Maksum berarti “suci atau terpelihara dari perbuatan dosa, kesalahan, dan kekeliruan”. Maksum merupakan salah satu doktrin Syiah bahwa para imam terpelihara dalam sega la sisi kehidupannya: tidak akan pernah melakukan atau berbuat dosa, baik kecil maupun besar; tidak akan pernah melakukan maksiat sekecil apapun; dan terpelihara dari kekeliruan maupun kelupaan.
Doktrin tentang “maksum” lahir dari kerangka berpikir bahwa Al-Qur’an itu di samping mempunyai arti lahir, juga mempunyai arti batin. Kedua arti tersebut diterima Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril.
Oleh Nabi SAW, arti lahir dari Al-Qur’an diberikan kepada semua sahabat, tetapi arti batin diberikan hanya kepada Ali bin Abi Thalib. Arti atau ilmu batin itulah yang diteruskan Ali kepada anak cucunya. Oleh karena itu, Ali adalah sahabat yang paling mengetahui rahasia Al-Qur’an serta penafsirannya, sehingga ia pula yang paling berhak menjadi imam.
Karena Ali telah meneruskan arti batin Al-Qur’an kepada anak cucunya dan secara beran tai diteruskan oleh seorang imam kepada imam berikutnya yang merupakan penggantinya, para imam tersebut adalah mereka yang paling mengetahui arti batin dan penafsiran Al-Qur’an. Karena itu pula para imam itu maksum.
Keyakinan penerusan arti batin Al-Qur’an dari Nabi SAW hanya kepada Ali dan seterusnya yang dibatasi hanya kepada anak cucu keturunan Ali pada mulanya berasal dari konsep tentang raja Persia (Iran), yaitu bahwa raja merupakan pelim pahan atau bayangan dari Tuhan di bumi. Konsep tersebut masuk ke dalam paham Syiah.
Menurut sejarah, pada mulan ya orang Syiah adalah seratus persen Arab dengan akidah Suni. Tetapi kaum Mawali (budak yang dimerdekakan) yang berkebangsaan Persia yang dikejar-kejar penguasa, karena merasa senasib dengan orang Syiah, kemudian meng gabungkan diri dengan Syiah Arab tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, orang Persia menjadi mayoritas dalam golongan Syiah dan Syiah Arab menjadi minoritas. Kondisi demikian memberi peluang masuknya paham dan tradisi Persia, termasuk konsep tentang raja Persia tadi.
Sejak sejarahnya yang paling awal (Syiah Arab), orang Syiah yakin bahwa kepemimpinan orang Islam setelah Nabi SAW wafat menjadi hak Ali dan keturunannya.
Hal ini telah berkembang sedemikian rupa akibat masuk dan bercam purnya paham Syiah dengan paham dan pengaruh asing seperti yang telah disinggung di atas, sehingga timbul ke yakinan bahwa para imam yang dua belas (Syiah Dua Belas) dari keturunan Ali itu adalah maksum. Dengan demikian, kemaksuman imam merupakan perkembangan yang datang kemudian.
Orang Syiah juga meyakini bahwa Ali merupakan wasiat Nabi SAW. Bahkan kalimat syahadatain (dua kalimat syahadat) yang menjadi keyakinan pokok dalam Islam oleh kaum Syiah ditambahkan dengan kalimat wa ‘Ali wasiyyatuh (dan Ali adalah wasiat Nabi).
Dalam paham Syiah, wasiat tersebut berfungsi memindahkan arti atau ilmu batin Al-Qur’an dan kemaksuman kepada imam berikutnya atau pelanjut dari imam sebelumnya. Dengan demikian, sifat maksum itu dit eruskan dan diwariskan para imam yang diyakini oleh Syiah.
Kemaksuman imam di kalangan Syiah berkaitan erat den gan keistimewaan yang mereka berikan kepada para imam tersebut, antara lain:
(1) penetapan dan penunjukan imam baru didasarkan oleh nas dari imam pendahulunya, bukan atas dasar pemilihan atau pembaiatan anggota masyarakat dan
(2) penetapan Syiah Sab’iyah (Syiah Tujuh) bahwa imam mendapat limpahan makrifat dari Allah SWT yang menjadikannya memiliki kemampuan yang lebih dari siapa pun.
Perbedaan perkembangan yang diberikan kepada imam oleh sekte dalam Syiah menyebabkan pula timbulnya per bedaan tingkat kemaksuman yang mereka berikan kepada imam. Pada Syiah Dua Belas, pengertian kemaksuman imam lebih umum daripada Syiah Tujuh.
Arti maksum pada Syiah Tujuh lebih sensitif karena imam dapat melakukan amal yang oleh mata lapisan awam dipandang tercela atau maksiat, tetapi perbuatan imam tersebut bukanlah sesuatu yang tercela atau maksiat di sisi Allah SWT.
Sehubungan dengan konsep maksum tersebut, penda pat kaum Suni dalam hal ini dapat ditelusuri dari ide Salafisme (Salafiyah) yang dianut mereka dan lebih khusus lagi pandangan Ibnu Taimiyah yang dianggap mewakili pan dangan kaum Suni tersebut.
Menurut Ibnu Taimiyah, dengan mengangkat kembali tema lama yang pernah dipelopori Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), kaum Salaf terbatas hanya pada dua generasi pertama Islam sesudah Nabi SAW, yaitu generasi para sahabat dan generasi tabiin.
Kemudian berdasarkan beberapa sumber, Ibnu Taimiyah juga memasuk kan generasi tabi‘i at-tabi‘in (generasi sesudah tabiin), berdasarkan keterangan Al-Qur’an tentang rida Allah SWT terhadap kaum Salaf dan rida mereka kepada Allah SWT, dan tentang jaminan bahwa mereka semua akan masuk surga.
Ibnu Taimiyah berkesimpulan, yang mempengaruhi serta dianut di kalangan Suni generasi Salaf itu adalah yang paling ideal dan menjadi model untuk dicontoh umat Islam. Berdasarkan keterangan Al-Qur’an tentang adanya hubungan khas antara generasi tersebut dan Allah SWT, persoalan tadi diselesaikan dengan mengatakan bahwa secara kolektif kaum Salaf itu merupakan komunitas yang selalu benar.
Dalam konteks generasi sesudah generasi Salaf, pandangan tersebut menjadi pandangan yang men yatakan bahwa yang tidak bisa salah adalah keseluruhan umat, bukan pribadi para anggotanya.
Pandangan bahwa hanya umat yang tidak bisa salah (maksum) sebenarnya juga berasal dari prinsip yang dianut Ibnu Taimiyah, bahwa tanggung jawab pemeli haraan ajaran agama tidak hanya pada para pemimpin atau penguasa, tetapi juga pada seluruh umat.
Sebagai akibat lebih jauh dari pandangan tersebut, di kalangan Suni dianut suatu keyakinan penolakan kemutlakan pendapat ulama yang datang sesudah masa kaum Salaf karena yang menjadi tolok ukur kebenaran suatu pandangan sesudah masa kaum Salaf tersebut hanyalah Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW.
Keyakinan ini tercermin pada kegigihan Ibnu Taimiyah menolak adanya hak atau otoritas istimewa seseorang dalam agama, bahkan dengan cara yang tidak lumrah dan mengejutkan.
Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep kemaksuman para nabi Allah SWT sebagai berikut. Para nabi itu maksum hanya berkenaan dengan tugasnya menyampaikan wahyu (tabligh) dari Allah SWT. Di luar tugas itu, para nabi, sebagai manusia biasa, dapat melakukan kesalahan.
Misalnya, pelanggaran Nabi Daud AS, kelalaian Nabi Yunus AS, dan juga kelengahan Nabi Muhammad SAW, yang semuanya termaktub dalam Al-Qur’an. Hanya saja, apabila berbuat kekeliruan atau ke salahan, para nabi segera menyadarinya dan melakukan tobat nasuha(tobat yang tulus ikhlas).
Justru tobat serupa itulah yang mempertinggi kenabian dan kemanusiaan para nabi tersebut. Selain itu, apabila berbuat salah atau keliru, para nabi tersebut segera mendapat peringatan atau teguran dari Allah SWT.
Jika kedua keyakinan itu dibandingkan, kemaksuman imam dalam Syiah bersifat mutlak, sedangkan kemaksuman para nabi dalam Suni tidak mutlak (hanya berkenaan dengan tugasnya dalam menyampaikan wahyu).
Dalam Syiah kemaksuman dilekatkan kepada para imam, sedangkan dalam Suni kepada para nabi. Dengan kata lain, dalam kalangan Suni, tidak dikenal atau tidak populer sebutan “maksum” selain pada para nabi.
DAFTAR PUSTAKA