Matlak dan istikmal adalah dua istilah yang terkait erat dalam masalah penetapan waktu pelaksanaan ibadah, khususnya puasa dan haji. Kata matlak (al-mathla‘) berarti tempat “terbitnya bulan”, sedangkan istikmal (al-isti‘mal) berarti “penyempurnaan”.
Istilah matlak dimaksudkan sebagai kajian terhadap terbitnya hilal (bulan sabit, awal terbitnya bulan) untuk penentuan awal bulan Ramadan, yang merupakan bulan pelaksanaan ibadah puasa, dan awal bulan Syawal sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadan.
Adapun istikmal adalah penentuan awal Ramadan dengan menyempurnakan bilangan bulan Syakban menjadi 30 hari apabila tanda hilal bulan Ramadan tidak tampak dan menyempurnakan bilangan bulan Ramadan menjadi 30 hari jika hilal awal bulan Syawal tidak dapat dilihat.
Cara ini ditempuh apabila cuaca buruk sehingga kemunculan hilal tidak dapat dipastikan atau karena ulama tidak menerima penentuan awal bulan dengan teori ilmu hisab atau ilmu falak.
Dalam pembahasan masalah matlak, ulama lebih memusatkan pada persoalan perbedaan penetapan awal terbitnya bulan pada setiap bulan Kamariah (tarikh). Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah puasa, permasalahannya adalah apakah penglihatan penduduk suatu daerah terhadap hilal, tanda awal atau akhir bulan Ramadan, berpengaruh terhadap daerah lain.
Ibnu Abidin (1198 H/1714 M–1252 H/1836 M), ulama fikih Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa munculnya hilal pada setiap daerah dengan waktu yang berbeda-beda tidak dapat diingkari; apalagi jika daerah itu saling berjauhan.
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW menyatakan, “Jika kamu melihat (hilal) bulan (Ramadan), maka berpuasalah kamu dan jika kamu melihat (hilal) bulan (Syawal), maka berbukalah kamu.”
Hadis itu tidak secara tegas menunjukkan apakah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal, kewajiban memulai ibadah puasa hanya berlaku untuk mereka atau juga berlaku untuk seluruh daerah Islam.
Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat ulama. Namun, apabila suatu negara dipimpin seorang kepala negara muslim dan kepala negara itu mengumumkan dimulainya awal Ramadan berdasarkan penglihatan di suatu daerah, pengumumannya itu wajib diikuti oleh kaum muslim di seluruh negara itu.
Misalnya, daerah Aceh telah melihat hilal secara meyakinkan dan pemerintah mewajibkan memulai awal puasa berdasarkan penglihatan itu, seluruh umat Islam di Indonesia wajib melaksanakan puasa pada hari itu. Ketentuan ini disepakati seluruh ulama fikih karena dalam kaidah fikih disebutkan: “keputusan hakim (pemerintah) menghilangkan segala perbedaan pendapat”.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, apabila suatu negeri telah melihat hilal dalam menentukan awal Ramadan atau awal Syawal, daerah lain wajib mengikuti daerah yang telah melihat itu.
Artinya, jika daerah yang melihat hilal itu telah menentukan awal puasa, daerah lain wajib berpuasa pada hari itu juga. Alasan mereka adalah karena hadis Rasulullah SAW yang dikemukakan di atas tidak membedakan antara satu daerah dan daerah lainnya.
Ulama Hanifah mengartikan Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 185 dengan: “…Jika kamu telah melihat bulan, maka hendaklah kamu berpuasa…”, juga tidak ditujukan kepada penduduk tertentu, tetapi berlaku umum untuk seluruh umat Islam di mana pun mereka berada.
Dengan demikian, perbedaan matlak bagi Mazhab Hanafi tidak ada pengaruhnya dalam menentukan awal Ramadan, awal Syawal, dan hari wukuf di Arafah.
Adapun ulama dari Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa tidak wajib satu daerah memulai puasa bersamaan dengan daerah lain yang telah melihat hilal bulan Ramadan karena masing-masing daerah mempunyai matlak sendiri, yang menandakan berbedanya awal Ramadan di setiap daerah.
Ulama Syafi‘i memahami hadis Nabi SAW di atas ditujukan kepada penduduk setiap negara, bukan untuk umat Islam seluruhnya. Alasan lain yang mereka kemukakan adalah hadis yang diriwayatkan mayoritas ahli hadis, selain Bukhari dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas.
Dalam hadis itu, diceritakan bahwa Umm Fadl diutus ke Syam (sekarang Suriah) untuk menemui Mu‘awiyah (gubernur Syam ketika itu), untuk suatu keperluan. Ketika di sana, ia melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian ia kembali ke Madinah.
Abdullah bin Abbas bertanya kepadanya, “Kapan kamu melihat hilal di Syam?” Umm Fadl menjawab, “Malam Jumat.” Ibnu Abbas kemudian melanjutkan pertanyaan, “Apakah engkau melihat sendiri?” Umm Fadl menjawab, “Benar, dan penduduk Syam juga melihatnya, kemudian mereka berpuasa, dan Mu‘awiyah juga berpuasa.”
Ibnu Abbas lalu berkata, “Kami melihatnya malam Sabtu sehingga kami baru berpuasa setelah Syakban penuh jadi 30 hari.” Umm Fadl bertanya, “Apakah hilal yang telah dilihat penduduk Syam itu tidak berlaku bagi penduduk Madinah?”
Ibnu Abbas mengatakan, “Tidak demikian yang diperintahkan Rasulullah kepada kami.” Hadis ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas menolak berpuasa berdasarkan hilal yang telah dilihat Umm Fadl dan penduduk Syam.
Di samping itu, ada juga sebagian ulama fikih yang membedakan jarak antardaerah. Jika daerah yang telah melihat hilal itu berada jauh dari daerah lain, hilal itu hanya berlaku bagi penduduk yang telah melihatnya, sedangkan jika kedua daerah itu berdekatan, hilal yang dilihat di suatu daerah berlaku bagi daerah yang berada di sekitarnya.
Namun untuk menentukan kriteria jarak jauh dan dekat ini pun terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama mengatakan jauh itu bisa dibedakan berdasarkan perbedaan matlak, seperti perbandingan jarak antara satu kota di suatu negara dan kota lain di negara lain;
sedangkan yang dekat, seperti jarak antara dua kota dalam satu negara. Pendapat kedua mengatakan kriterianya adalah iklim di negeri itu. Jika iklimnya berbeda berarti jaraknya jauh, namun jika iklimnya sama berarti jaraknya dekat.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa ukuran jauh itu diukur dengan masalah kasar (jarak yang dibolehkan meringkas salat). Jika dibolehkan mengasar salat, berarti jaraknya jauh, namun jika tidak dibolehkan berarti jaraknya dekat.
Dalam permasalahan penentuan awal dan akhir bulan Ramadan dengan cara istikmal, dasar pemikirannya adalah hadis Rasulullah SAW yang mengatakan, “Jika kamu telah melihatnya (hilal Ramadan), maka puasalah kamu dan jika kamu telah melihatnya (hilal Syawal), maka berbukalah kamu; dan jika bulan (hilal) tertutup awan sehingga tidak terlihat, maka perhitungkanlah olehmu” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
Hadis ini sejalan dengan firman Allah SWT yang berati: “…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya…” (QS.2:185).
Kalimat “perhitungkanlah olehmu” dalam hadis itu dan kalimat “mencukupkan bilangan” dalam ayat di atas ditafsirkan para ahli hadis sebagai “menyempurnakan bilangan bulan Syakban atau Ramadan menjadi 30 hari”, karena ada hadis lain yang secara jelas menyatakan hal tersebut, yaitu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah.
Permasalahan matlak dan istikmal di daerah kutub atau subtropik belum dibahas ulama di zaman klasik. Dalam tulisan fikih modern, seperti dalam kitab al-Fiqh al-Muqaran yang disusun Muhammad Said Ramadan al-Buti, ahli usul fikih, ditemukan pendapat para ahli fikih yang menyatakan terdapatnya kesulitan dalam mengidentifikasi bulan di kedua daerah tersebut sehingga tidak mungkin untuk melihat hilal.
Untuk menentukan awal Ramadan, awal Syawal, dan awal setiap bulan Kamariah di kedua daerah itu dapat dipergunakan waktu yang berlaku di daerah terdekat dari daerah kutub atau subtropik tersebut yang dapat diidentifikasi terbitnya awal bulan.
Dengan demikian, apabila daerah terdekatnya telah melihat hilal Ramadan, umat Islam di daerah kutub atau daerah subtropik wajib memulai puasa mereka; dan apabila daerah terdekat telah melihat hilal awal Syawal, umat Islam di daerah kutub atau subtropik itu pun harus mengakhiri puasa mereka.