Maslahat dan Mafsadat

(Ar.: al-maslahah wa al-mafsadah)

Maslahat berarti kebaikan/manfaat atau perbuatan yang mengandung kebaikan/manfaat, sedangkan mafsadat adalah segala sesuatu yang menyebabkan mudarat (bahaya, kerusakan, atau bencana). Mudarat itu sendiri adalah lawan dari maslahat.

Dalam usul fikih, pemeliharaan maslahat dan penghindaran mafsadat dikaitkan dengan lima hal pokok yang disebut al-kulliyyat al-khamsah/ad-daruriyyat al-khamsah, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

Bahkan, menurut Imam al-Ghazali (sufi, filsuf besar dari Khurasan; 1058–1111), terminologi maslahat hanya mengacu kepada kelima hal pokok tersebut, bukan pada kebiasaan (‘urf) yang berkembang di masyarakat, karena pemeliharaan maslahat untuk lima hal itu terkait dengan tujuan syariat (maqasid asy-syari‘ah).

Tujuan utama syariat adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalb al-masalih wa daf‘ al-mafasid).

Penetapan kelima hal pokok di atas sebagai objek es-ensial dalam maqasid asy-syari‘ah tidak berdasarkan dalil naqli (naqli: berdasarkan Al-Qur’an dan hadis), melainkan berdasarkan hasil istiqra’ (penyimpulan induktif) para ulama usul fikih terhadap dalil qath‘i (pasti) dan tujuan tasyri‘ (hukum syariat) yang ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an.

Sebagai hasil ijtihad, terdapat perbedaan ulama dalam urutan susunan ad-daruriyyat al-khamsah tersebut. Susunan urutan di atas adalah pendapat al-Ghazali. Adapun menurut asy-Syatibi (w. 1288; ulama usul fikih Mazhab Maliki) dalam karya besarnya al-Muwafaqat, susunannya adalah agama, jiwa, keturunan, harta benda, dan akal.

Imam al-Qarafi (w. 1285; ahli fikih Mazhab Maliki) mendahulukan jiwa daripada agama. Meskipun terdapat perbedaan susunan, para ulama sepakat dengan penentuan kelima hal tersebut sebagai maqasid asy-syari‘ah.

Pembahasan secara sistematis tentang kepentingan dan eksistensi maqasid asy-syari‘ah dilakukan oleh asy-Syatibi. Atas jasanya tersebut, ia dijuluki sebagai “bapak maqasid”. Mustafa Sa‘id al-Khin (ahli hukum Islam Universitas Damascus) dalam kitabnya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islami menggolongkan metode sistematisasi maslahat asy-Syatibi sebagai sebuah metode dan aliran khusus dalam ilmu usul fikih.

Menurut al-Khin, ada lima aliran utama usul fikih: Mutakalimin (Syafi’iyah), Fukaha (Hanafiyah), al-Jami‘, Takhrij al-Furu‘ ‘ala al-Ushul, dan Syatibiyah. Klasifikasi al-Khin mengindikasikan betapa pentingnya metode Syatibi dalam mengungkapkan serta menempatkan maslahat dalam konteks perwujudan maqasid asy-syari‘ah.

Sebelum asy-Syatibi, ada beberapa ulama usul fikih yang telah membahas maqasid (baca: maslahat), antara lain at-Turmuzi al-Hakim (abad ke-3), al-Maturidi (w. 944), al-Qaffal (w. 365), an-Nakha’i (w. 715), dan Najmuddin at-Tufi (w. 1316).

Ulama yang disebut terakhir mempunyai pandangan yang agak kontroversial tentang maslahat. Menurut at-Tufi, ajaran yang diturunkan Allah SWT melalui wahyu-Nya dan sunah Rasulullah SAW pada intinya adalah untuk kemaslahatan manusia.

Oleh karena itu, dalam segala persoalan kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan pertimbangan adalah kemaslahatan. Ia menolak klasifikasi maslahat yang dibuat ulama berdasarkan keberadaannya menurut syarak.

Ada empat prinsip yang diyakini at-Tufi dalam masalah maslahat:

(1) Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya di bidang muamalah dan adat. Kemampuan akal mencukupi untuk mengetahui dan membedakan maslahat dan mafsadat tanpa perlu didukung nas syarak.

(2) Maslahat merupakan dalil mandiri (mustaqil) dalam menentukan dan menetapkan hukum.

(3) Maslahat hanya berlaku di bidang muamalah dan adat istiadat. Masalah ibadah atau ukuran yang ditetapkan dalam syarak tidak termasuk dalam wilayah maslahat.

(4) Maslahat merupakan dalil syarak yang paling kuat; karena itu, jika ada dalil atau ijmak yang bertentangan dengan maslahat, maka maslahat metode takhsis atau bayan harus didahulukan.

Ulama usul fikih membagi maslahat dan mafsadat berdasarkan kualitas dan derajatnya dalam tiga bagian hierarkis.

(1) Ad-daruriyyah, yakni kemaslahatan atau kemafsadatan yang bersinggungan dengan masalah pokok manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Contoh maslahat daruri adalah menjaga kehidupan manusia dari hal yang merusak, seperti pembunuhan.

Peperangan atau pembunuhan disebut sebagai maslahat daruri karena membahayakan hal yang sangat vital, yaitu jiwa manusia. Jadi, maslahat dalam golongan ini berarti mencegah kemungkinan timbulnya mafsadat yang berada pada level setingkat dengan apa yang disebut di atas sebagai ad-daruriyyat al-khamsah.

(2) hajjiyyah, yakni kemaslahatan yang diperlukan sebagai penyempurna kebutuhan pokok manusia dalam konteks ad-daruriyyat al-khamsah atau suatu mafsadat yang dapat menghalangi terciptanya kemaslahatan tersebut.

Contoh mafsadat hajjiyyah adalah penipuan dan riba. Perbuatan ini, meskipun tidak secara langsung mengganggu dan membahayakan ad-daruriyyah al-khamsah di atas, membawa efek yang merugikan secara tidak langsung.

(3) Tahsiniyyah, yakni maslahat pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapai kemaslahatan sebelumnya, misalnya makan makanan bergizi dan berpakian bagus. Mafsadat pada level ini bersifat ringan dan tidak berakibat fatal, misalnya merokok di tempat umum.

Izzuddin bin Abdus Salam, ulama fikih Syafi‘i (1181–1261), membagi mafsadat berdasarkan hierarki di atas dalam dua kelompok: mafsadat muharramah dan mafsadat makruhah.

Mafsadat muharramah adalah mafsadat yang diharamkan Allah SWT karena membawa bahaya yang besar. Mafsadat daruriyyah dan hajjiyyah termasuk dalam kelompok ini. Adapun mafsadat makruhah adalah mafsadat yang dimakruhkan, yaitu mafsadat tahsiniyyah.

Berdasarkan tolok ukur maslahat dibanding dengan ada atau tidaknya penjelasan syarak, Imam al-Ghazali membagi maslahat dalam empat macam:

(1) maslahah mujabah, maslahat yang macamnya dikukuhkan syarak;

(2) maslahah mula’imah, maslahat yang jenisnya dikukuhkan syarak;

(3) maslahah mulgah, maslahat yang dibatalkan syarak; dan

(4) maslahah garibah, maslahat yang tidak dijelaskan/ didiamkan syarak. Atas dasar ini, mafsadat pun terbagi dalam keempat bentuk tersebut.

Maslahat dan mafsadat dalam ajaran Islam merupakan dua sisi yang saling melekat satu sama lain. Dalam setiap perbuatan manusia, kecuali dalam ibadah, ada sisi baik (maslahat) dan buruk (mafsadat).

Manusia harus mampu menyingkap kemaslahatan dan mengerjakan suatu perbuatan berdasarkan hanya dominasi sisi maslahat. Bahkan Allah SWT ketika mengharamkan khamar (minuman yang memabukkan) kepada manusia pun menjelaskan bahwa ada sisi positif di dalamnya, tetapi mafsadat khamar jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Penerapan konsepsi maslahat dalam metode istinbath (pengambilan kesimpulan hukum) terhadap masalah sosial kegamaan pada saat ini akan sangat membantu. Pendekatan dalam menjawab problematika keagamaan dalam wilayah muamalah dewasa ini tidak lagi harus memakai pendekatan ushli semata yang terkesan kaku dan statis.

Akan tetapi sudah pada tempatnya dikembangkan metode istinbath yang berbasis pada maqasidi (maksud syarak), sehingga hukum Islam dapat lebih elastis sesuai dengan perubahan zaman. Maslahat manusia di bidang muamamah dan adat istiadat terus berubah dan berkembang dari masa ke masa.

Mustafa asy-Syalabi, guru besar fikih al-Azhar Mesir, menyebut maslahat ini sebagai al-maslahah al-mutagayyirah, lawan dari al-maslahah ats-tsabitah, yaitu maslahat yang tetap (abadi) sampai akhir zaman, misalnya ibadah salat dan zakat yang telah diwajibkan Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Dasuki, A. Hafizh, et.al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Mustasfa fi ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983.
Khalaf, Abdul Wahhab. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami Fima la Nassa Fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1972.
Sjadzali, Munawir, et al. “Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia,” Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.
Ahmadie Thaha