Maulawiyah, Tarekat

(Ar.: Maulawiyyah, Tariqah)

Tarekat Maulawiyah adalah sebuah persaudaraan sufi di Anatolia (Asia Kecil), Turki, pada abad ke-13 dan berpusat di Konya (Turki). Penulis Barat menyebut tarekat ini “ordo darwis” (sufi) yang menari berputar. Nama Maulawiyah dinisbahkan kepada Maulana Jalaluddin ar-Rumi (Balkh, Afghanistan, 604 H/30 September 1207–Konya, Turki, 672 H/17 Desember 1273), pendiri tarekat. Maulana (Turki: mevlana) merupakan gelar kehormatan seorang sufi penyair.

Nama Maulawiyah pertama kali diperkenalkan oleh murid Maulana Jalaluddin ar-Rumi yang menyalin karyanya, al-Masnawi, sajak didaktik tasawuf yang disebut Jami‘ (bahasa Pahlavi atau bahasa Persia = Al-Qur’an) dengan menyebut diri mereka sebagai maulawi (Turki: mevlavi), yakni sebutan atau gelar kehormatan bagi murid Tarekat Maulawiyah.

Menurut Ibnu Batutah, Tarekat Maulawiyah yang disebut dengan nama Tarekat al-Jalaliyah dinisbahkan kepada Jalaluddin ar-Rumi.

Jalaluddin ar-Rumi berasal dari keluarga yang nenek moyangnya memang sudah menetap di Balkh. Keluarga ini mengaku sebagai keturunan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq (khalifah pertama Islam).

Ayahnya bernama Bahauddin Walad Muhammad bin Husin (w. Konya, Asia Kecil, 628 H/1230 M), seorang teolog terkemuka dengan kecenderungan mistik atau tasawuf. Ia juga menjadi pembimbing rohani di istana Dinasti Seljuk Barat (Rum) pada masa Sultan Alauddin Kaykobad. Setelah ayahnya meninggal, Jalaluddin menggantikannya mengajar di madrasah istana.

Pada tahun 1219 Jalaluddin ar-Rumi bersama ayahnya meninggalkan Balkh dan mengembara di beberapa kota: Baghdad, Mekah, Damascus, Malatya (Turki), Arzanjan, dan Laranda (Kirman, Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya (sekitar 623 H/1226 M atau 625 H/1227 M).

Ada beberapa versi tentang sebab kepindahan mereka dari Balkh: ada yang berpendapat karena Bahauddin Walad dimurkai oleh penguasa (syah) Khawarizmi, Muhammad Qutbuddin dan ada pula yang berpendapat karena mendapat ilham dari Tuhan.

Menurut Reynold Alleyne Nicholson, ahli mistisisme dalam Islam, dan Annemarie Schimmel, sejarahwan dan dosen tasawuf, Bahauddin Walad bersama ribuan orang lainnya meninggalkan Balkh karena takut kepada serbuan pasukan Mongol yang dipimpin Jengis Khan yang sudah menjarah beberapa negeri di Khurasan dan sudah hampir memasuki Balkh.

Dalam pengembaraan ini, Jalaluddin ar-Rumi menikah di Laranda (Kirman) dan mempunyai seorang putra yang bernama Sultan Bahauddin Walad, lahir 1226.

Jalaluddin ar-Rumi mulai tertarik pada tasawuf melalui pengaruh Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmuzi (w. 1240), bekas murid ayahnya di Balkh yang datang ke Konya. Dari Burhanuddin ia belajar rahasia pemikiran tasawuf secara mendalam untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Sepeninggal Burhanuddin, Jalaluddin ar-Rumi menggantikannya sebagai syekh.

Pada 1244 Jalaluddin ar-Rumi berkenalan dengan seorang darwis kelana (pengembara), Syamsuddin at-Tabrizi, yang kemudian menjadi guru tasawufnya yang amat dicintainya. Ketika gurunya wafat, ia menulis Diwan Shams-i tabriz, kumpulan syair sebagai penghormatan, ungkapan kesedihan, dan dukacita yang mendalam kepada Syamsuddin at-Tabrizi.

Selanjutnya ia menjalin hubungan kasih secara mistik dengan Salahuddin Zarkub, khalifahnya yang mengajarkan ritual Tarekat Maulawiyah. Ketika Salahuddin meninggal (1261), Jalaluddin­ ar-Rumi menunjuk Husanuddin Hasan bin Muhammad bin Hasan bin Akhi Turk sebagai penggantinya.

Kemudian Husanuddin inilah yang memberikan inspirasi kepada Jalaluddin ar-Rumi untuk menulis al-Masnawi. Selanjutnya Husanuddin minta kepada gurunya agar membuat karya tasawuf lebih dari karya Fariduddin Attar (513 H/1119 M–627 H/1230 M) dan Abu al-Majd Majdud Sanai, keduanya ahli tasawuf dari Persia (Iran).

Akhirnya Husanuddin diberi tugas untuk menulis baris sajak Jalaluddin ar-Rumi yang diucapkannya ketika sedang berjalan-jalan, duduk, atau sedang mandi. Oleh karena itu, ia menyebut kitab al-Masnawi dengan Kitab Husam, karena ia mengibaratkan dirinya sebagai seruling di bibir Husanuddin yang menyenandungkan musik yang mengharukan.

Karya sastra tasawuf yang dihasilkan Jalaluddin ar-Rumi dalam al-Masnawi lebih dari 25.000 baris yang terbagi menjadi enam jilid, disusun selama 14 tahun. Karyanya yang lain adalah kumpulan prosa Fihi ma Fihi dan sejumlah surat.

Sepeninggal Jalaluddin ar-Rumi, Husanuddin menjadi syekh yang memimpin Tarekat Maulawiyah sampai 1284. Setelah itu, pimpinan beralih ke tangan Sultan Walad, putra Jalaluddin ar-Rumi, yang kemudian mengatur ritual tari-tarian dan pengukuhan hierarki tarekat. Ia juga menyusun buku, yaitu Ma‘arif, Ibtida Name, Intiha Name, dan Rabab Name, semuanya dalam bahasa Persia, sebagai ulasan dari karya ayahnya.

Tarekat ini mempraktekkan ritual sama’ (tarian berputar para darwis) yang biasanya diadakan seusai salat Jumat. Para darwis dalam ritual ini memakai pakaian khusus yang terdiri dari sebuah topi (sikke), baju panjang putih tanpa lengan (tennure), jaket berlengan panjang (destegul), ikat pinggang (elif lam-end), dan sebuah mantel hitam (khirqe).

Khirqe ini dilepas sebelum upacara sama’. Tarian mistik ini diiringi musik dan nyanyian. Dalam upacara tersebut syekh berdiri di sudut yang paling terhormat dan para darwis melewatinya sebanyak tiga kali. Setiap kali lewat mereka saling memberi salam, sampai akhirnya gerakan berputar-putar dimulai.

Gerakan ini dilakukan dengan kaki dan tangan yang kecepatannya semakin meningkat. Apabila seorang darwis menjadi sangat bergairah, seorang darwis lainnya yang bertugas mengatur penyelenggaraan akan menyentuh perlahan-lahan bajunya, supaya gerakan tariannya terkendali.

Tarian ini dimulai dengan nyanyian pujian untuk menghormat Nabi SAW dan berakhir dengan nyanyian pendek penuh semangat yang kadang-kadang dinyanyikan dalam bahasa Turki.

Jalaluddin ar-Rumi mengibaratkan gerak putar tarian para darwis ini seperti pembuat anggur yang menginjak buah anggur sehingga tercipta anggur rohani. Sama’, menurutnya, adalah makanan rohani seperti zikir yang di dalamnya manusia berputar mengitari pusat gaya berat rohani, yaitu Tuhan.

Upacara ini diadakan di tekye (ada yang menyebutnya tekke), tempat ibadah sufi Maulawiyah. Sebelum kegiatan tarekat ini dilarang Mustafa Kemal Ataturk (penguasa Turki) pada 1925, tekye ini banyak terdapat di Istanbul dan Konya. Namun pada 1954, upacara sama’ diperkenankan kembali oleh pemerintah Turki.

Pimpinan tertinggi tarekat Maulawiyah digelari dengan beberapa nama, yaitu Mulla Khunkar, Hadret-i Pir, Celebi Mulla, dan Aziz Efendi. Seorang pimpinan dibantu seorang wakil.

Orang yang ingin menjadi anggota Maulawiyah disyaratkan harus menjalani latihan selama 1.001 hari, dibagi pada periode-periode 40 hari. Selama latihan, calon harus mempelajari al-Masnawi dengan pembacaan yang benar, teknik tarian berputar, dan silsilah tarekat, mulai dari gurunya sampai ke generasi sebelumnya yang berakhir pada Rasulullah SAW.

Setelah latihan berakhir, pemula diberi pakaian resmi di tekye dan diperintahkan terus menjalankan praktek tarekat sampai ia yakin dirinya sanggup berhubungan dengan Tuhan melalui tarian putar, khalwat (pengasingan diri), dan musik.

Tarekat Maulawiyah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Kerajaan Usmani (Ottoman) dan kalangan seniman. Disebutkan bahwa semenjak 1648 pemimpin Tarekat Maulawiyah mendapat hak istimewa memakaikan pedang kepada seorang sultan yang baru dilantik.

Para sultan tampaknya mendekati Tarekat Maulawiyah untuk menghadapi penganut Tarekat Bektasyi (aliran tarekat yang tertua yang berpengaruh di Turki) yang mendukung Janissary untuk melawan pemerintah dan juga untuk menghadapi ulama yang mendukung perlakuan istimewa masyarakat muslim yang lebih dari kaum Zimi.

Sultan Abdul Aziz (1861–1876) dan Sultan Muhammad Rasyad (Muhammad V, memerintah 1909–1918), keduanya sultan Kerajaan Usmani, tercatat sebagai anggota Tarekat Maulawiyah.

Pada 1634 Sultan Murad IV (sultan Kerajaan Usmani; 1623–1640) memberikan kharaj (dana yang dikumpulkan dari umat Islam untuk membiayai kegiatan Tarekat Maulawiyah) dari Konya untuk Tarekat Maulawiyah.

Tarekat ini tersebar di Istanbul pada zaman Sultan Ibrahim (1640–1648). Di Istanbul dan sekitarnya terdapat tiga maulawikhana (tempat kegiatan utama Tarekat Maulawiyah) dan satu tekye.

Maulawikhana juga disebutkan terdapat di Konya, Manissa, Qarahisar, Bahariya, Cairo, Gallipoli, dan Brusa. Tekye yang lebih kecil banyak terdapat di daerah Turki Usmani sampai Mesir dan Suriah.

Pada waktu berkuasa, Mustafa Kemal Ataturk mengeluarkan dekrit 4 Desember 1925 yang isinya menutup semua tekye di Turki dan melarang aktivitas tarekat tersebut serta mengubah maulawikhana di Konya menjadi museum.

Namun demikian, pengikut dan simpatisan tarekat masih menjalankan kegiatan secara diam-diam. Ribuan orang Turki masih tetap menghormati Maulana Jalaluddin ar-Rumi dan menziarahi kuburnya.

Pesta peringatan hari kematian Jalaluddin ar-Rumi setiap tahun tetap diperingati secara besar-besaran. Tahun 1954 tarekat ini diizinkan kembali melaksanakan kegiatannya. Hal ini dirayakan dengan melaksanakan ritual sama’ di Konya.

DAFTAR PUSTAKA
Goldziher, Ignas. Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Hersri Setiawan. Jakarta: Indonesian-Netherlands Coorporatin in Islamic Studies (INIS), 1991.
Hakim, Khalifa Abdul. The Metaphysics of Rumi. Lahore: Institute of Islamic Culture, 1965.
Iqbal, Afzal. Life and Work of Rumi. Lahore: Institute of Islamic Culture, 1978.
Nicholson, Reynold A. Rumi Poet and Mystic. London: Unwin Paperbacks, 1978.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam, atau Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
M. Rusydi Khalid