maut bagi seseorang selama-lamanya setelah aku melihat Rasulullah SAW (wafat)” (HR. an-Nasa’i).
DAFTAR PUSTAKA
Abud, Abdul Gani. al-Yaum al-Akhir wa al-hayah al-Mu‘asirah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978.
Gazalba, Sidi. Maut, Batas Kebudayaan dan Agama. Jakarta: Tintamas, 1975.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. ar-Ruh, terj. Jakarta: Dinamika Barkah Utama, t.t.
al-Khatib, Abdul Karim. Qadiyyah al-Uluhiyyah Bain al-Falsafah wa ad-Din Allah wa al-Insan. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1391 H/1971 M.
Noval, In Abdurrazaq. Hari Kiamat, terj. Prof. H Bustani A. Gani dan Drs. M. Thahir Harun. Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
Qutub, Muhammad. Tafsir fi zilal Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, t.t.
Syaltut, Mahmud. al-Fatawa. Cairo: Darul Qalam, 1996.
Usman, M. Ali. Maut dan Persoalannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Ahmad Rofiq