Masjidilharam

(Ar.: al-Masjid al-haram)

Secara kebahasaan, Masjid al-haram berarti “masjid yang dihormati atau dimuliakan”. Secara terminologis, nama ini digunakan untuk sebuah bangunan berbentuk empat persegi yang mengelilingi Ka’bah, di Mekah, Arab Saudi. Masjid ini terletak di tengah kota Mekah dan merupakan masjid tertua di dunia. Masjidilharam ramai dikunjungi umat dari segala penjuru dunia untuk beribadah haji, umrah, salat, dan belajar.

Kondisi Masjidilharam pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq tidak seluas sekarang. Masjid ini diperluas dan dibuatkan dinding di sekelilingnya pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Usman bin Affan.

Bangunannya kemudian diperluas dan diperindah lagi pada masa pemerintahan Bani Umayah. Usaha untuk memperindah bangunan masjid ini secara besar-besaran dilakukan pada masa khalifah Dinasti Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan Sultan Salim II (1566–1574) dari Dinasti Usmani (Ottoman) dilakukan beberapa kali perbaikan dan penambahan bangunan berupa beberapa atap kecil berbentuk kerucut.

Bangunan masjid ini terus diperluas dan diperindah pemerintah Arab Saudi, sebagai khadim (pelayan) Baitullah. Hal ini telah menjadi tradisi sejarah bahwa para khalifah yang berpengaruh atas kota Mekah selalu memperindah dan memperluas bangunan masjid yang mulia ini.

Bangunan Masjidilharam terdiri dari dinding dan deretan tiang dengan lengkungan yang artistik mengelilingi Ka’bah yang ditutup dengan atap, menara, pilar kecil tempat lampu penerang, dan kubah kecil yang berjumlah 152 buah.

Masing-masing tiangnya yang berjumlah 589 buah mempunyai tinggi 20 kaki dan berdiameter 1,5 kaki. Tiang tersebut ada yang terbuat dari marmer putih, batu granit biasa, dan batu granit berwarna.

Batu ini diambil dari pegunungan di sekitar Mekah. Setiap tiga tiang diselingi satu tiang besar dengan ketebalan kira-kira 4 kaki. Di bagian timur terdapat dua tiang berwarna abu-abu yang terbuat dari granit.

Di bagian utara terdapat satu tiang merah dan satu lagi berwarna abu-abu kemerah-merahan yang juga terbuat dari batu granit. Bagian loteng diberi ukiran kaligrafi ayat Al-Qur’an.

Pada bagian tembok terdapat batu marmer berukir dan pada dinding bagian dalam terdapat inskripsi yang bertuliskan Muhammad, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali serta nama Allah dalam ukuran besar. Di sepanjang tiang itu terdapat lampu penerang yang diletakkan pada lengkungan.

Di sekeliling masjid ada tujuh menara yang mempunyai nama, yaitu: Bab al-‘Umrah, Bab al-Hazurah, Bab as-Salam, Bab az-Ziyadah, Bab al-‘Ali, Sulaimaniyah, dan Kait Bai.

Masjidilharam memiliki 19 pintu gerbang yang selalu terbuka, antara lain:

(1) Bab as-Salam (pintu salam), disunahkan melewatinya bagi orang yang pertama memasukinya dan akan tawaf;

(2) Bab as-safa (pintu safa), pintu ke luar menuju bukit Safa untuk melakukan sai;

(3) Bab as-Su’ud (pintu su’ud);

(4) Bab al-‘Umrah (pintu umrah), biasanya dilewati mereka yang umrah ketika melakukan tawaf; dan

(5) Bab Bani Syaibah (pintu Syaibah), sekarang tak ada lagi karena terkena perluasaan untuk tempat tawaf.

Sejak tahun ke-8 kerasulannya, Nabi SAW menjadikan Masjidilharam sebagai tembat beribadah umat Islam. Oleh sebab itu Masjidilharam selalu ramai dikunjungi umat Islam.

Tentang keutamaannya Nabi SAW menyatakan, “Janganlah kamu merasa berat untuk mengadakan perjalanan ke tiga masjid: Masjidilharam, Masjidku, Masjidilaksa. Salat di Masjidilharam lebih utama dari seratus ribu kali di tempat lain, kecuali di Masjidilaksa” (HR. ad-Darimi, an-Nasa’i, dan Ahmad).

Di tengah Masjidilharam terletak Ka’bah sebagai bangunan terpenting yang berbentuk kubus yang disebut juga Baitullah (rumah Allah), Baitulatiq (rumah kemerdekaan), dan Baitulharam (rumah yang dimuliakan). Di dalamnya juga terdapat Maqam Ibrahim, sumur zamzam, dan Hajar Aswad (batu hitam).

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: The Macmillan Press LTD., 1974.
at-Tabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
J. Suyuti Pulungan