Mazhab Maliki adalah sebuah aliran terkemuka dalam bidang hukum Islam. Pendirinya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Asbahi (Imam Malik). Imam Malik adalah ahli hadis dan fikih. Ia dipandang sebagai rawi hadis Madinah paling tepercaya karena sanad (sumber)nya paling Siqqah (tepercaya). Ia menguasai fatwa Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin Khattab, dan Aisyah binti Abu Bakar serta muridnya.
Pada awalnya Imam Malik mencurahkan studinya pada ilmu hadis (riwayat), fatwa sahabat, dan tabiin. Selanjutnya, aspek ini menjadi pilar pokok bagi bangunan fikihnya. Di samping itu, ia juga mengarahkan perhatiannya pada studi ilmu keislaman lain.
Dalam studi fikih, ia mengarahkan perhatiannya pada fikih ra’yu (penalaran) ahli Madinah yang antara lain diterimanya dari Yahya bin Sa‘id al-Ansari, ahli hadis dari kalangan tabiin. Corak ra’yu di Madinah adalah pemaduan antara nas dan berbagai maslahat yang berbeda-beda.
Ini sejalan dengan atsar (sikap dan tingkah laku para sahabat), yakni metode Umar bin Khattab dalam prinsip maslahat. Oleh sebab itu, ia lebih dekat dengan pendapat yang menyerupai Atsar dan semakna dengannya.
Imam Malik juga menyelenggarakan pengajarannya di masjid Nabi SAW (Masjid Nabawi) dan memilih tempat yang pernah dipakai Umar bin Khattab. Ia menyelenggarakan dua jenis pengajaran, yaitu khusus bidang hadis dan memberikan fatwa terhadap kasus yang sudah terjadi. Ia tidak mau memberikan fatwa terhadap kasus yang belum pernah terjadi, meskipun bisa diramalkan bakal terjadi.
Selain itu, Imam Malik tidak mau memberikan fatwa yang berkaitan dengan wewenang hakim dan masalah pengadilan. Dalam menanggapi aneka ragam pemikiran yang timbul dalam masalah kalam (akidah), Imam Malik selalu menempuh jalan fikih dan hadis, yaitu keharusan mengikuti sunah dan metode yang ditempuh ulama salaf terdahulu (Gerakan Salafiyah).
Karya Imam Malik yang terbesar adalah kitab al-Muwatta’, yang merupakan kitab hadis pertama yang disusun. Al-Muwatta’ juga merupakan kitab hadis dan fikih sekaligus yang di dalamnya dihimpun hadis dalam tema fikih yang pernah dibahas Imam Malik, seperti praktek/amalan penduduk Madinah, pendapat tabiin yang ditemuinya, dan pendapat sahabat serta tabiin yang tidak sempat ditemuinya.
Silsilah sanad hadis dari Imam Malik dipandang sebagai “silsilah emas” atau silsilah adz-dzahab (rangkaian rawi hadis yang dianggap paling sahih). Pada masa sebelum Imam Malik, periwayatan hadis terbatas pada hafalan karena ulama belum banyak mengenal sistem penulisan dan pembukuan.
Adapun metode dan dasar istinbat dalam Mazhab Maliki adalah sebagai berikut.
(1) Al-Qur’an. Seperti halnya para imam mazhab yang lain, Imam Malik meletakkan Al-Qur’an di atas semua dalil karena Al-Qur’an merupakan pokok syariat dan hujahnya. Imam Malik mengambil dari:
(a) nas yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk lahirnya;
(b) mafhum muwafaqah atau fahwa al-khitab, yaitu hukum yang semakna dengan satu nas (Al-Qur’an dan hadis) yang hukumnya sama dengan yang disebutkan nas itu sendiri secara tegas;
(c) mafhum mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam nas (Al-Qur’an dan hadis) pada sesuatu yang tidak disebutkan dalam nas; dan
(d) ilat hukum (sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum).
(2) Sunah. Sunah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Sunah yang diambil Imam Malik adalah:
(a) sunah mutawatir;
(b) sunah masyhur, baik kemasyhurannya itu di tingkat tabiin ataupun tabi‘ at-tabi‘in (generasi sesudah tabiin) tingkat kemasyhuran setelah generasi tersebut di atas tidak dapat dipertimbangkan; dan
(c) khabar (hadis) ahad yang didahului atas praktek penduduk Madinah dan kias. Akan tetapi kadang-kadang khabar ahad itu bisa tertolak oleh kias dan maslahat.
(3) Praktek penduduk Madinah. Hal itu dipandang sebagai hujah, jika praktek itu benar-benar dinukilkan dari Nabi SAW. Sehubungan dengan itu praktek penduduk Madinah yang dasarnya ra’yu (akal, penalaran) bisa didahulukan atas khabar ahad. Imam Malik mencela ahli fikih yang tidak mau mengam bil praktek penduduk Madinah, bahkan menyalahinya.
(4) Fatwa sahabat. Fatwa ini dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan.
Dalam kaitan ini Imam Malik mendahu lukan fatwa sebagian sahabat dalam soal manasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan tidak melaksanakannya karena hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah dari Nabi SAW.
Sementara itu, masalah manasik haji tidak mungkin bisa diketahui tanpa adanya penukilan langsung dari Nabi SAW. Imam Malik juga mengambil fatwa tabiin besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya dengan fatwa sahabat.
(5) Kias, al-maslahah al-mursalah, dan istihsan. Imam Malik mengambil kias dalam pengertian umum yang merupa kan penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara yang tidak ditegaskan dengan hukum yang ditegaskan.
Hal ini disebabkan adanya persamaan sifat (ilat hukum). Sementara istihsan adalah memandang lebih kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz’iyah (sebagian) atas ketetapan hukum berdasarkan kias.
Jika dalam kias ada keharusan menyamakan suatu hukum yang tidak tegas dengan hukum tertentu yang tegas, maslahat juz’iyah mengharuskan hukum lain dan ini yang diberlakukan, yang kemudian dinamakan istihsan.
Akan tetapi dalam Mazhab Maliki, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup setiap maslahat, yaitu hukum maslahat yang tidak ada nas, baik dalam tema itu dapat diterapkan kias ataupun tidak, sehingga pengertian istihsan itu mencakup al-maslahah al-mursalah.
(6) Adz-zara’i‘, yaitu sarana yang membawa pada hal yang diharamkan maka akan menjadi haram pula, sarana yang membawa pada hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada kerusakan maka diharamkan juga. Sarana yang membawa pada kerusakan (mafsadah) dalam Mazhab Maliki dibagi menjadi empat:
(a) sarana yang secara pasti membawa pada kerusakan, seperti menggali sumur di belakang pintu rumah;
(b) sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan, seperti jual-beli anggur dengan dugaan akan dibuat khamar (mi numan keras) oleh pembelinya;
(c) sarana yang jarang bisa membawa pada kerusakan, seperti menggali sumur di suatu tempat yang tidak membahayakan orang lain; dan
(d) sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan, tetapi tidak dipandang umum, seperti jual-beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek riba.
Mazhab Maliki tersebar di wilayah Hijaz. Di daerah ini kedudukan Mazhab Maliki menjadi kuat setelah Ibnu Farhun menjadi hakim pada 793 H/1391 M. Mazhab ini masuk ke Mesir berkat usaha para muridnya, seperti Abdurrahman bin Kasim, dan Usman bin Hakam, sampai datangnya Mazhab Syafi‘i.
Di Tunisia tersebar juga Mazhab Maliki, tetapi kemu dian dikalahkan Mazhab Hanafi pada masa Syekh Asad al-Furat at-Tunisi (seorang syekh pemberi fatwa pada masa pemerintahan Ziyadatullah I dari Dinasti Aghlabiyah). Kemu dian Mazhab Maliki bangkit lagi pada masa Mu‘iz bin Hadis. Sejak saat itu penduduk di wilayah Magrib menganut Mazhab Maliki.
Mazhab ini juga berhasil menguasai wilayah Andalusia, terutama pada waktu Yahya bin Yahya al-Andalusi menjadi hakim di sana. Akan tetapi, mazhab ini kurang tersebar di wilayah Islam bagian timur.
DAFTAR PUSTAKA