Masyumi

(Majelis Syuro Muslimin Indonesia)

Masyumi adalah nama sebuah partai politik (parpol) di Indonesia pasca-kemerdekaan, dibentuk dalam kongres umat Islam Indonesia di Yogyakarta 7 dan 8 November 1945 yang dihadiri tokoh Islam pra-perang serta masa Jepang. Partai ini didukung kelompok tradisional dan modern, yang terbesar dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Ada dua keputusan penting kongres: Masyumi terbentuk sebagai parpol dan Masyumi satu-satunya parpol bagi umat Islam Indonesia.

Partai Masyumi dibentuk untuk menyalurkan aspirasi politik umat Islam yang berjumlah besar sebagai penjelmaan kehendak dan cita-cita serta potensi mereka dalam lapangan politik dan kenegaraan.

Menurut pandangan yang berkembang pada waktu itu, suatu massa yang besar dengan tidak dipimpin sebuah partai politik yang berasaskan Islam akan mudah jatuh ke golongan yang menentang penerapan syariat dalam kehidupan bernegara pada pasca-kemerdekaan.

Tujuan Masyumi seperti dinyatakan dalam Anggaran Dasarnya adalah: “Tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridaan Ilahi.”

Penjabaran tujuan ini dimuat dalam Tafsiran Anggaran Dasar, yaitu: “Kita menuju kepada baldah thayyibah wa rabbun gafur (negara yang berkebajikan diliputi keampunan Ilahi),

di mana negara melakukan kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantaraan wakil-wakil rakyat yang dipilih; di mana kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaan, tasamuh (lapang dada), keadilan sosial sebagai yang diajarkan oleh Islam, terlaksana sepenuhnya;

di mana kaum muslimin mendapat kesempatan untuk mengatur peri kehidupan pribadi dan masyarakatnya sesuai dengan ajaran dan hukum-hukum Islam sebagai yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan sunah;

di mana golongan keagamaan lainnya memilih kemerdekaan untuk menganut dan mengamalkan agamanya serta mengembangkan kebudayaannya, di mana bagi seluruh penduduknya dari segenap lapisan dapat hidup atas dasar keragaman;

terjamin baginya hak-hak asasi manusia yang termasuk di dalamnya keadilan di lapangan sosial, ekonomi dan politik, kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kemerdekaan menganut dan menjalankan agama satu dan lainnya tidak bertentangan dengan undang-undang negara dan susila.”

Secara organisasi, Masyumi merupakan sebuah badan federasi atau gabungan dari organisasi Islam, yang pada mulanya terdiri dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.

Kemudian bergabung pula Persatuan Islam (Bandung), al-Irsyad (Jakarta), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), al-Jamiatul Washliyah dan al-Ittihadiyah (Sumatera Utara), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Persatuan Umat Islam Indonesia (Majalengka dan Sukabumi), Mathla’ul Anwar (Banten), dan Nahdlatul Wathan (Lombok).

Masyumi juga membentuk sejumlah “anak organisasi”, seperti Muslimat (untuk wanita), Sarekat Dagang Islam Indonesia, Sarekat Tani Islam Indonesia, Sarekat Nelayan Islam Indonesia, dan Sarekat Buruh Islam Indonesia.

Partai ini mendapat dukungan dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia dan Hizbullah, suatu organisasi bersenjata yang dibentuk pada waktu pendudukan Jepang untuk pemuda Islam.

Keanggotaan dalam Masyumi ada dua macam: (1) perseorangan yang disebut anggota biasa dan mempunyai hak suara, dan (2) anggota organisasi atau kolektif yang disebut anggota istimewa, yaitu organisasi tersebut di atas yang mempunyai hak memberi saran atau nasihat.

Dalam partai ini terdapat dua badan penting, yaitu Pimpinan Partai atau Dewan Eksekutif yang bertugas menangani masalah politik yang ditempati kelompok modernis, dan Majelis Syuro atau Dewan Partai yang bertugas memberikan pertimbangan dan fatwa kepada pimpinan partai dalam melaksanakan tugas kepartaian, yang dijabat oleh kelompok ulama.

Struktur pengurus (1952–1960) terdiri dari Kongres Dewan Partai, Dewan Pimpinan Pusat Majelis Syuro, Anggota Istimewa Wakil di Parlemen (untuk tingkat nasional), Pimpinan Wilayah Majelis Syuro (tingkat daerah propinsi), Pimpinan Cabang Majelis Syuro (tingkat kabupaten), Pimpinan Anak Cabang (tingkat kecamatan), dan Pimpinan Ranting (tingkat Desa).

Pada 1950 Masyumi diperkirakan mempunyai 10 juta anggota, yang terdapat di 237 cabang, 1.080 anak cabang, dan 4.982 ranting. Pada 1951 diperkirakan anggotanya mencapai 13 juta.

Masyumi berhasil baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan berkat adanya dukungan organisasi Islam yang berakar dalam masyarakat, seperti Muhammadiyah, PSII, dan NU.

Yang menduduki pucuk Pimpinan Pusat Masyumi selama keberadaannya adalah sebagai berikut. Dalam periode 1945–1949, ketua adalah Dr. Sukiman Wirjosandjono dan ketua umum Majelis Syuro adalah KH Hasyim Asy’ari.

Dalam periode 1949–1951 dan 1951–1952, jabatan ketua diduduki Dr. Sukiman Wirjosandjono, dalam periode 1952–1954, 1954–1956, dan 1956–1959 oleh Mohammad Natsir, dan dalam periode 1959–1960 oleh Prawoto Mangkusasmito.

Berdasarkan anggaran dasar dan tafsirannya, Pengurus Pusat Masyumi berjuang untuk menyadarkan manusia agar menggunakan harta dan sumber alam untuk meningkatkan kebahagiaan hidup bagi kepentingan segenap manusia tanpa melupakan akhirat,

menentang kekuasaan sewenang-wenang menuju terciptanya masyarakat yang ber-ulul al-amr (mempunyai pemimpin) di atas dasar kemerdekaan dan musyawarah dalam rangka menegakkan keadilan, memelihara perdamaian, menyelesaikan perselisihan tanpa kekerasan karena muslim adalah umat pertengahan,

menyadarkan muslim Indonesia akan kewajibannya terhadap bangsa dan tanah airnya serta kewajibannya terhadap dunia dan umat manusia, menggerakkan kemampuan muslim Indonesia dalam perjuangan politik, membangkitkan kesadaran umat Islam untuk memperluas ilmu pengetahuan, dan melaksanakan ajaran Islam di berbagai aspek kehidupan.

Cara yang ditempuh adalah dengan cara:

(1) menyusun tenaga yang tertib;

(2) membangunkan perikehidupan lahir batin, pengertian, dan akhlak umat, dan mendidik sifat, kekuatan, dan kecakapan untuk memperoleh segala syarat; dan

(3) mendukung serta mengembangkan cita-cita Islam sebagai cara hidup (way of life) yang memberi rahmat kebahagiaan bagi segenap makhluk melalui jalan yang sah dan terbuka dalam negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat serta melalui saluran yang lazim dalam negara demokrasi.

Posisi dan cita-cita Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam tidak bertahan lama karena di dalam tubuh partai ini terjadi perpecahan, yang ditandai dengan keluarnya PSII pada Juli 1947 dan menyatakan diri kembali sebagai partai politik independen.

Alasan PSII keluar dari Masyumi antara lain adalah adanya kesempatan bagi kalangan Islam untuk memperoleh posisi politik dalam Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli–11 November 1947), tetapi ditolak Masyumi, sementara PSII ingin duduk di dalamnya. Posisi tokoh PSII dalam Masyumi kurang berarti.

Jejak PSII ini kemudian diikuti NU. Pada 1952 organisasi ini keluar dari Masyumi, dan sejak 1 Mei 1952 dalam muktamarnya yang ke-19 di Palembang, NU secara resmi memutuskan keluar dari Masyumi dan menjadikan dirinya partai politik.

Keluarnya NU ini disebabkan ketidakpuasan para tokohnya terhadap kebijakan pemimpin partai Masyumi yang mengurangi fungsi dan kedudukan Majelis Syuro Partai yang dipimpin golongan ulama hanya sebagai penasihat, sehingga NU merasa perannya dikurangi. NU juga tidak puas karena tuntutan NU atas kursi menteri Agama dalam Kabinet Wilopo (April 1952) tidak dipenuhi.

Pada 1952, Masyumi dalam kongresnya menetapkan program perjuangannya dalam tujuh bidang yang ingin ditegakkan dalam hidup bernegara.

(1) Kenegaraan. Dalam bidang ini Masyumi berjuang untuk terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk republik, yaitu negara yang menjamin keselamatan jiwa dan benda tiap orang dan kebebasan beragama. Masyumi lebih menyukai terbentuknya kabinet presidensial dengan tanggung jawab kepala negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

DPR hendaknya terdiri dari dua badan, Dewan berdasar pemilihan umum dengan perwakilan berimbang, dan Senat sebagai wakil daerah yang juga berdasarkan pemilihan umum. Hak asasi manusia hendaknya dijamin dalam UUD. Hak politik, sosial, dan ekonomi antara kaum wanita dan kaum pria sederajat.

(2) Perekonomian. Perekonomian hendaknya diatur menurut dasar ekonomi terpimpin. Perencanaan produksi dan distribusi penting untuk kesejahteraan rakyat. Monopoli oleh perusahaan swasta dilarang.

Politik harga dan upah harus sesuai dengan keadaan perekonomian dalam negeri. Koperasi harus dibangun dengan bantuan pemerintah. Perusahaan penting harus dinasionalisasi.

Industrialisasi hendaknya membebaskan Indonesia sebanyak-banyaknya dari keperluan impor dan mengadakan lapangan kerja, terutama di daerah yang berpenduduk padat.

Modal asing dibenarkan atas dasar “menguntungkan”. Pemerintah harus melindungi para petani, menjaga harga penjualan hasil tani dan upah minimum, membantu nelayan dengan membangun koperasi, dan lain-lain.

(3) Keuangan. Masyumi menganggap perlu dibuat undang-undang bank (swasta pribumi dan asing), kredit perlu diawasi pemerintah, sistem pajak disederhanakan demi tegaknya keadilan, yakni sedapat-dapatnya barang keperluan rakyat tidak dikenakan pajak, sedangkan pajak kemewahan perlu diperluas.

(4) Sosial. Undang-undang perburuhan perlu disempurnakan dengan memperhatikan jaminan sosial bagi kecelakaan, hari tua, penyakit, pengangguran, perjanjian kerja, upah kerja, pemberhentian dari kerja, cuti, dan penyelesaian pertikaian. Buruh berhak mendapat “upah sosial” di samping upah kerja, termasuk di dalamnya soal tanggungan keluarga dan tanggungan masa tua.

Upah yang mutlak untuk keluarga adalah untuk keluarga yang rata-rata terdiri dari dua orang anak, sedangkan upah menurut jumlah anak dirasakan kurang adil untuk majikan.

(5) Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah swasta agama perlu disubsidi. Pengajaran rendah dan menengah hendaknya di samping menumbuhkan pengetahuan juga menumbuhkan keterampilan anak.

Pendidikan agama di sekolah pemerintah ditujukan untuk pembentukan watak dan kepribadian sehingga para pemuda menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab, berjiwa kemasyarakatan, berdisiplin, dan berkesusilaan.

Pemuda yang berbakat tetapi tidak mampu harus diberi beasiswa yang cukup. Pendidikan jasmani perlu diperluas dan mutunya dipertinggi. Pendidikan rohani diselenggarakan menurut agama masing-masing.

Pemerintah hendaknya membimbing gerakan kebudayaan ke arah budi dan watak yang luhur, serta memajukan dan membantu gerakan pemuda, termasuk kepanduan.

(6) Politik Luar Negeri. Masyumi menentang penjajahan dan mendukung tiap usaha untuk menghapuskannya. Maka politik luar negeri hendaklah bertujuan mempertahankan perdamaian dunia dan mencari persahabatan dengan semua bangsa, terutama dengan bangsa yang berasaskan ketuhanan dan demokrasi. Kedudukan PBB hendaklah diperkuat.

Negara harus saling menghormati hak masing-masing dan menjunjung tinggi perjanjian antarbangsa. Bantuan luar negeri dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan negara, tanpa ikatan militer dan politik.

(7) Irian Barat. Irian Barat tetap merupakan tuntutan nasional selama ia belum masuk ke wilayah Indonesia.

Dalam Pemilu pertama (29 September 1955) Masyumi berhasil menduduki urutan kedua dalam pengumpulan suara dengan 20,9% suara. Peringkat pertama diduduki Partai Nasional Indonesia dengan 22,3% suara, NU mendapat 18,4%, Partai Komunis Indonesia (PKI) 16,4%, sisanya diraih PSII 2,9%, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 1,3%.

Dalam sidang Majelis Konstituante (1956–1959) yang membicarakan tentang dasar negara dan bentuk pemerintahan, partai Masyumi bersama partai Islam lain (PSII, NU, dan Perti) memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan memperjuangkan Piagam Jakarta.

Tetapi sampai pada sidang 22 Juni 1959 para peserta dari berbagai golongan tidak mencapai kata sepakat tentang dasar negara. Penolakan terhadap Islam sebagai dasar negara yang diusulkan golongan Islam ditolak melalui Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno yang menyatakan UUD 1945 berlaku kembali dan membubarkan Majelis Konstituante.

Konflik terjadi antara para pemimpin partai Masyumi dan Presiden Soekarno dengan ide Demokrasi Terpimpin. Para pemimpin Masyumi dituduh terlibat dalam pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi serta Pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai pemerintah tandingan.

Di Sumatera terjadi pergolakan pada 15 Februari 1958 dengan maksud untuk mencegah terjadinya kudeta komunis karena PKI telah menjadi partai terbesar di Jawa dan semakin berpengaruh kuat dalam pemerintahan. Atas dasar ini pemerintah memerintahkan partai Masyumi membubarkan diri.

Melalui Keputusan Presiden No. 200/1960 pada 17 Agustus 1960 dengan resmi diperintahkan pembubaran Masyumi. Atas perintah itu, pemimpin Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, menyatakan pembubaran partainya.

Ketika pemerintahan Soekarno tumbang, para bekas pemimpin Masyumi berusaha untuk mengaktifkan kembali Masyumi dengan harapan mendapat izin dari pemerintah Orde Baru karena mereka secara gigih ikut menentang Demokrasi Terpimpin Soekarno.

Pada mulanya pemerintah setuju. Tetapi pemerintah kemudian mengambil sikap tegas bahwa tidak seorang pun dari para pemimpin bekas Masyumi diizinkan memegang jabatan pimpinan dalam partai baru itu. Sejak itu, para bekas pemimpin Masyumi tidak diizinkan aktif dalam kegiatan politik praktis.

Sebagian dari mereka mengaktifkan diri berdakwah, dan beberapa orang dari tokoh Masyumi tersebut menjadi idola sebagian masyarakat Islam, terutama kalangan generasi mudanya.

Masyumi, yang berkiprah selama kurang lebih 15 tahun dalam percaturan politik Indonesia pasca-kemerdekaan, gagal menjadikan dirinya sebagai wadah politik satu-satunya bagi umat Islam, namun telah ikut berperan dalam pengembangan politik Islam Indonesia. Peran dan andil yang diberikannya tampak dalam upayanya:

(1) menumbuhkan kesadaran berpolitik dan bernegara di kalangan umat Islam;

(2) mendorong kesadaran umat Islam untuk meningkatkan pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara seimbang antara pengetahuan umum (sekuler) dan pengetahuan keislaman;

(3) menggalang kerjasama antara organisasi dan partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam Sidang Konstituante;

(4) menyebarluaskan prinsip ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti demokrasi dan kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, prinsip persamaan, toleransi beragama, keadilan, dan hak asasi manusia; dan

(5) mendorong organisasi pelajar/mahasiswa Islam yang dekat dengannya atau bersimpati untuk membimbing para anggotanya mengkaji Islam sehingga melahirkan tokoh pemikir muslim yang berpandangan modern dan berwawasan luas. Walaupun Masyumi berkiprah dalam dunia politik praktis, namun para pemimpinnya yang didominasi golongan modernis mencoba menampilkan Islam secara modern dalam mengantisipasi perkembangan zaman.

Sebelum berdirinya partai politik Masyumi yang dibentuk melalui kongres umat Islam di Yogyakarta November 1945, di Indonesia telah ada organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (disingkat Masyumi) yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang dan atas dukungan Jepang.

Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) ini juga merupakan Federasi Pergerakan Umat Islam di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari (NU), kemudian diganti oleh KH A. Wahid Hasyim (NU) yang didampingi sejumlah tokoh Islam lain, antara lain Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), KH Abdul Halim (Persatuan Umat Islam), dan KH Ahmad Sanusi (Perhimpunan Umat Islam Indonesia).

Majelis ini, selain mengkoordinasi kegiatan ulama untuk membina umat Islam, juga mengadakan usaha dalam rangka perjuangan kemerdekaan Indonesia. Usaha yang dilakukan antara lain adalah:

(1) melaksanakan “Pusat Latihan Pemimpin Hizbullah” di Cibarusa Lemah Abang (Bekasi), dipimpin Zainul Arifin, didampingi Anwar Tjokroaminoto, Mr. Moh. Roem, Prawoto Mangkusasmito, KH Masykur, dan lain-lain;

(2) mendirikan Sekolah Tinggi Islam, diasuh KH A. Wahid Hasyim bersama Drs. Ahmad Sigit, M. Yusuf Wibisono, Mohammad Natsir, KH Mukhtar, dan lain-lain;

(3) menerbitkan majalah Suara Muslimin, diasuh Saifuddin Zuhri, lalu digantikan oleh Harsono Tjokroaminoto, A. Basri, dan KH Mukhtar. Masyumi juga bekerjasama dengan tokoh nasionalis yang tergabung dalam Tiga A, Putera, dan “Jawa HookoKai” dalam penyusunan tentara Pembela Tanah Air (Peta).

DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni. Bandung: Pustaka Perpustakaan Salam ITB, 1945.
Karim, M. Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Nasution, A.H. Sejarah Kembali ke UUD’45. Jakarta, 1976.
Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Pimpinan Masyumi Bagian Keuangan. Pedoman Perjuangan Masyumi. Jakarta: P.P. Masyumi, 1955.
Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1981.
J. Suyuti Pulungan