Istilah al-maujudah berasal dari wujud yang berarti “ada”, “menjumpai”, atau “menemui”. Dalam filsafat dan ilmu kalam istilah al-maujudah berarti “segala sesuatu yang benar-benar ada (nyata) di alam”. Pembahasan tentang maujudat telah dilakukan oleh para filsuf Yunani Kuno. Mereka telah berusaha menjelaskan hakikat dan asal mula maujudat.
Menurut Thales (filsuf Yunani; 624–545 SM), segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari air karena air bisa bersifat padat apabila membeku, bersifat cair apabila mencair, dan menjadi gas apabila menguap.
Adapun menurut Empedocles (filsuf, negarawan, dan penyair Yunani; 490–430 SM), alam tercipta dari beberapa unsur dasar yang saling berkaitan, yaitu api, udara, air, dan tanah.
Segala perubahan atau kejadian yang ada dipersatukan atau dipisahkan oleh unsur-unsur tersebut. Bagi Anaximander (filsuf Yunani, murid Thales; 610–546/545 SM), maujudat berasal dari apeiron yaitu sesuatu yang tak terbatas, merupakan asal dari segala sesuatu dan kepadanya pula segala sesuatu akan kembali.
Anaxagoras (filsuf Yunani; 500–428 SM) berpendapat bahwa pada maujudat terdapat nus, yaitu sejenis tubuh halus yang murni dan menjadi asal segala sesuatu. Adapun menurut Leucippus (filsuf Yunani abad ke-5 SM yang mengemukakan teori atomisme), segala sesuatu berasal dari atom atau sesuatu yang tidak dapat dibagi.
Pandangan para filsuf Yunani Kuno itu kemudian berkembang menjadi satu aliran dalam filsafat, yakni materialisme (serba zat). Bagi aliran ini, segala keadaan dan kejadian berasal langsung dari materi.
Materi merupakan realitas, sifat, dan keadaan terakhir maujudat. Namun, para filsuf tersebut berbeda pendapat saat membahas tentang roh. Menurut aliran materialisme dualistik, roh juga merupakan materi.
Tetapi berbeda dengan materi tubuh, materi roh lebih halus dan mudah bergerak. Adapun menurut aliran materialisme monistik, roh merupakan aktivitas dari jasad. Karena itu, apabila jasad rusak maka hilang pula aktivitas.
Berbeda dengan pendapat tersebut, menurut Plato (filsuf Yunani kuno; 428/427–348/347 SM), realitas fundamental maujudat adalah ide. Baginya, di belakang alam empiris yang dapat dilihat atau dirasakan terdapat alam ide, yaitu alam esensi yang riil (nyata).
Alam fenomena yang tampak ini merupakan penampakan lahir atau bayang-bayang dari alam ide tersebut. Pandangan ini kemudian berkembang menjadi aliran idealism atau spiritualisme. Bagi aliran ini, pengetahuan manusia tentang dunia roh lebih pasti dan lebih dalam daripada pengetahuan tentang dunia materi.
Menurutnya, dunia materi penuh ketidakpastian. Segala sesuatu yang dapat ditangkap pancaindra tidak pasti demikian adanya. Di samping itu, nilai suatu materi sering terkait dengan roh. Manusia tidak akan memiliki arti apabila hanya tinggal jasad. Jasad merupakan bayangan dari roh.
Pandangan filsuf sufi tentang maujudat lebih dekat kepada aliran idealisme. Menurut Syihabuddin as-Suhrawardi (548 H/1153 M–587 H/1191 M), prinsip utama maujudat adalah nuri qahir (cahaya mutlak) atau cahaya pertama.
Cahaya ini tidak mempunyai penyebab lain di luar diri-Nya dan menjadi sumber segala cahaya. Jumlah cahaya yang mengalir dari cahaya pertama tidak terbatas. Penerangan yang semakin terang pada gilirannya menjadi sumber penerangan lain.
Cahaya (al-anwar) pada tingkat kedua disebut cahaya abstrak yang berwujud intelek dan jiwa. Di bawahnya terdapat cahaya atribut yang juga berfungsi sebagai atribut sesuatu yang berada di luarnya. Cahaya dalam tingkat ini sudah lemah sehingga mewujud sebagai materi. Materi ini menjadi eksistensi maujudat.
Adapun menurut Ibnu Arabi (560 H/1165 M–638 H/1240 M) dalam pemikiran tasawufnya yang dikenal sebagai wahdatul wujud, di alam ini hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan.
Hanya Tuhan yang memiliki wujud hakiki, yang lain hanya memiliki wujud nisbi dan keberadaannya bergantung pada wujud di luar dirinya (wujud Tuhan). Maujudat adalah penampakan lahir (tajali) Tuhan. Karena itu, maujudat merupakan wujud majasi (kiasan) yang keberadaannya tergantung pada wujud hakiki (wujud Tuhan).
Bagi filsuf muslim, realitas maujudat adalah akal. Tuhan adalah “Akal” yang merupakan asal maujudat. Al-Farabi memadukan teori emanasi Plotinus (w. 270) dengan ajaran Islam.
Menurut al-Farabi, segala sesuatu terdiri dari materi dan bentuk. Esensi materi tidak akan dapat diketahui kalau belum ada bentuknya. Karena itu, materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan.
Materi dan bentuk tidak akan ada kalau tidak ada esensi yang menjadi intinya. Dengan demikian, esensi, materi, dan bentuk senantiasa tidak terpisahkan. Esensi segala sesuatu adalah akal, yang secara melimpah (faid) bersumber dari Tuhan.
Selain al-Farabi, filsuf muslim lainnya yang mengemukakan teori emanasi adalah Ibnu Sina. Baginya, wujud terdiri dari dua macam.
(1) Wajib al-wujud (wujud yang pasti) yaitu esensi yang pasti mempunyai wujud. Adakalanya kepastian wujudnya itu disebabkan oleh dirinya sendiri dan adakalanya sesuatu yang lain. Wajib al-wujud ini terbagi menjadi dua:
(a) wajib al-wujud bi dzatihi (wajib adanya karena dirinya sendiri), yaitu Tuhan; (b) wajib al-wujud bi gairihi (wajib adanya karena yang lain), seperti adanya basah karena adanya air.
(2) Mumkin al-wujud (wujud yang mungkin), yaitu esensi yang keberadaan serta ketidakberadaannya dapat digambarkan, mungkin ia ada dan mungkin pula tidak ada. Baik hakikat wajib al-wujud maupun hakikat mumkin al-wujud adalah akal. Tuhan sebagai Wajib al-wujud adalah “Akal Murni” yang memancarkan akal sehingga tercipta maujudat sebagai per-wujudan akal tersebut.