Malik Bin Nabi

(Qusantinah, Aljazair, 1905–Aljier, Aljazair, Oktober 1973)

Malik bin Nabi adalah seorang pembaru pemikiran Islam abad ke-20 dari Aljazair. Ia tamat dari sekolah dasar dan menengah di Nes, Aljazair, lalu pendidikan tinggi (Fakul­tas Teknik) di sebuah universitas di Paris (1930). Di Paris ia bergabung dengan organisasi pemuda Kristen.

Dalam organisasi tersebut ia merasakan kematangan spiritual, menemukan cara berpikir baru sebagai seorang muslim, dan merefleksikannya secara filosofis dalam jiwanya. Setelah Perang Dunia II, Malik bin Nabi mulai merekam pemikirannya dalam bentuk buku.

Karyanya ditulis dalam bahasa Perancis. Ia menerbitkan dokumen berharga Le Phénomena Coranique (1946), novel satu-satunya Labbaik (1947), Les Condition de la Renaissance (1948), dan La Voca­ tion de l’Islam (1954).

Pada 1956 Malik bin Nabi hijrah ke Mesir. Ia berkunjung ke Cairo untuk memperdalam bahasa Arab. Di sana ia melan­jutkan menulis. Setelah memperoleh suaka politik di Mesir, Malik bin Nabi ditunjuk sebagai sekretaris Konferensi­ Islam.

Kementerian Penerangan Mesir juga menerbitkan­ karyanya berjudul L’Afro-Asiatisme (1956) dalam bahasa Perancis. Karyanya S.O.S Algérie yang meng­gambarkan pengabaian pemimpin revolusi sebagai rintangan revolusi Aljazair dit­ erjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul an-Najdah li Aljaza‘ir (1957). Kemudian antara 1958–1961, ia berada di Suriah untuk memberikan kuliah di bebe­rapa perguruan tinggi di negeri itu.

Malik bin Nabi banyak menulis buku di bidang kebu­dayaan, antara lain tentang keterbelakangan umat Islam. Da­lam bukunya, Musykilah al-hadharah (Persoalan Kebudayaan),­ ia secara panjang lebar menguraikan dan menganalisis­ persoalan yang dihadapi­ dunia Islam, khususnya persoalan penjajahan­ yang dialami dunia Islam.

Dalam buku itu, ia menyimpulkan bahwa penyebab utama keterbela­kangan­ umat Islam sehingga dengan mudah dijajah bangsa Barat adalah persoalan kebodohan,­ kemiskinan, dan tidak adanya persatuan sesama umat Islam.

Dalam buku Wujhah al-‘Alam al-Islami (Gambaran­ Dunia Islam), Malik bin Nabi mengatakan bahwa kondisi umat Is­lam di berbagai belahan dunia tidak memiliki pengetahuan, sehingga tidak dapat memanfaatkan­ sumber daya manusia dan sumber daya alamnya sendiri.

Akibatnya, mereka menjadi orang miskin yang dengan mudah dapat dijajah­ bangsa lain. Kemudian dalam bukunya Syuruth an-Nahdhah (Syarat Kebang­ kitan) lebih­ lanjut­ ia mengatakan bahwa keadaan umat yang bodoh, miskin, dan terbelakang tersebut dimanfaatkan­ oleh pihak penjajah untuk mengeksploitasi­ umat Islam demi ke­ pentingan negara mereka.

Eksploitasi ini bukan saja bersifat­ materiil, tetapi juga merembet ke masalah spiritual yang mereka anggap sebagai basis kekuatan umat Islam. Dalam bidang mental, para penjajah berusaha merusak moral dan akhlak umat Islam, sehingga mereka tidak akan pernah men­jadi umat teladan, seperti yang dicantumkan Allah SWT dalam firman-Nya pada surah al-Baqarah (2) ayat 143.

Ketika berlangsung Konferensi Asia Afrika di Bandung (18–24 April 1955), Malik bin Nabi menyusun sebuah buku yang berjudul al-Fikrah al-Ifrqiyyah al-Asiawiyyah fi daw‘ Mu‘tamar Bandung (Pemikiran­ Asia-Afrika dalam Konteks Konferensi­ Bandung)­. Buku ini ditulis­ dalam bahasa Peran­cis.

Kemudian ketika berada­ di Cairo (1956), ia menerje­mahkannya ke bahasa­ Arab. Dalam buku ini, ia dengan jelas dan tegas mengemu­kakan bahwa solusi untuk umat Islam dalam mengatasi penjajahan di muka bumi ini adalah melalui pene­rapan hasil Konferensi Asia-Afrika tersebut, sehingga keterbelakangan umat Islam bisa diatasi.

Dalam bukunya ini, Malik bin Nabi juga berbicara tentang kebudayaan­ Asia-Afrika, yang menurut pandangannya­ harus terbebas­ dari budaya imperia­lisme Barat dan komu­nis­me Rusia.

Negara Asia-Afrika dalam membentuk­ kebudayaan masing-masing tidak ha­rus terhambat oleh ras, agama, bahasa, dan suku karena yang menjadi patokan dalam­ hal ini semestinya­ adalah­ kepentingan bersama untuk mengangkat­ derajat manusia, dengan menghapuskan­ penjajah di muka bumi, serta berupaya untuk memakmur­kan­ warga masing-masing dalam semangat kebersamaan­ Dunia Ketiga.

Untuk itu, Malik bin Nabi mengata­kan­ bahwa aspek utama yang harus diupa­yakan Dunia Ketiga adalah membebas­kan diri dari segala bentuk penjajahan, baik penjajahan fisik, ekonomi, politik, maupun akidah. Dunia Ketiga memiliki­ sumber daya manusia yang cukup besar dan mempunyai­ sumber daya alam yang melimpah, yang tidak dimiliki Barat. Oleh sebab itu Dunia Ketiga harus bersatu dalam semangat­ Konferensi Bandung.

Dalam buku Fikrah Commonwealth Islam (Pemikiran­ Persemakmuran Islam), Malik bin Nabi menekankan­ pen­ tingnya kesatuan dan persatuan Dunia Ketiga­ dalam meng­ hadapi Barat. Dalam kaitan ini, ia menekankan perbedaan yang tajam antara Persemakmuran Inggris dan Persemak­muran Islam.

Persemakmuran Islam yang dimaksudkannya­ adalah­ kesatuan umat, sedangkan Persemakmuran­ Inggris­ merupakan kesatuan pemerintahan. Di samping itu Perse­makmuran Islam bertujuan agar umat Islam di berbagai belahan dunia Islam terbebas dari ke­terbelakang­an dan pen­ jajahan aki­dah.

Malik bin Nabi mengatakan bahwa persoalan mendasar­ bagi umat Islam adalah akidah, yaitu keyakinan mereka terhadap agama mereka. Umat Islam tidak bisa memanfaatkan akidahnya sebagai basis kekuatan­ mereka­ dalam menghadapi persoalan hidup­ dan kehidupan­ mereka sendiri.

Umat Islam tidak ber­jalan di atas rel lurus yang telah dibangun oleh agama mereka sendiri. Inilah yang menye­babkan mereka tetap terbelakang­ dan dijajah.

Ia juga menyumbangkan pemikiran untuk membe­baskan­ negerinya dari jajahan Perancis. Pada 24 Februari 1964 ia memberikan ceramah umum di hadapan warga Aljazair mengenai bagaimana­ mengatasi­ persoalan masyarakat dan negara Aljazair sendiri.

Hasil ceramahnya ini kemudian diter­ jemahkan ke dalam bahasa Arab dan dibukukan­ dengan judul Musykilah al-Mafhumiyyah (Persoalan Pemahaman). Dalam buku ini kembali ia mengulangi keyakinannya bahwa perso­ alan paling men­dasar yang dihadapi umat Islam Aljazair ada­ lah persoalan ideologi dan akidah.

Akidah Islam semestinya menjadi motor penggerak bagi setiap pribadi dan masya­rakat untuk bangkit dari ke­terbelakangan dan kemiskinan mere­ka. Dengan akidah inilah umat Islam bisa bersatu melawan penjajah dan kemudian membangun diri mereka menjadi pribadi, masyarakat, dan bangsa terhormat­.

Negara harus lebih banyak memikirkan ke­pentingan­ dan kemaslahatan warganya, sehingga kekayaan negara dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat.

Sesuai dengan kondisi zamannya, Malik bin Nabi ba­nyak berbicara dan menyumbangkan pikiran tentang bagaima­ na mengatasi penetrasi Barat ke Dunia Ketiga, khususnya Dunia Islam. Dalam konteks­ ini tidak sedikit karya tulis yang dihasilkannya.

Di samping buku yang telah disebutkan di atas, karya lainnya adalah afaq Jaza’iriyyah (buku yang secara khusus berbicara tentang persoalan Aljazair) yang ditulisnya ketika bermukim di Cairo (1956) dan Hadits fi al-Bina’ al-Jadid (Bahasan tentang Pembangunan Baru).

Pada 1 Januari 1961 bukunya Le Phénomine Qoranique (Fenomena Al-Qur’an) diterje­mahkan ke bahasa Arab oleh Abdus Sabur Saheen dengan judul ¨Ahiriyyah Al-Qur’an. Buku tersebut pada 1983 diindonesiakan dengan judul Fenomena Al-Qur’an oleh Saleh Mahfoed dan diterbit­kan­ oleh Penerbit al-Ma‘arif, Bandung­.

Setahun setelah kemerdekaan Aljazair (1962), Malik bin Nabi kembali ke Aljazair. Ia melanjutkan menulis dan bercer­ amah dalam bahasa Perancis. Di sana ia banyak menulis dalam surat kabar lokal, seperti La Revolution Africane dan al-Muja­ hid.

Artikel tersebut kemudian dikumpulkan­ dan diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Baina ar-Rasyadi wa at-Tib (Antara Petunjuk Jelas dan Pengembaraan tak Berujung) setelah ia meninggal.

Pada 1965, Malik bin Nabi diangkat menjadi direktur kajian tinggi dalam Kementerian Pendidikan Nasional (Wazarat at-Ta’lim al-Qawmi). Tiga tahun kemudian ia dipecat dari jabatan tersebut tanpa alasan yang jelas. Secara resmi ia tidak diizin­ kan ke luar negeri.

Namun ia diizinkan ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji (1971). Di sana ia terpilih sebagai pemikir muslim oleh Raja Faisal. Oleh karena keadaan yang tidak nyaman dan merasa terisolasi, akhirnya ia meninggal di rumahnya, di Aljier, pada Oktober 1973. Kematian Malik bin Nabi dianggap sebagai hari berkabung di Aljazair dan Libya.

Daftar Pustaka

Barium, Fawzia. Malik Bennabi; Sosiolog Muslim Masa Kini. Bandung: Pustaka, 1998.
Ibnu Nabi, Malik. Hadits al-Bina’ al-Jadid. Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah, 1956.
–––––––. ¨ahiriyyah Al-Qur’an, atau Fenomena Al-Qur’an, terj. Saleh Mahfoed.
Bandung: Alma’arif, 1983.
Sa‘id, Bustami Muhammad. MafhØm TajdÓd ad-DÓn. Kuwait: Dar ad-Da‘wah, 1405 H/1984 M.
at-Taubah, Gazi. al-Fikr al-Islami al-Mu‘asir: Dirasah wa Taqwim. Beirut: Dar al-Qalam, 1977.
NASRUN HAROEN