Mataram adalah sebuah kerajaan Islam di Jawa Tengah, berdiri sejak Kesultanan Pajang runtuh pada 1582. Riwayat Mataram menjadi satu episode penting dalam sejarah Islam Nusantara karena berperan penting sejak abad ke-16 sampai penetrasi Barat di Jawa Tengah. Hal ini terlihat dari semangat para raja untuk memperluas daerah serta mengislamkannya, keterlibatan pemuka agama dalam pengembangan budaya Islam di Jawa, dan perjuangan menentang penjajahan Belanda.
Pada mulanya, daerah Mataram merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang. Sebagai balas jasa atas perjuangannya terhadap Kesultanan Pajang, Sultan Hadiwijoyo (1550–1582) menghadiahkan daerah ini kepada Kiai Ageng Pamanahan.
Selanjutnya, daerah ini dibangun oleh Kiai Ageng Pamanahan sebagai tempat pemukiman baru dan persawahan. Namun, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat tanggapan pro dan kontra dari para penguasa setempat.
Misalnya, Kiai Ageng Giring yang berasal dari wangsa Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya. Begitu pula Kiai Ageng Tembayat dan Kiai Ageng Mangir. Namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya Kiai Ageng Karanglo.
Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah pendirian Kiai Ageng Pamanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. Ia membangun pusat kekuasaannya di Plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya serta menaklukkan daerah sekitarnya.
Pada 1575 Kiai Ageng Pamanahan meninggal dunia. Ia digantikan putranya, Sutowijoyo atau Pangeran Ngabehi Lor ing Pasar. Di samping bertekad melanjutkan sifat ekspansif orangtuanya, ia pun mempunyai cita-cita utama sejak diangkat sebagai penguasa, yakni membebaskan diri dari kekuasaan Pajang, yang menyebabkan hubungannya dengan kesultanan tersebut menjadi kurang baik.
Ia sering melakukan selamatan sebagai pesta politik untuk meningkatkan solidaritas di kalangan para pengikutnya. Selain itu ia menaklukkan Kiai Ageng Mangir dan Kiai Ageng Giring.
Hubungan yang tegang antara Pangeran Ngabehi Lor ing Pasar dan Kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam peperangan ini, Kesultanan Pajang mengalami kekalahan.
Pangeran Ngabehi Lor ing Pasar mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alogo setelah sultan Pajang meninggal dunia (1582). Ia mulai membangun kerajaannya dan kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Kotagede.
Untuk memperluas daerah kekuasaannya, ia melancarkan ekspansi. Pada 1590 ia menyerang Madiun yang pada waktu itu bersekutu dengan Surabaya. Pada 1591 ia menyerang Kediri dan Jipang, dan pada 1598/1599 menyerang Pasuruan dan Tuban. Panembahan Senopati terus memperluas kekuasaannya sampai ia meninggal (1601). Ia digantikan putranya, Mas Jolang atau Panembahan Krapyak (1601–1613).
Sebagai raja Islam yang baru, Panembahan Senopati melaksanakan ekspansi itu sebagai perwujudan dari cita-citanya bahwa Mataram harus menjadi pusat budaya dan agama Islam untuk menggantikan atau melanjutkan Kesultanan Demak.
Usaha untuk mewujudkan cita-cita itu semakin kuat karena Adipati Mandakara dan Sunan Kalijaga memberi dorongan padanya. Disebutkan pula bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit atau ilham yang diterimanya di Lipura (sebelah barat kota Yogyakarta) melalui mimpi dan pertemuannya dengan penguasa laut selatan, Nyai Roro Kidul, ketika bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di selatan Yogyakarta.
Dari pertemuan itu diketahui bahwa ia kelak akan menguasai seluruh tanah Jawa. Karena itu, pada masa berikutnya di sini terjadi suatu rumusan sejarah bahwa manusia itu selalu mengikuti agama yang dianut penguasanya (an-nas ‘ala dini mulukihim). Dengan kata lain, para penduduk daerah taklukannya menganut agama Islam. Hal ini merupakan salah satu jasa Kerajaan Mataram dalam pengembangan Islam di Jawa.
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan Mataram Islam adalah sistem kultus “dewa-raja”, artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak ada pada diri sultan. Seorang raja sering kali digambarkan memiliki sifat magis dan keramat, yang kebijaksanaannya terpancar dari kejernihan air muka dan kewibawaannya yang tiada tara.
Raja menampakkan diri pada rakyatnya sekali seminggu di alun-alun keraton. Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat. Di samping itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumayudha dan perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara (pejabat administrasi).
Setelah Panembahan Krapyak meninggal, ia digantikan Raden Mas Rangsang (1613–1645). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mataram meraih kejayaannya, baik dalam bidang ekspansi militer untuk memperluas daerah kekuasaannya maupun dalam bidang agama dan kebudayaan.
Selama pemerintahannya, Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman telah melancarkan sejumlah serangan ke berbagai daerah di sekitar Jawa yang menyebabkan daerah kekuasaannya menjadi sangat luas. Pada 1614 ia menyerang Kediri, Pasuruan, Lumajang, Malang, dan selanjutnya menuju Surabaya.
Namun Pangeran Pekik dari Surabaya mengerahkan kekuatan para penguasa pesisir, antara lain K.T. Kapulungan dan Ranggalelanan dari Pasuruan, Dipati Pasagi dan K. Patih Jayasaputra dari Tuban, dan K. Martanegara dari Sedayu, yang menyebabkan pasukan Mataram terpukul mundur.
Pada 1615 serangan Mataram lebih difokuskan ke daerah Wirasaba, tempat yang sangat strategis untuk menghadapi Jawa Timur. Daerah ini berhasil ditaklukkan. Pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara Mataram dan tentara sekutu (Surabaya, Pasuruan, Tuban, Jepara, Wirasaba, Arosbaya, dan Sumenep).
Peperangan ini dapat dimenangkan tentara Mataram, yang merupakan kunci kemenangannya untuk masa selanjutnya. Pada tahun yang sama Lasem menyerah. Pada tahun 1619, Tuban dan Pasuruan digempur dan dapat ditundukkan.
Selanjutnya Mataram berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk menghadapi Surabaya, Mataram melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah pedalaman, seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya Surabaya dapat ditaklukkan 1625.
Pada 1627 Kerajaan Mataram menyiapkan pasukan untuk menggempur Batavia (Jakarta) di bawah pimpinan Tumenggung Baurekso dan Tumenggung Suro Agulagul. Namun, serangan ini gagal dan Tumenggung Baurekso gugur.
Kegagalan ini menyebabkan Mataram bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih dan persiapan yang lebih matang. Maka pada 1629 pasukannya menyerang Batavia di bawah pimpinan Kiai Ageng Juminah, Kiai Ageng Purbaya, dan Kiai Ageng Puger.
Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan Weesp. Akan tetapi, serangan ini kembali mengalami kegagalan yang menyebabkan pasukan Mataram kembali ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan Mataram diarahkan ke daerah timur, misalnya Blambangan yang dapat ditundukkan pada 1639.
Hasil ekspansi ini membuat wilayah Kerajaan Mataram semakin luas, yang meliputi seluruh Jawa dan Madura (kecuali Batavia dan Banten), dan beberapa daerah di luar Pulau Jawa, seperti Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.
Namun, keberhasilan tersebut membuat sebagian penduduk menjadi gusar sehingga menimbulkan pemberontakan, seperti yang dilancarkan keturunan Sunan Tembayat, keturunan Kadilangu, wangsa Kajoran, dan keturunan Panembahan Rama dan Panembahan Giri.
Bahkan terdapat 27 desa yang menentang raja secara terang-terangan. Akan tetapi, dengan berbagai pendekatan, akhirnya pemberontakan ini dapat diredam.
Di samping sukses dalam pengembangan wilayah, Kerajaan Mataram juga memperlihatkan keberhasilan dalam bidang agama dan kebudayaan karena ekspansi ini disemangati keinginan untuk mengislamkan daerah tersebut.
Menurut sebagian ahli sejarah, sebelum peradaban Islam Mataram terbentuk, di daerah aliran Kali Opak dan Kali Progo telah terdapat peradaban yang bercorak Hindu-Buddha. Hal ini dibuktikan dengan penemuan reruntuhan candi Siwa dan Buddha di sekitar daerah Kedu, Bagelen, dan Yogyakarta.
Bukti ini memperkuat dugaan bahwa peradaban Islam Mataram identik dengan budaya pesisir utara Jawa Tengah yang bercampur unsur Hindu-Buddha seperti terlihat dalam upacara sesaji dan kurban yang masih diteruskan.
Mata pencaharian penduduk Mataram pada umumnya bertani. Mereka hidup bergantung pada gula aren dan kelapa. Apabila telah memasuki musim panen, mereka memetiknya secara bergotong-royong dan setelah selesai panen mereka sama-sama mendirikan masjid, membangun balai desa, melakukan berbagai kegiatan keagamaan, dan upacara adat.
Dalam cerita babad dilukiskan, betapa Sultan Agung telah berhasil membangun ibukota Mataram di Kerta dan mendirikan Keraton Plered yang sering kali dikaitkan dengan lahirnya peradaban Jawa.
Peninggalan Sultan Agung yang legendaris adalah usaha pembaruannya dalam kalender Jawa. Sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang dikenal di P. Jawa didasarkan pada sistem matahari yang lebih terkenal dengan kalender Saka.
Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bulan Kamariah yang juga disebut sebagai kalender Hijriah. Sultan Agung mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta menjadikannya kalender resmi Mataram.
Ciri kalender tersebut adalah penggunaan sistem bulan (hijriah) dengan menggunakan tahun Saka. Dalam sistem baru ini terdapat perubahan nama bulan, misalnya bulan Safar dalam tahun Hijriah menjadi Sapar dalam tahun Jawa, Rajab menjadi Rejeb, Zulhijah menjadi Dulkangidah, Muharam menjadi Sura, dan Ramadan menjadi Pasa.
Ciri lain terlihat pada hari yang dikenal sebagai “hari pasaran”, yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Wuku, Wawu, dan Windu. Sistem ini diresmikan 8 Agustus 1633/1 Muharam 1043 atau 1 Sura 1555 tahun Jawa.
Upacara peninggalan leluhur mereka sejak zaman Majapahit (sekitar abad ke-13 dan ke-15), seperti Aswamenda dan Asmaradhahana, tetap dilakukan. Misalnya, dalam upacara Garebeg yang telah dimodifikasi dikenal tiga macam bentuk, yakni Garebeg Pasa, Garebeg Besar pada hari Idul Adha, dan Garebeg Mulud pada saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Bidang lain yang cukup menonjol adalah seni lukis, patung, ukir, dan seni pembuatan masjid. Kreasi para seniman tampak pada gapura dan ukiran di tempat suci keagamaan.
Ukiran yang berbentuk binatang atau makhluk hidup selalu digambarkan dalam bentuk samar karena adanya larangan ajaran Islam mengenai hal itu.
Kerajaan Mataram Islam memiliki andil besar dalam pengembangan dan penyiaran Islam di Jawa melalui ekspansinya. Hingga abad ke-18 sebagian orang Jawa telah menganut ajaran Islam.
Meskipun ada pengaruh sinkretik, Islam yang mereka anut mempunyai sifat yang tidak eksklusif. Banyak usaha yang dilakukan pada masa itu, antara lain pendirian rumah ibadah, penerjemahan naskah Arab, penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa, dan pendirian pesantren.
Sultan Agung meninggal dunia pada tahun 1645. Selanjutnya Mataram diperintah putranya, Sunan Tegalwangi, dengan gelar Amangkurat I. Namun, dalam masa pemerintahannya dan masa selanjutnya, Kerajaan Mataram mengalami kemunduran. Wilayah kekuasaannya berangsur-angsur menyempit karena aneksasi yang dilakukan Belanda.
Setelah Perang Trunojoyo berakhir (1678), Mataram harus melepaskan daerah Karawang, sebagian daerah Priangan, dan Semarang. Demikian pula setelah perlawanan Untung Suropati dapat dipadamkan (1705), daerah Cirebon yang mengakui kekuasaan Mataram, sebagian daerah Priangan, dan separuh bagian timur P. Madura diambil alih Belanda.
Bahkan setelah Perang Cina berakhir (1743), seluruh daerah pantai utara Jawa dan seluruh Pulau Madura telah dikuasai Belanda.
Wilayah kekuasaan Mataram semakin terpecah-belah setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755). Berdasarkan Perjanjian Giyanti, Mataram dipecah menjadi dua, yakni Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta. Pada 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan Pakualam.
Keempat pecahan Kerajaan Mataram ini pada masa pemerintahan Hindia Belanda lazim disebut vorstenlanden (tanah kerajaan), yang luasnya kurang lebih meliputi Karesidenan Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang.