Sifat, kondisi, atau kualitas mental yang tetap dan sudah merupakan bagian dari struktur jiwa, baik berupa pembawaan maupun yang diupayakan, disebut malakah. Keterampilan berpidato, misalnya, merupakan malakah bagi seorang orator. Sebagai lawan dari malakah adalah halah, yaitu kondisi peralihan mental yang terlintas hanya sebentar, kemudian berubah kepada kondisi lain.
Asy-Syarif Ali bin Ahmad al-Jurjani (1340–1414), seorang teolog dan pakar leksikologi Arab, menyebutkan bahwa malakah merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa secara mantap yang dapat menghasilkan suatu aktivitas dengan mudah. Aktivitas tersebut menimbulkan suatu kondisi mental tertentu.
Malakah merupakan objek pembahasan psikologi, yang dulu merupakan bagian dari kajian filsafat. Dalam filsafat Islam, kajian tentang malakah dan kejiwaan pada umumnya terkait dengan masalah etika dan moral, yang merupakan objek kajian ilmu akhlak.
Keterkaitan itu terjadi karena akhlak merupakan karakter, yang dihasilkan oleh aktivitas kejiwaan dalam kaitannya dengan nilai baik dan buruk.
Abu Yusuf bin Ishak al-Kindi (Kufah, 185 H/801 M–Bagh dad, 256 H/869 M), filsuf besar, menyebutkan bahwa malakah merupakan hasil terakhir dari aktivitas jiwa. Menurutnya, manusia mempunyai daya jiwa yang banyak, tetapi secara garis besarnya ada dua daya, yaitu: daya indrawi (al-quwwah al-hissiyyah) dan daya akali (al-quwwah al-‘aqliyyah).
Daya indrawi melalui pancaindra menangkap bentuk yang terdap at pada objek indrawi, tetapi ia tidak mampu merangkaikan bentuk tersebut menjadi suatu pengertian.
Daya yang telah terlepas dari materinya diterima oleh daya akali. Daya akali dapat membentuk suatu pengertian dari objek yang telah diindra dalam bentuk yang abstrak.
Daya perantara antara daya indrawi dan daya akali an tara lain sebagai berikut:
(1) daya membentuk (al-quwwah al-musawwirah), yakni daya yang membuat bentuk-ben tuk parsial dari sesuatu tanpa materi;
(2) daya menyimpan (al-quwwah al-hafizah), yakni daya yang menyimpan dan memelihara bentuk yang disampaikan oleh daya memben tuk;
(3) daya marah (al-quwwah al-gadhabiyyah), yakni tenaga yang menggerakkan manusia untuk melakukan suatu tinda kan yang benar pada waktu tertentu; dan
(4) daya keinginan (al-quwwah asy-syahwaniyyah), yaitu daya yang mendorong manusia sewaktu-waktu untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsunya.
Melalui daya perantara di atas, suatu objek materi yang telah diindra akan sampai kepada daya akali. Daya akali mampu mengetahui jenis dan macam segala sesuatu yang telah diindra secara global. Ia juga dapat mengetahui prinsip ilmu seperti tentang sebab akibat.
Menurut al-Kindi, daya akali ini ada empat bagian.
(1) Akal aktif yang identik dengan “sebab pertama” dalam konsep Aristoteles, yakni Tuhan. Akal aktif bukan bagian dari jiwa, tetapi merupakan sebab dari sesuatu yang terjadi di dalam jiwa.
(2) Akal potensial, yakni jiwa yang berada dalam keadaan potensial sebelum ia memikirkan suatu objek pemikiran (ma‘qulat).
(3) Malakah atau akal aktual, yaitu akal potensial yang telah memiliki dan menguasai suatu objek. Akan tetapi, hal demikian belum akan terjadi tanpa adanya sebab, yaitu akal aktif. Ketika akal aktif telah ada maka akal aktual mampu menguasai objek pemikiran dengan baik.
(4) Akal lahir, yakni jika akal tadi telah menggunakan malakah dalam kenyataan, misalnya menulis. Pengetahuan menulis yang tersimpan dalam jiwa dan telah siap dioperasikan kapan pun waktunya merupakan suatu malakah bagi jiwa.
Ibnu Sina (370 H/980 M–428 H/1037 M) menempatkan malakah sebagai salah satu struktur jiwa dan menyebutnya al-‘aql bi al-malakah. Menurutnya, setiap tubuh mempunyai satu jiwa dan setiap jiwa memiliki beberapa bagian.
(1) Jiwa nabati (an-nafs an-nabatiyyah), memiliki tiga daya yaitu:
a) daya makan (al-gadziyyah), yakni daya yang dapat menggantikan jasad yang telah rusak;
b) daya menumbuhkan (al-munammiyah), yakni daya yang menumbuhkan segala yang ada pada tubuh; dan
c) daya berkembang biak (al-muwallidah), yakni daya yang mengambil suatu bagian potensial dari tu buh dan mengembangkannya dalam bentuk tubuh-tubuh lain.
(2) Jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyyah) mempunyai dua daya:
a) daya menggerakkan (al-quwwah al-muharrikah) dan
b) daya menanggap (al-quwwah al-mudrikah).
(3) Jiwa insani (an-nafs an-natiqah) atau jiwa berpikir mempunyai dua daya:
a) daya praktis (al-‘amilah) yang berhubungan dengan tubuh dan
b) daya teoretis (al-‘aimah atau an-nazariyyah) yang berhubungan dengan hal abstrak. Daya teoretis mempunyai dua tingkatan:
(a) akal material (al-‘aql al-hayulani), yaitu akal yang mempunyai potensi untuk menerima objek pemikiran; dan
(b) akal naluri (al-‘aql bi al-malakah), yaitu akal yang telah memiliki prinsip ilmu yang disebut al-ma‘qulat al-ula, contohnya prinsip kausalitas yang telah siap menerima ilmu lain yang diperoleh dari pengalaman.
Jika ilmu itu diperoleh dengan pemikiran, orangnya disebut ahli pikir dan jika dengan jalan intuisi, ia disebut sufi (sahib al-hadits). Pada tingkat inilah malakah menjadi milik manusia. Jika dibawa sejak lahir, malakah itu disebut naluri (garizah) dan jika diperoleh dengan usaha disebut keterampilan dan ilmu pengetahuan.
Di atas tingkat al-‘aql bi al-malakah terdapat akal aktual, yakni kemampuan memikir kan hal abstrak dan akal mustafad, yakni akal yang senantiasa sadar dan sanggup memikirkan hal abstrak.
Malakah yang disebut Ibnu Sina dengan al-‘aql bi al-malakah merupakan salah satu bagian dari struktur jiwa manusia yang mampu mengetahui dan melaksanakan ak tivitas dengan mudah tanpa memikirkannya lebih dahulu.
Al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M) juga menempatkan malakah sebagai bagian dari struktur jiwa dan menyebutnya al-‘aql bi al-malakah. Menurutnya, al-‘aql bi al-malakah tercapai setelah manusia mengetahui beberapa pengetahuan dasar yang apriori, misalnya ketika anak mengetahui bahwa dua adalah lebih dari satu atau sesuatu yang bergerak berarti bukan diam.
Pengetahuan yang demikian merupakan milik jiwa yang mudah diterapkan. Di bawah al-‘aql bi al-malakah terdapat al-‘aql bi al-quwwah (akal po tensial) yang merupakan suatu daya jiwa yang mempunyai kapasitas untuk menerima hakikat sesuatu yang bebas dari materi.
Akal potensial disebut al-‘aql bi al-malakah ketika telah memiliki objek dan digunakan secara praktis sehingga menjadi milik jiwa. Daya jiwa disebut al-‘aql bi al-fi‘l (akal aktif) apabila akal potensial diaplikasikan pada pengetahuan teoretis sehingga mampu menampilkan kembali bentuk rasional ketika dikehendaki.
Di atas tingkat akal aktif terdapat al-‘aql al-mustafad, yakni akal yang telah mengetahui hal abstrak dan mampu berhubungan dengan al-‘aql al-fa‘Îl, yang menurut al-Ghazali identik dengan Malaikat Jibril.
Daftar Pustaka