Malik bin Nabi adalah seorang pembaru pemikiran Islam abad ke-20 dari Aljazair. Ia tamat dari sekolah dasar dan menengah di Nes, Aljazair, lalu pendidikan tinggi (FakulÂtas Teknik) di sebuah universitas di Paris (1930). Di Paris ia bergabung dengan organisasi pemuda Kristen.
Dalam organisasi tersebut ia merasakan kematangan spiritual, menemukan cara berpikir baru sebagai seorang muslim, dan merefleksikannya secara filosofis dalam jiwanya. Setelah Perang Dunia II, Malik bin Nabi mulai merekam pemikirannya dalam bentuk buku.
Karyanya ditulis dalam bahasa Perancis. Ia menerbitkan dokumen berharga Le Phénomena Coranique (1946), novel satu-satunya Labbaik (1947), Les Condition de la Renaissance (1948), dan La Voca tion de l’Islam (1954).
Pada 1956 Malik bin Nabi hijrah ke Mesir. Ia berkunjung ke Cairo untuk memperdalam bahasa Arab. Di sana ia melanÂjutkan menulis. Setelah memperoleh suaka politik di Mesir, Malik bin Nabi ditunjuk sebagai sekretaris Konferensi Islam.
Kementerian Penerangan Mesir juga menerbitkan karyanya berjudul L’Afro-Asiatisme (1956) dalam bahasa Perancis. Karyanya S.O.S Algérie yang mengÂgambarkan pengabaian pemimpin revolusi sebagai rintangan revolusi Aljazair dit erjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul an-Najdah li Aljaza‘ir (1957). Kemudian antara 1958–1961, ia berada di Suriah untuk memberikan kuliah di bebeÂrapa perguruan tinggi di negeri itu.
Malik bin Nabi banyak menulis buku di bidang kebuÂdayaan, antara lain tentang keterbelakangan umat Islam. DaÂlam bukunya, Musykilah al-hadharah (Persoalan Kebudayaan), ia secara panjang lebar menguraikan dan menganalisis persoalan yang dihadapi dunia Islam, khususnya persoalan penjajahan yang dialami dunia Islam.
Dalam buku itu, ia menyimpulkan bahwa penyebab utama keterbelaÂkangan umat Islam sehingga dengan mudah dijajah bangsa Barat adalah persoalan kebodohan, kemiskinan, dan tidak adanya persatuan sesama umat Islam.
Dalam buku Wujhah al-‘Alam al-Islami (Gambaran Dunia Islam), Malik bin Nabi mengatakan bahwa kondisi umat IsÂlam di berbagai belahan dunia tidak memiliki pengetahuan, sehingga tidak dapat memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya sendiri.
Akibatnya, mereka menjadi orang miskin yang dengan mudah dapat dijajah bangsa lain. Kemudian dalam bukunya Syuruth an-Nahdhah (Syarat Kebang kitan) lebih lanjut ia mengatakan bahwa keadaan umat yang bodoh, miskin, dan terbelakang tersebut dimanfaatkan oleh pihak penjajah untuk mengeksploitasi umat Islam demi ke pentingan negara mereka.
Eksploitasi ini bukan saja bersifat materiil, tetapi juga merembet ke masalah spiritual yang mereka anggap sebagai basis kekuatan umat Islam. Dalam bidang mental, para penjajah berusaha merusak moral dan akhlak umat Islam, sehingga mereka tidak akan pernah menÂjadi umat teladan, seperti yang dicantumkan Allah SWT dalam firman-Nya pada surah al-Baqarah (2) ayat 143.
Ketika berlangsung Konferensi Asia Afrika di Bandung (18–24 April 1955), Malik bin Nabi menyusun sebuah buku yang berjudul al-Fikrah al-Ifrqiyyah al-Asiawiyyah fi daw‘ Mu‘tamar Bandung (Pemikiran Asia-Afrika dalam Konteks Konferensi Bandung)Â. Buku ini ditulis dalam bahasa PeranÂcis.
Kemudian ketika berada di Cairo (1956), ia menerjeÂmahkannya ke bahasa Arab. Dalam buku ini, ia dengan jelas dan tegas mengemuÂkakan bahwa solusi untuk umat Islam dalam mengatasi penjajahan di muka bumi ini adalah melalui peneÂrapan hasil Konferensi Asia-Afrika tersebut, sehingga keterbelakangan umat Islam bisa diatasi.
Dalam bukunya ini, Malik bin Nabi juga berbicara tentang kebudayaan Asia-Afrika, yang menurut pandangannya harus terbebas dari budaya imperiaÂlisme Barat dan komuÂnisÂme Rusia.
Negara Asia-Afrika dalam membentuk kebudayaan masing-masing tidak haÂrus terhambat oleh ras, agama, bahasa, dan suku karena yang menjadi patokan dalam hal ini semestinya adalah kepentingan bersama untuk mengangkat derajat manusia, dengan menghapuskan penjajah di muka bumi, serta berupaya untuk memakmurÂkan warga masing-masing dalam semangat kebersamaan Dunia Ketiga.
Untuk itu, Malik bin Nabi mengataÂkan bahwa aspek utama yang harus diupaÂyakan Dunia Ketiga adalah membebasÂkan diri dari segala bentuk penjajahan, baik penjajahan fisik, ekonomi, politik, maupun akidah. Dunia Ketiga memiliki sumber daya manusia yang cukup besar dan mempunyai sumber daya alam yang melimpah, yang tidak dimiliki Barat. Oleh sebab itu Dunia Ketiga harus bersatu dalam semangat Konferensi Bandung.
Dalam buku Fikrah Commonwealth Islam (Pemikiran Persemakmuran Islam), Malik bin Nabi menekankan pen tingnya kesatuan dan persatuan Dunia Ketiga dalam meng hadapi Barat. Dalam kaitan ini, ia menekankan perbedaan yang tajam antara Persemakmuran Inggris dan PersemakÂmuran Islam.
Persemakmuran Islam yang dimaksudkannya adalah kesatuan umat, sedangkan Persemakmuran Inggris merupakan kesatuan pemerintahan. Di samping itu PerseÂmakmuran Islam bertujuan agar umat Islam di berbagai belahan dunia Islam terbebas dari keÂterbelakangÂan dan pen jajahan akiÂdah.
Malik bin Nabi mengatakan bahwa persoalan mendasar bagi umat Islam adalah akidah, yaitu keyakinan mereka terhadap agama mereka. Umat Islam tidak bisa memanfaatkan akidahnya sebagai basis kekuatan mereka dalam menghadapi persoalan hidup dan kehidupan mereka sendiri.
Umat Islam tidak berÂjalan di atas rel lurus yang telah dibangun oleh agama mereka sendiri. Inilah yang menyeÂbabkan mereka tetap terbelakang dan dijajah.
Ia juga menyumbangkan pemikiran untuk membeÂbaskan negerinya dari jajahan Perancis. Pada 24 Februari 1964 ia memberikan ceramah umum di hadapan warga Aljazair mengenai bagaimana mengatasi persoalan masyarakat dan negara Aljazair sendiri.
Hasil ceramahnya ini kemudian diter jemahkan ke dalam bahasa Arab dan dibukukan dengan judul Musykilah al-Mafhumiyyah (Persoalan Pemahaman). Dalam buku ini kembali ia mengulangi keyakinannya bahwa perso alan paling menÂdasar yang dihadapi umat Islam Aljazair ada lah persoalan ideologi dan akidah.
Akidah Islam semestinya menjadi motor penggerak bagi setiap pribadi dan masyaÂrakat untuk bangkit dari keÂterbelakangan dan kemiskinan mereÂka. Dengan akidah inilah umat Islam bisa bersatu melawan penjajah dan kemudian membangun diri mereka menjadi pribadi, masyarakat, dan bangsa terhormatÂ.
Negara harus lebih banyak memikirkan keÂpentingan dan kemaslahatan warganya, sehingga kekayaan negara dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat.
Sesuai dengan kondisi zamannya, Malik bin Nabi baÂnyak berbicara dan menyumbangkan pikiran tentang bagaima na mengatasi penetrasi Barat ke Dunia Ketiga, khususnya Dunia Islam. Dalam konteks ini tidak sedikit karya tulis yang dihasilkannya.
Di samping buku yang telah disebutkan di atas, karya lainnya adalah afaq Jaza’iriyyah (buku yang secara khusus berbicara tentang persoalan Aljazair) yang ditulisnya ketika bermukim di Cairo (1956) dan Hadits fi al-Bina’ al-Jadid (Bahasan tentang Pembangunan Baru).
Pada 1 Januari 1961 bukunya Le Phénomine Qoranique (Fenomena Al-Qur’an) diterjeÂmahkan ke bahasa Arab oleh Abdus Sabur Saheen dengan judul ¨Ahiriyyah Al-Qur’an. Buku tersebut pada 1983 diindonesiakan dengan judul Fenomena Al-Qur’an oleh Saleh Mahfoed dan diterbitÂkan oleh Penerbit al-Ma‘arif, BandungÂ.
Setahun setelah kemerdekaan Aljazair (1962), Malik bin Nabi kembali ke Aljazair. Ia melanjutkan menulis dan bercer amah dalam bahasa Perancis. Di sana ia banyak menulis dalam surat kabar lokal, seperti La Revolution Africane dan al-Muja hid.
Artikel tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Baina ar-Rasyadi wa at-Tib (Antara Petunjuk Jelas dan Pengembaraan tak Berujung) setelah ia meninggal.
Pada 1965, Malik bin Nabi diangkat menjadi direktur kajian tinggi dalam Kementerian Pendidikan Nasional (Wazarat at-Ta’lim al-Qawmi). Tiga tahun kemudian ia dipecat dari jabatan tersebut tanpa alasan yang jelas. Secara resmi ia tidak diizin kan ke luar negeri.
Namun ia diizinkan ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji (1971). Di sana ia terpilih sebagai pemikir muslim oleh Raja Faisal. Oleh karena keadaan yang tidak nyaman dan merasa terisolasi, akhirnya ia meninggal di rumahnya, di Aljier, pada Oktober 1973. Kematian Malik bin Nabi dianggap sebagai hari berkabung di Aljazair dan Libya.
Daftar Pustaka