Ada tiga kata dalam Al-Qur’an yang bisa diartikan sebagai manusia, yaitu al-basyar, an-nas, dan al-ins atau al-insan. Manusia adalah ciptaan Allah SWT dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dalam Al-Qur’an surah al-Isra’ (17) ayat 70 disebutkan bahwa manusia diberi kelebihan atas keban yakan makhluk yang diciptakan. Allah SWT menciptakan manusia dari tanah dan menugaskannya untuk memak murkan bumi. Karena itu, manusia digelari “khalifah di muka bumi”.
Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, makan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Manusia dalam pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 35 kali di berbagai surah.
Dari pengertian tersebut, 25 kali di antaranya berbicara tentang “kemanusiaan” para rasul dan nabi, 13 ayat di antaranya menggambarkan polemik para rasul dan nabi dengan orang kafir yang berisi keengganan orang kafir terhadap apa yang dibawa para rasul dan nabi karena menurut mereka para rasul itu adalah manusia seperti mereka juga, dan sejumlah ayat yang mengandung pengakuan bahwa memang rasul itu adalah manusia yang sama seperti manusia lainnya.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Anbiya’ (21) ayat 2–3 yang berarti:
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang al-basyar (manusia) seperti kamu (juga), maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?’”
Pengakuan rasul bahwa dia juga manusia dapat dilihat dalam surah al-Kahfi (18) ayat 110 yang berarti:
“Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Manusia dalam pengertian al-basyar ini dapat pula dilihat antara lain dalam surah Ibrahim ayat 10, surah Hud (11) ayat 26, surah al-Mu’minun (23) ayat 24 dan 33, surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 154, surah Yasin (36) ayat 15, dan surah al-Isra’ (17) ayat 93.
Dalam hadis Rasulullah SAW juga ditemui pengakuan akan “kemanusiaan” dalam pengertian al-basyar, misalnya dalam hadis yang menyangkut permasalahan peradilan yang sangat terkenal, yakni ketika Rasulullah SAW mengatakan,
“Sesungguhnya saya ini adalah seorang manusia seperti kamu juga. Kamu datang kepada saya untuk berperkara; barangkali sebagian kamu lebih pandai mengemukakan alat bukti dari sebagian yang lain, lalu aku putuskan perkara tersebut sesuai dengan keterangan yang saya terima…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah).
Dari ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut di atas terlihat bahwa manusia dalam arti al-basyar adalah manusia dengan sifat kemateriannya.
Manusia dalam Al-Qur’an juga disebut an-nas. Kata an-nas dalam Al-Qur’an terdapat sebanyak 240 kali dengan keterangan yang jelas menunjuk pada jenis keturunan Nabi Adam AS, misalnya yang terdapat dalam surah al-hujurat (49) ayat 13 yang berarti:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”
Manusia juga sering disebut al-ins atau al-insan. Kata al-ins dan al-insan dalam pengertian bahasa merupakan lawan dari “binatang liar”. Dalam Al-Qur’an, sekalipun mempunyai akar kata yang sama, kedua kata tersebut mempunyai pengertian yang berbeda dan mempunyai keistimewaan yang berbeda pula.
Kata al-ins senantiasa dipertentangkan dengan kata al-jinn (jin), yakni sejenis makhluk halus yang tidak bersifat materi yang hidup di luar alam manusia. Bintu Syati (pakar tafsir dan dosen pada Universitas Qurawiyyin di Maroko) mengatakan bahwa jin tidak harus dipahami sebagai bayangan yang menakutkan di kegelapan malam, walaupun lafal al-jinn itu pada dasarnya berarti al-khafa’ (tersembunyi), yaitu makhluk yang hidup di luar alam yang kita lihat, di balik alam yang dihuni manusia, dan tidak tunduk pada hukum alam kehidupan manusia.
Kata al-insan bukan berarti al-basyar saja dan bukan pula dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Al-Qur’an, al-insan mengandung pengertian makhluk mukalaf (ciptaan Tuhan yang dibebani tanggung jawab) pengemban amanah Allah SWT dan khalifah Allah SWT di atas bumi.
Al-Insan dalam pengertian ini didapati pada 65 tempat dalam Al-Qur’an. Penjelasan tersebut menunjukkan keistimewaan dan ciri manusia dalam pengertian al-insan. Dalam ayat pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW, yaitu surah al-‘Alaq, terdapat tiga kali penyebutan al-insan, yaitu:
(1) Yang menceritakan bahwa manusia itu diciptakan dari ‘alaq (segumpal darah);
(2) Manusia dikatakan memiliki keistimewaan, yaitu ilmu; dan
(3) Allah SWT menggambarkan bahwa manusia dengan segala keistimewaannya telah melampaui batas karena telah merasa puas dengan apa yang dipunyainya.
Manusia sering lupa akan penciptanya. Ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia ini dapat dilihat pada surah at-tariq (86) ayat 5–8, surah ‘Abasa (80) ayat 17–22, surah al-Insan (76) ayat 2–3, surah Yasin (36) ayat 77–79, surah al-Qiyamah (75) ayat 37–40, dan surah al-Kahfi (18) ayat 37.
Ayat tersebut menggambarkan bahwa manusia sangat lemah dan hina, merasa dirinya puas, dan cenderung untuk melupakan penciptanya tatkala menerima nikmat dan bencana.
Hal ini juga dapat dilihat dalam surah an-Nahl (16) ayat 4, yang menggambarkan manusia sebagai makhluk pembantah; surah an-Nisa’ (4) ayat 28, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah; dan surah al-Infitar (82) ayat 6–8, yang menggambarkan manusia sebagai seseorang yang dipengaruhi sesuatu sehingga lupa pada Tuhannya.
Selanjutnya dalam surah Maryam (19) ayat 67 Allah SWT mengingatkan manusia agar mempergunakan pikirannya tentang kejadiannya yang sebelumnya tidak ada hingga men jadi ada. Selain itu antara lain dalam surah Yunus (10) ayat 12 dan surah al-Isra’ (17) ayat 67 ditunjukkan betapa manusia itu telah melampaui batas dan melupakan penciptanya.
Dari berbagai ayat yang memaparkan keistimewaan dan ciri manusia inilah Bintu Syati mengatakan bahwa manusia (al-insan) adalah khalifah Allah SWT di atas bumi yang diberi tanggung jawab dan amanah karena kekhususannya adalah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, mempunyai ilmu, akal, dan memiliki kemampuan al-bayan (berbicara). Semuanya itu mengandung risiko dengan adanya ujian yang akan menimpanya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Yang dimaksudkan dengan kemampuan berbicara (al-bayan) adalah pembicaraan yang menggugah hati dan perasaan, sehingga manusia dalam arti al-basyar berubah menjadi manusia yang berarti insÎn yang sanggup menerima Al-Qur’an sebagai petunjuk.
Para filsuf berusaha untuk memberi kriteria yang membedakan manusia dari hewan lainnya. Mereka menyatakan bahwa berpikir adalah sesuatu yang membedakan manusia dari makhluk lainnya, sehingga muncullah definisi mereka terhadap manusia sebagai “hewan yang berpikir”.
Pandai berbicara bukan hanya sekadar mengucapkan kata karena menurut penelitian para ahli, sebagian hewan juga saling berbicara dengan bahasa mereka dan memiliki akal dalam kadar yang sangat rendah. Adapun pembicaraan manusia telah diolah dengan pikiran jernih. Inilah yang merupakan keistimewaan manusia tersebut dibandingkan makhluk lainnya.
Tatkala tindak-tanduk dan bicara manusia itu tidak lagi mempergunakan akal, kemanusiaan manusia pada waktu itu gugur dan ia kembali sebagai al-basyar, yang hanya memiliki anggota tubuh yang membutuhkan makan dan minum serta berjalan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah sikap yang dicela Allah SWT dalam firman-Nya pada surah al-A‘raf (7) ayat 179 yang berarti:
“…Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan nya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Dengan demikian, al-bayan merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Jadi definisi para filsuf tentang manusia sejalan dengan pengertian Al-Qur’an dari sisi al-bayan.
Dalam hal ini Abbas Mahmud al-Aqqad mengatakan bahwa definisi para filsuf tentang manusia hanya dilihat dari keistimewaannya di bidang akal, bukan melihat manusia dalam segala aspeknya. Oleh sebab itu ia mengatakan bahwa manusia menurut paparan Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW tersimpul dalam dua kalimat, yaitu manusia makhluk mukalaf yang diciptakan dalam gambaran Khalik.
Manusia sebagai makhluk mukalaf berarti manusia yang bertanggung jawab dengan mempergunakan segala ke istimewaannya dalam berbicara dan bertindak. Oleh sebab itu manusia mempunyai risiko untung dan rugi, yang me rupakan tanggung jawabnya.
Dalam gambaran manusia yang dikatakan sebagai gambaran Khalik, al-Aqqad mengatakan bahwa manusia mempunyai tanggung jawab dan dijadikan Allah SWT berkuasa di atas bumi ini (khala’if fi al-ardh). Manusia sebagai khalifah Allah SWT di atas bumi harus membawakan misi Allah SWT yang diamanahkan kepadanya dan harus menunjukkan sifat sempurna yang akan dapat diteladani oleh yang lain.
Dari segi tanggung jawab dan amanah yang dipikul manusia di atas bumi ini, manusia bisa bernilai lebih tinggi dari malaikat, jika ia benar-benar bertanggung jawab dan menjalankan amanah Allah SWT di bumi.
Tetapi bisa pula ia lebih rendah dari hewan, jika tidak dapat menjalankan tanggung jawab dan amanah ini. Oleh sebab itu kemanusiaan manusia terletak pada tanggung jawab dan amanah yang dibebankan Allah SWT kepada mereka.
Manusia yang bertanggung jawab dan amanah dikatakan bernilai lebih tinggi dari malaikat karena manusia mempunyai risiko baik dan buruk, sedangkan malaikat hanya merupakan makhluk yang tidak memiliki risiko apa-apa karena tidak mempunyai nafsu. Tatkala dapat memenuhi tanggung jawab dan amanahnya, pada saat itulah manusia lebih bernilai daripada para malaikat.
Surah at-TÓn (95) ayat 4–5 menggambarkan keadaan manusia yang memiliki kurva naik dan turun, sesuai dengan tanggung jawab dan amanah yang dipikulnya, dijalankan atau tidak. Tatkala tanggung jawab dan amanah itu dijalankan dengan baik manusia dikatakan sebagai ahsan taqwim (penciptaan yang sempurna).
Hal tersebut hanya dapat dicapai melalui iman dan amal saleh. Iman berarti “mempercayai apa yang datang dari Allah SWT dan disampaikan Rasulullah SAW sekaligus melaksanakannya”. Artinya, dengan unsur tanggung jawab sebagai makhluk yang berpikiran dan dengan alat al-bayan yang dimilikinya ia harus melaksanakan apa yang didatangkan Allah SWT melalui nabi-Nya tersebut.
Kemudian ia memelihara dengan baik amanah yang dititipkan kepadanya dan selanjutnya juga harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi amanah tersebut. Manusia akan jatuh pada nilai yang paling rendah (asfala safilin) jika ia hanya mengikuti hawa nafsu, melakukan penipuan terhadap Allah SWT dan sesama manusia, merasa diri punya kekuasaan mutlak, merasa sudah berkecukupan, dan memiliki sifat tercela lainnya.
Selanjutnya manusia yang bertanggung jawab dan menunaikan amanah ini adalah manusia yang mempunyai sifat sempurna, seperti rahmah, mulia, beramal, berkehendak, dan adil, yang dituntut kepada manusia untuk mengikutinya sesuai dengan kemampuannya. Sifat ini juga dimiliki Khalik. Melalui sifat inilah Allah SWT memberi manusia tanggung jawab dan amanah di atas bumi ini. Inilah yang dimaksudkan al-Aqqad dengan manusia sebagai makhluk yang bertang gung jawab, yang diciptakan dalam gambaran Khalik.
Dari pengertian manusia yang dikemukakan Bintu Syati dan Abbas Mahmud al-Aqqad di atas dapat dikatakan bah wa manusia tersebut mempunyai fungsi dan tugas sebagai khalifah (pemegang kekuasaan) Allah SWT di atas bumi ini untuk memakmurkan bumi dengan segala isinya.
Manusia mempunyai tugas beramal saleh untuk menjaga keseimban gan di atas bumi ini, sesuai dengan tuntunan yang diberikan Allah SWT melalui Al-Qur’an. Bumi dengan segala isinya diser ahkan sebagai amanah bagi manusia untuk mengagungkan dan mengabdi pada kebesaran Allah SWT karena manusialah yang berani bertanggung jawab memegang amanah Allah SWT ini (QS.33:72).
Setelah mengemukakan perbedaan pendapat para ahli tafsir tentang kata al-amanah dalam ayat tersebut, Bintu Syati mengatakan bahwa penafsiran yang lebih tepat dari kata al-amanah dalam ayat itu adalah “suatu eksperimen (ujian) yang dibarengi suatu tugas, kemerdekaan berkehendak, dan tanggung jawab memilih”.
Setiap makhluk, selain manusia, hidup dan menjalani hidupnya berdasarkan hukum alam, tanpa diberi dan diminta tanggung jawab akan apa yang dilakukannya. Sebaliknya, manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya yang akan dinilai dengan pahala dan dosa.
Tanggung jawab ini bersifat pribadi, tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain dan tidak ada yang diwariskan. Amanah seperti ini tidak dikhususkan kepada orang yang beriman saja, tetapi juga terhadap orang nonmukmin. Perbedaannya terletak pada sisi ke-taqwiman mukmin dengan nonmukmin seperti yang dikatakan dalam surah at-Tin (95) ayat 4-5 yang dijelaskan di atas Muslim dan nonmuslim memiliki tanggung jawab dan amanah yang sama.
Apabila amanah dan tanggung jawab ini dipenuhi dengan penuh keimanan dan amal saleh, jadilah ia manusia yang fi ahsan taqwim (pada nilai yang paling baik dan mulia). Jika keimanan dan amal saleh tidak meling kari amanah dan tanggung jawab tersebut, jadilah manusia tersebut sebagai asfala safilin (pada nilai yang terendah) dan ka al-an‘am bal hum adhall (seperti hewan, dan bahkan lebih sesat lagi) (QS.7:179).
Dengan demikian “al-amanah” dalam su rah al-Ahzab (33) ayat 72 (QS.33:72) tersebut adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan manusia.
Tugas manusia untuk memakmurkan bumi ini, sesuai dengan kehendak Allah SWT dan hukum yang telah ditetap kan-Nya, adalah untuk kebahagiaan manusia itu sendiri di dunia dan akhirat.
Kebahagiaan dunia dan akhirat ini menjadi tujuan umum dari syariat yang diturunkan Allah SWT, bukan saja pada syariat Islam, tetapi juga syariat yang turun sebe lum Islam. Dengan demikian terlihat adanya keserasian dan saling keterkaitan antara tugas manusia dan tujuan syariat secara umum.
Tujuan syariat untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat dan bahwa kebahagiaan dunia ini harus membawa kebahagiaan di akhirat hanya dapat dicapai jika tugas ma nusia untuk melakukan kebajikan dan beramal saleh untuk memakmurkan bumi ini dapat berjalan dengan baik.
Yang dimaksudkan dengan memakmurkan bumi adalah memak murkan bumi dengan segala isinya, baik yang berhubungan dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial, maupun manusia dengan alam lingkungannya. Semua tugas dan tujuan syariat tersebut menyatu dalam mencapai tujuan syariat, yaitu kebahagiaan umat manusia itu sendiri baik di dunia maupun akhirat.
Untuk terlaksananya tugas tersebut di atas, menurut Bintu Syati, manusia di samping mempunyai akal dan kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, harus diberi kemerdekaan memilih sikap dalam melaksanakan tugasnya di atas bumi ini.
Dengan mengutip surah ali ‘Imran (3) ayat 79, ia mengemukakan bahwa manusia sebagai al-basyar tidak memiliki perbedaan antara yang satu dan yang lainnya. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi seorang manusia untuk mem perbudak manusia lainnya dari segala aspek kehidupannya dan dalam artian budak dengan segala maknanya karena penghambaan diri sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT yang menjadikan manusia khalifah-Nya di atas bumi ini.
Kemerdekaan memilih ini menyangkut segala yang ber bentuk perbuatan dan keyakinan seseorang, misalnya ke merdekaan akidah, kemerdekaan berkehendak dan berbuat, kemerdekaan berpikir dan berpendapat, dan kemerdekaan pribadi yang bertanggung jawab lainnya.
Sebagai manusia yang memegang tanggung jawab dan amanah dari Allah SWT, kemerdekaan tersebut tidak melampaui batas tanggu ng jawab dan amanah Allah SWT karena, seperti dikatakan al-Aqqad, tugasnya di atas bumi ini terbatas pada ketentuan Allah SWT yang telah dijelaskan melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
al-Aqqad, Abbas Mahmud. Haqa’iq al-Islam wa Abatil Khusumih. Cairo: al-Maktabah al-’Asriyah, 1957.
–––––––. al-Insan Fi Al-Qur’an, atau Manusia Diungkap Al-Qur’an, terj. Muhammad Rehasyi. Jakarta: Firdaus, 1991.
al-Bar, Muhammad Ali. Khalq al-Insan bain at-Tibb wa Al-Qur’an. Jiddah: Dar as-Sa‘udiyah, 1981.
Bintu Syati’. ‘Aisyah Abd ar-Rahman. Maqal fi al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1969.
Bucaille, Maurice. Asal Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an, Saints. Bandung: Mizan, 1986.
al-Buti, Muhammad Sa’id Ramadan. Manhaj al-Hadarah al-Insaniyyah fi Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1982.
Nasrun Haroen
__