Mamluk, Dinasti

Mamluk berasal dari kata Arab al-mamluk yang berarti “budak atau hamba yang dimiliki tuannya”. Bentuk ja­ maknya adalah mamalik dan mamlukun yang berarti “para budak”. Secara terminologis, Mamluk adalah nama dua pemerintahan di dunia Islam yang didirikan­ kaum Mamluk, yaitu Dinasti Mamluk di India (1206–1290) yang dibentuk Qutbuddin Aybak (Kesultanan Delhi dan India) dan Dinasti Mamluk di Mesir (1250–1517).

Kaum Mamluk adalah sebutan yang diberikan kepada budak yang berasal dari Kaukasus, yaitu daerah pegunungan­ yang terletak di perbatasan Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Baghdad, Istanbul, dan Mesir untuk diberi pendidikan militer dan dijadikan pengawal sultan karena mereka dikenal­ gagah dan berfisik kuat.

Dalam dinas kemiliteran, kaum Mamluk diberi kebebasan oleh sultan sehingga kedu­dukan mereka meningkat, antara lain ada yang dapat mencapai jabatan militer tertinggi atau wazir (perdana menteri).

Usaha merekrut budak dan me­manfaatkan­ mereka dalam kegiatan­ pemerintahan, terutama dalam militer, dimulai pada ma­sa peme­rintahan al-Ma‘mun (813–833).

Dinasti yang pernah­ mengua­sai Mesir (terkadang­ diselingi kekuasaan­ Abbasiyah) yang juga mendatangkan budak adalah Dinasti Tulun (254 H/868 M–292 H/905 M), Di­nasti Ikhsyidiyah (323 H/935 M–358 H/969 M), Dinasti Fa­timiyah (909–1171), dan Di­nasti Ayubiyah (1174–1252).

Dalam perkembangan­ selanjutnya, para budak itu bukan hanya berpengaruh dalam tubuh militer, tetapi juga dalam pemerintahan pada­ umumnya.

Dinasti Mamluk di Mesir berjasa dalam mengembangkan­ dan mempertahankan dunia Islam. Pemerintahan Mamluk Mesir muncul pada saat dunia Islam mengalami desentralisasi­ dan desintegrasi politik. Wilayah kekuasaannya meliputi Me­sir, Suriah, Hijaz, Yaman, dan daerah Sungai Furat (Eufrat).

Kaum Mamluk ini berhasil membersihkan sisa tentara Salib (Perang Salib) dari Mesir­ dan Suriah serta membendung desakan gerombolan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan dan Timur Lenk.

Kaum Mamluk yang memerintah Mesir dibedakan­ men­jadi dua golongan, yaitu Mamluk Bahri (648 H/1250 M–792 H/1390 M) dan Mamluk Burji (784 H/1382 M–922 H/1517 M). Mamluk Bahri adalah budak Turki yang didatangkan Malikush Shaleh dalam jumlah besar setelah ia berhasil menduduki jabatan sultan (1240–1249).

Di Mesir mereka ditempatkan di barak militer dekat Sungai Nil yang juga disebut laut (al-bahr) sehingga­ disebut Mamluk Bahri. Adapun Mamluk Burji adalah budak yang didatangkan dari Syirkasiyah (Turki) oleh Sultan Qalawun (1279–1290) karena ia curiga terhadap beberapa tokoh militer Mamluk Bahri yang dianggap dapat meng­ancam kelangsungan kekuasaannya.

Mereka ditempatkan­ di menara benteng (buruj) sehingga­ dinamakan Mamluk Burji. Baik Mamluk Bahri maupun Mamluk Burji berasal dari daerah yang sama, Turki, tetapi suku asal mereka berbeda-beda.

Untuk mempertahankan kekuasaan,­ Sultan Malikush Shaleh memberi kebebasan dan kesempatan yang luas ke­pada golongan Mamluk Bahri untuk mencapai prestasi dan kedudukan tinggi dalam ja­jaran militer Dinasti Ayubiyah.

Oleh karena itu, kaum Mamluk Bahri yang memiliki soli­daritas yang tinggi menyusun suatu kekuatan hing­ga mereka menjadi suatu kelompok militer yang terorgani­sasi­. Hal ini mere­ka lakukan untuk menyaingi pasukan militer asal suku Kurdi yang sudah ada sebelumnya­ dan untuk mengamankan kedudukan­ mereka apabila terjadi per­gantian sultan.

Ketika Malikush Shaleh berusaha merebut kekuasaan dari Sultan Malik al-Kamil, ia dibantu militer yang be­rasal dari budak Turki. Sebaliknya, Sultan Malik al-Kamil didukung­ tentara asal Kurdi.

Untuk mempertahankan­ kedudukannya se­bagai sultan, Malikush Shaleh mendatangkan­ lagi budak Turki untuk­ diberi pen­didikan militer dan keagamaan. Kemudian­ mereka ini dimasukkan ke dalam golongan Mamluk Bahri.

Setelah Malik as-Saleh meninggal (1249), ia digantikan Turansyah. Tetapi kaum Mamluk Bahri tidak menyukainya karena ia mengabaikan peranan mereka dan membentuk pasukan militer sendiri. Keadaan ini mendorong kaum Mamluk untuk merebut kekuasaan.

Pada 1250 Mamluk Bahri di bawah pimpinan Baybars dan Izzuddin Aibak melakukan kudeta terhadap Dinasti Ayubi­yah sehingga Turansyah terbunuh. Dengan demikian,­ terbukalah jalan bagi mereka untuk membentuk suatu pemerintahan baru.

Diriwayatkan bahwa Syajar ad-Durr, seorang bekas budak wanita yang dimerdekakan dan di­nikahi Sultan Malikush Shaleh, memegang peranan­ melicinkan jalan bagi maksud Mamluk Bahri. Ad-Durr merupakan orang istana yang dekat dengan­ mereka.

Di samping sebagai janda Malikush Shaleh, ia juga bekas budak yang berasal dari Turki. Ketika mereka akan membaiatnya menjadi sultan, kaum muslimin menolak­ nya karena bertentangan dengan tradisi.

Untuk mengatasi masalah itu Izzuddin Aibak menikahi Syajar ad-Durr, setelah mendapat dukungan dari amir. Ia kemudian bertindak se­bagai sultan (648–655 H/1250–1257 M).

Hampir selama 1,5 abad Mamluk Bahri menguasai pe­merintahan dengan melahirkan 24 orang sultan. Pada 1382 pemegang pe­merintahan beralih ke tangan Mamluk Burji dengan­ 23 orang sultan.

Pemerintahan Dinasti Mamluk yang juga dise­but Daulah al-Atrak (Negara Orang Turki) adalah oligarki militer dan tidak menerapkan sistem turun-temurun. Tokoh militer yang menonjol dan berprestasi dapat dipilih sebagai sultan.

Hal tersebut bergeser ketika Qalawun berkuasa (1279–1290). Ia menerapkan sistem turun-temurun de­ngan mewariskan­ kekuasaan kepada keturunannya sebanyak empat generasi. Akibatnya, terjadi perebutan kekuasaan di antara anak-anak­ nya sendiri.

Dinasti Mamluk berhasil menghancurkan invasi Mongol dan melenyapkan impian mereka untuk menguasai Mesir. Pada 3 September 1260, pasukan Mamluk di bawah pim­pinan Baybars dan Sultan Qutuz berhasil menghancurkan­ tentara Mongol­.

Kaum muslimin­ menyambut hangat pasukan­ Mamluk. Orang Suni di Damascus me­nyambut keme­nangan itu dengan menyerang orang Kristen, Yahu­di, dan Syiah yang selama ini di­curigai bekerjasama dengan tentara Mongol.

Para penguasa di Suriah menyatakan loyalitasnya kepada sultan Mamluk di Mesir. Sultan Nasir Mu­hammad bin Qalawun (1293–1340) juga dapat mengalahkan tentara Tartar (Mongol) dalam pertempuran yang terjadi di dekat Damascus (1303). Oleh sebab itu, pasukan Mamluk dapat merebut kembali seluruh daerah Suriah.

Di antara 47 orang Sultan Mam­luk, yang termasyhur dan yang membangun Kesultanan Mamluk adalah Baybars, sultan Mamluk keempat (1260– 1277). Ia membangun pemerintahan dengan baik sehingga kesultanan ini menjadi kuat.

Barisan elite militernya didudu­kkan sebagai elite politis. Jabatan penting dipegang anggota mi­liter yang berprestasi. Ia sadar bahwa kekuasaan politis memerlukan­ legalitas spiritual. Bagi orang Suni pada saat itu, sultan bukan suatu jabatan politis yang berdiri sendiri, tetapi perlu pengesahan keagamaan­. Oleh sebab itu, sultan harus dilantik oleh khalifah.

Baybars membuat suatu peristiwa besar selama peme­rintahannya, yaitu melakukan baiat terhadap­ al-Mustansir (1226–1242) sebagai khalifah. Al-Mustansir berasal dari keturunan Abbasiyah yang melarikan diri dari Baghdad ke Suriah.

Khalifah boneka itu kemudian memberikan penge­sahan kepada­ Baybars sebagai sultan untuk wilayah Mesir, Suriah, Hijaz, Yaman, dan daerah S. Furat. Langkah Baybars ini mendapat simpati dari para penguasa Islam lainnya. Sultan Muhammad bin Tugluq dari Kesultanan Delhi (India), mis­alnya, menjalin hubungan baik dengan Kesultanan Mamluk.

Baybars juga meminta legalitas dari khalifah atas kekua­saannya. Untuk mendapatkan simpati dari rakyat Mesir, sebagaimana Dinasti Ayubiyah, Baybars menghidup­kan kembali Mazhab Suni.

Baybars juga merupakan sultan Mesir yang pertama-tama mengangkat empat orang hakim yang mewakili empat mazhab dan mengatur keberangkatan­ haji secara sistematis dan permanen. Ia juga dikenal sebagai sultan yang saleh dalam soal agama dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah.

Prestasi Baybars di bidang militer adalah penyer­buannya­ ke Assasin di Pegunungan Suriah. Ia menaklukkan­ daerah Nubia dan sepanjang pantai Laut Merah dan menghan­curkan Cyrenaica di Sici­lia (tempat berkuasanya orang Armenia). Ia juga menyerang­ pasukan Salib di sepanjang­ pantai Laut Tengah dan kapal Mongol­ di Anatolia (Asia Kecil).

Di bidang diplomatik Baybars menjalin hubung­an den­gan pihak yang bersahabat yang tidak membahayakan­ kekuasaannya­. Ia memperbarui hu­bungan Mesir dan Constantinopel­ serta membuka hubung­an Mesir dan Sicilia.

Selain itu, ia juga menjalin ikatan perdamaian dengan Barke (Baraka), keponakan Hulagu Khan yang telah masuk Islam dan berkua­sa di Golden Horde atau Kipchak Khanate­ (wilayah di bagian barat Kerajaan Mongol).

Pembangunan di bidang perekonomian dan perdagangan­ membawa kemakmuran. Jalur perdagangan­ yang dibangun sejak Kekhalifahan Fatimiyah diperluas dengan membuka hubu­ngan dagang dengan­ Italia dan Perancis.

Perjanjian dagang diadakan­ dengan James dari Aragon dan Alfonso dari Sevilla. Kota Cairo menjadi penting dan strategis sebagai jalur perd­agangan Asia Barat dan Laut Tengah dengan pihak Barat dan menjadi lebih penting­ setelah jatuhnya Baghdad.

Baybars dan beberapa­ sultan sesudahnya memberikan kebebasan kepada­ para petani untuk memasarkan hasil pertaniannya­. Hal ini mendorong mereka untuk meningkatkan­ hasil per­taniannya, sehingga dapat mening­katkan pertumbuhan ekonomi Mesir.

Bidang perhubungan darat dan laut menjadi lancar dengan menggali­ terusan, membuat pelabuhan, dan menghubungkan Cairo–Damsyiq (Damascus) dengan dinas pos cepat.

Pos cepat ini hanya memakan waktu selama empat hari dengan menggunakan beberapa ekor kuda yang selalu tersedia pada setiap stasiun sepanjang jalan. Dinasti Mamluk menyempurnakan­ dinas pos cepat burung merpati yang su­dah ada sejak Kekhalifahan Fatimiyah­ di samping pos biasa.

Ilmu pengetahuan juga mengalami kemajuan semasa­ Dinasti Mamluk. Hal ini disebabkan jatuhnya Baghdad yang mengakibatkan sebagian ahli ilmu pengetahuan melarikan diri ke Mesir.

Dengan demikian­ Mesir berperan sebagai pusat pengembang­an ilmu pengetahuan, me­lan­jutkan kedudukan kota Islam lainnya setelah dihancurkan bangsa Mongol. Cabang ilmu pengetahuan­ yang berkembang­ adalah sejarah, kedokteran, astronomi,­ matematika,­ dan ilmu agama.

Di bidang sejarah tercatat nama pakar sejarah, antara lain Ibnu Khallikan (penulis buku Wafayat al-A‘yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman [Meninggalnya­ para Pemimpin dan Berita tentang Anak Zaman]), Ibnu Khaldun (penulis kitab al-‘Ibar [Sejarah Umum]), Ibnu Abi Usaibi‘ah (penulis­ buku ‘Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba’ [Penyampai Informasi dalam Tingkatan para Dokter]), Abu al-Fida, Ibnu Tagri Bardi Atabaki, dan al-Maqrizi yang terkenal sebagai penulis sejarah kedokteran.

Ilmu kedokteran mengalami kemajuan dengan adanya penemuan baru. Abu Hasan Ali Nafis (w. 1288), kepala rumah sakit Cairo, mene­mukan susunan dan peredaran­ darah dalam paru-paru manusia 3 abad lebih dahulu dari Servetus (orang Portugis). Abdul Ma’min Dimyati (w. 1306), dokter kenamaan dalam ilmu kedokteran­ hewan, menulis buku Fadl al-Khail (Keunggulan Pasukan Berkuda).

Psikoterapi yang dirintis ar-Razi dikembangkan al-Juma’i di Mesir yang mengarang­ buku al-Irsyad li Masalih al-Anfas wa al-Ajsad (Petunjuk un­tuk Keselamatan Jiwa dan Ra­ga).

Ibnu Abi al-Mahasin dan Salahuddin bin Yu­suf mengembangkan­ opthalmologi (ilmu tentang penyakit mata), dan Salahuddin bin Yusuf menulis buku Nur al-‘Uyun wa Jami‘ al-Funun (Cahaya bagi Mata dan Penghimpun berbagai Ilmu).

Selain itu juga terdapat tokoh lain, seperti Nasiruddin at-Tusi (1201–1274), seorang ahli observatorium, dan Abu Faraj Tabari (1226–1286), ahli matematika.

Ketika ulama Baghdad kehilangan semangat,­ pintu ij­tihad seakan-akan tertutup karena kehancuran Baghdad. Akhirnya mereka banyak menggeluti dunia tasawuf dan tarekat.

Sementara umat Islam bersikap taklid, di wilayah kekuasaan­ Dinasti Mamluk muncul ulama besar,­ antara lain Ibnu Taimiyah­ (1263–1328), penganjur pemurnian ajaran Islam untuk kembali pada Al-Qur’an dan sunah serta mem­ buka kembali ijtihad; Jalaluddin as-Suyuti,­ seorang ulama yang produktif me­nulis, baik di bidang tafsir maupun sejarah (bukunya antara lain al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran; tentang ilmu tafsir); dan Ibnu Hajar al-Asqalani (1372–1449), kepala kadi Cairo yang terkenal sebagai pakar hadis, bukunya­ antara lain Tahdzib at-Tahdzib [12 jilid] dan al-Ihabah [4 jilid]). Di bidang sastra tercatat Syarafuddin Muhammad Busiri dengan kitabnya yang berjudul al-Burdah.

Seni arsitektur juga berkembang dengan baik. Para sultan berlomba mendirikan bangunan­ monumental yang berseni tinggi; bermunculan pula bangunan sekolah, masjid yang indah, dan badan keagamaan serta badan amal.

Bangunan Masjid Nabawi di Madinah disempurnakan kembali serta di sekeliling­ makam Nabi Muhammad SAW dibuatkan pagar. Sultan Qalawun misalnya, di samping membangun masjid, juga membangun sebuah rumah sakit yang megah. Barquq, raja Mamluk pertama dari Mamluk Burji (1382–1399), mendi­ rikan masjid dan mausoleum dengan gaya arsitektur yang tinggi.

Kesultanan Mamluk mulai menunjukkan kele­mahan sejak pemerintahan beralih dari Mamluk Bahri ke tangan Mamluk Burji pada 1382. Para sultan dari Mamluk Burji tidak memiliki pengetahuan­ cara mengatur roda pe­merintahan kecuali­ lati­ han militer.

Kesultanan Mamluk hancur ketika Sultan Salim I dari Dinasti Usmani (Ottoman) di Turki merebut kembali Mesir dari ta­ngan Kesultanan Mamluk pada 1517.

DAFTAR PUSTAKA

Brockelmann, Carl. History of the Islamic Peoples. London: Routledge and Kegan Paul, 1980.
Gibb, Hamilton A.R. Studies on the Civilization of Islam. Boston: Beacon Press, 1968.
Goitein, S.D. Studies in Islamic History and Institutions. Leiden: E.J. Brill, 1968.
Harun, Nasution. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabat an-Nahdhat al-Mishriyat, 1964.
Hitti, Philip K. The Arabs: A Short History. London: Macmillan & Co Ltd., 1950.
–––––––. History of the Arabs. London: The Macmillan Press, 1974.
Hodgson, Marshal. The Venture of Islam. Chicago: Chicago University Press, 1974.
Holt, P.M., The Cambridge History of Islam. London: Cambridge University Press, 1970.
Ibnu Kasir. al-Bidayah wa an-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Ibnu Zaini Dahlan, Ahmad. al-Futuhat al-Islamiyyah. Cairo: Mu’assasah al-Halabi wa asy-Syirkah, 1968.
Lewis, Bernard. Islam From the Prophet Muhammad to the Capture Constantino­ ple. New York-London: Harper and Raw Publishers, 1974.
Saunders, J.J. A History of Medieval Islam. London: Routkedge and Kegan Paul, 1978.
Spuler, Bestold. History of the Mongol, terj Helga and Stuart Drumond. London: Routledge and Kegan Paul, 1972.
J. Suyuti Pulungan